Aku duduk di atas hamparan rumput hijau yang tumbuhnya masih belum sempurna menutupi halaman rumah. Di sampingku ada kakak, Bapak, Meme’, Ibu Bapak Mertua, dan Asti. Kami semua dengan khusu’ mengikuti ritual itu. Di depan kami terhampar berupa-rupa bebantenan, sesajen Hindu, yang digelar memenuhi sebagian halaman rumah. Di antaranya terlihat rangkaian janur warna warni bertabur bunga beraneka rupa. Asap dupa mengepul membumbung tinggi di angkasa lalu lenyap menyatu dengan ruang langit yang lengang. Genta berdenting tiada henti, menghadirkan suasana magis yang penuh perenungan. Dentingan harmonis itu lahir dari genta yang digerakkan oleh tangan Dewa Mangku Dalem yang merafalkan mantra-mantra dengan mata terpejam.
Aku memandang sekitar penuh selidik. Sebuah bale bengong berdiri tenang di depan kami, tak jauh dari Padmasari, sebuah tugu pemujaan universal yang ada di pojok timur laut halaman rumah. Padmasari itu kami rancang sedemikian rupa menghadap ke barat daya sehingga membentuk sudut 45 derajat dengan bentuk lahan. Bale bengong di depanya juga demikian, segaris searah dengan pandmasari. Potongan garis pelataran bale bengong dengan pagar halaman membentuk persilangan yang khas, seakan bertabrakan namun padu menyatu menghasilkan kombinasi yang tidak biasa.
Pohon kamboja berdiri tenang di depan bangunan rumah dengan kembang merah darah yang mulai bermekaran membawa nuansa segar di sela kepulan asap dupa yang tak terputus. Kidung suci melantun cantik dari bibir meme’ yang bernyanyi penuh penghayatan. Di sisi timur nampak kerabat duduk bersimpuh atau bersila, khusu’ mengikuti ritual yang berjalanan khidmat. Jero mangku Mastri dan isteri tekun melayani Mangku Dalem yang menjadi pemimpin utama ritual pagi itu. Mbah Ebe juga sigap melayani. Cekatan tangannya menyerahkan prayascita, atau tirta air suci atau canang sari yang diminta oleh Mangku Dalem dalam ritual.
Di pojok lain di pelataran, nampak sebuah iMac 27 inch menampilkan screen saver gerakan acak sebuah lidah api yang meliuk-liuk pada layar hitam legam. Liukan lembut itu seperti mengantarkan suara gamelan yang melantun dari iMac, menghadirkan suasana ritual khas Bali. Jika saja aku tidak mematut-matutkan ingatan, pastilah pagi itu terasa di Pura Padonan di Pagutan, Tegaljadi, saat aku kecil mengikuti piodalan setiap 210 hari sekali. Nuansa magis ritual Hindu hadir niscaya di Jogja, berlatar cericit burung gereja yang mengintip dari atap genting. Mereka siap-siap mencuri serpihan nasi dan beras yang sebentar lagi memang menjadi hak mereka.
Aku memandang hamparan sesajen itu. Berupa-rupa ada di sana. Rangkaian bunga-bunga hias terbuat dari tepung beras nampak cantik berwarna-warni. Kue-kue kering berbalut plastik tersusun rapi di setiap canang raka atau sesodan melengkapi warna warni suasana. Di kejauhan terlihat kembang matahari tersenyum dan berbaris rapi di tepi jalan setapak. Mereka bermekaran menyambut gembira hari istimewa itu. Hari saat melaspas digelar, saat ritual upacara memasuki rumah baru jadi perhelatan. Bunga mawar tak tinggal diam. Mereka berkelompok di satu sudut di dekat bale bengong, tersenyum dengan warna putih, merah dan oranye, segar berhias butiran embun yang bergelayut di kelopak bunga yang merekah. Di sela-sela bebantenan yang menghampar berbagai warna, nampak laying-layang dari kulit ayam atau bebek yang digantung dengan bulu yang masih segar. Angin yang usil menerbangkan mereka hingga terayun-ayun menjuntai. Mantra Mangku Dalem kadang berlomba dengan ceriwis kokok ayam dan bebek yang meramaikan ritual.
