Malam kemarin, saya pulang agak malam dari kantor. Di jalan menuju tempat parkir ada sekelompok mahasiswa duduk diskusi sebanyak 20 orang atau mungkin lebih. Dari jauh saya amati, diskusinya akrab dan seru. Saking serunya, mereka seperti tidak memperhatikan sekitar. Yang lebih menarik, mereka duduk di jalan, sebuah koridor sempit di Gedung Pusat UGM. Kian mendekat, saya berharap para mahasiswa ini menyadari bahwa mereka menghalangi jalan. Ternyata tidak. Mereka masih asyik berdiskusi dan tidak peduli dengan orang yang akan melewati jalan yang sedang mereka kuasai.
Sangat mudah untuk menarik kesimpulan bahwa mereka adalah anak-anak yang tidak tahu adat. Mereka adalah mahasiswa yang tidak tahu tata krama karena menggunakan fasilitas umum untuk kepentingan sendiri dan menghalangi orang lain yang berhak menggunakannya. Mereka itu termasuk tipe yang sering dipergunjingkan di ruang-ruang dosen atau di tempat-tempat makan saat dosen berkeluh kesah. Mereka adalah kelompok yang dituduh dan dilabeli “anak-anak sekarang” atau “bocah zaman saiki” oleh para dosen yang emosi dan meledak-ledak dengan segala umpatan.
Merasakan apa yang dirasakan oleh dosen melihat anak-anak mahasiswa yang tidak peduli dan tidak tahu tata krama, saya mendekati mereka. Dalam beberapa detik proses itu saya berusaha keras memilih kosa kata yang terbaik dan paling efektif. Kesal dan marah tentu ada. Kian mendekat, tidak satu orangpun peduli dan saya terpaksa memilih jalan menghindar lewat tangga di dekat mereka. Tidak tahan dengan ketidakpedulian itu, saya berhenti. Masih tidak ada yang peduli padahal jarak saya dengan mereka beberapa centimeter saja.
“Selamat malam!” saya menyapa dengan sopan dan senyum lebar. Satu dua orang memalingkan wajah dan tersenyum juga karena melihat saya tersenyum. Karena saya diam, suasana jadi agak tenang dan beberapa orang lain ikut mengamati saya yang masih tersenyum. “Lagi diskusi apa ya?” tanya saya masih senyum. “Oh, KKN Pak” kata seorang mahasiswi dan diikuti dengan acak setengah bergumam oleh yang lain dengan informasi yang sama tetapi kata-kata yang sedikit berbeda.
Mereka adalah anak-anak muda yang semangat, saya kira. Anak-anak UGM yang sebentar lagi akan mengunjungi tempat-tempat yang jauh di Nusantara. Mereka itu akan menjadi bagian dari 7000 mahasiswa UGM yang diberangkatkan untuk mengenal negerinya, tinggal bersama penduduk di desa terpencil selama dua bulan. Bukan untuk menjadi pahlawan tetapi untuk menjadi pembelajar. Belajar tentang negerinya yang luas dan beragam. Berada di antara orang-orang yang kadang terpinggirkan hidupnya dan tidak terlewati arus pembangunan. Mereka, malam itu, membicarakan strategi pemberdayaan, atau setidaknya strategi bertahan hidup selama dua bulan tanpa toilet dan tanpa WiFi. Mereka sedang membicarakan masa depan bangsa, maka mungkin bisa dipahami ketika mereka sedikit abai karena telah menguasai sebuah lorong di Gedung Pusat UGM.
“Oh KKN ya. Wah semangat sekali kalian” kata saya masih senyum. “Boleh kasih saran? tanya saya. “Ya Pak..” kata seorang mahasiswa. “Lain kali, kalau bisa diskusinya jangan di jalan ya!” Mereka seperti terkejut dan baru menyadari bahwa mereka menghalangi jalan. “Oh maaf Pak” kata beberapa orang serentak. “Ngga apa-apa, saya tahu ini malam hari tapi masih banyak orang yang lalu lalang di sini” saya menambahkan. “Ya Pak, maaf ya Pak” kata lebih banyak orang lagi hampir serempak. Dari wajah mereka meluncur permintaan maaf, penyesalan dan rasa bersalah. Di situ juga ada senyum ramah khas Gadjah Mada. Saya hanya tersenyum dan berlalu. Anak-anak hebat itu kadang hanya perlu diingatkan dan tugas seorang guru adalah mengingatkan.
Salut sekali pak… menasehati tanpa emosi akan jauh lebih baik hasilnya. Saya kira hasilnya akan bernbeda jikalau malam itu bapak mengedepankan emosi. Karena kadang kami (anak muda) bukan tidak hormat tetapi kadang lupa atau mungkin tidak sadar… maka cara yang terbaik adalah diingatkan.