Meme’ tak henti melantunkan kidung, seriring sejalan dengan bapak mertua yang tak kalah semangat. Suara bapak kadang serak tapi kesungguhannya terasa hingga jauh ke dalam. Doa itu dilantunkan dalam kidung yang mendayu-dayu penuh harap dan pemujaan. Lantun kidung itu menggema, berlatar gamelan yang mengalun lirih dari iMac yang masih diam sabar di pojok pelataran. Sementara itu, kepulan asap dupa tak pernah kehilangan semangat, menawarkan aroma harum yang memantik penyerahan diri. Wajah-wajah yang kulihat nampak khusu’ diam dengan air muka yang sepenuhnya melantunkan doa.
Mangku Dalem bersabda, ritual lanjutan segera digelar. Aku berdiri, semua berdiri mengangkat sesajen. Sebagian menjunjungnya di kepala, sebagian lain mendekap di dada. Aku menggamit kentongan dan pemukulnya, siap membunyikannya untuk mengusir segala yang jahat. Kami berbaris beriringan, berjalan mengitari bangunan rumah dan Padmasari berdoa tiada henti dan bernyanyi tiada terputus. Doa mengalir deras, puja dan puji dikumandangkan. Suara kentongan sebagai simbol peringatan, tanah ini kini kami tempati dan semua makhluk dimohon paham dan turut menjaga.
Meme’ menasihatkan makna lantunan tembang yang baru saja dirampungkannya. Semua makhluk yang tinggi dan rendah, yang tidak kasat mata terutama, diundang di hari itu. Mereka disambut dengan senyum dan suka cita, diberitahu apa yang terjadi. Tembang itu, kata beliau, adalah undangan untuk memanggil makhluk yang tidak kelihatan untuk diajak bertukar cerita dan bercengkrama. Kepada mereka kami memohon izin untuk menggunakan tempat itu sebagai tempat tinggal dan kepada mereka yang telah menempati lahan itu jauh sebelumnya, dimohon mengerti. Intinya adalah harmoni bahwa mereka diberi kebebasan untuk memilih.
Mereka, makhluk tak kasat mata itu, tidak diusir, tidak juga disakiti apalagi dibunuh. Mereka dijadikan teman dan dipersilakan memilih tempat-tempat yang mereka sukai. Satu hal penting yang dimohonkan dan disetujui adalah kesepakatan untuk tidak saling mengganggu. Maka, seperti yang dilantungkan dalam tembang itu, semua makhluk bukan manusia itu bebas pergi dan bebas untuk tinggal menjadi sahabat yang tidak menganggu. Sebagian lagi mungkin berteman dengan Ratu Ngurah, penjaga setia yang pelinggihnya ada di dekat pintu depan rumah. Sebagian dari mereka mungkin akan menjadi penyambut tamu di bawah kepemimpinan Ratu Ngurah.
Aku hanya bisa tersenyum menyimak semua itu. Cerita yang belum pernah aku dengar, lagu yang menyentuh serta mantra-mantra yang memantik penyerahan diri adalah paduan ganjil yang sempurna menjadi pelajaran. Selanjutnya aku terpejam melantunkan Tri Sandya, khusu’ dalam sujud syukur yang dalam. Melaspas, sejatinya adalah pertemuan kerabat manusia yang bergembira dan bersyukur atau keberhasilan kecil atau besar. Pertemuan yang sejatinya tidak boleh berhenti. Meskipun Hyang Widhi tak berharap puja puji dan wibawanya tak akan hilang karena ketidakhadiran semua ritual, kami, kaum manusia, tetap memerlukannya. Pikiran dan jangkauan spiritual kami yang terbatas tetap mengandalkan ritual untuk berinteraksi dengan Sang Keberadaan. Melaspas akan selalu menjadi alasan untuk bertemu dan bersenda gurau lagi tidak saja dengan Hyang Widhi tetapi juga, yang sangat penting, dengan sesama kerabat manusia dan bukan manusia.
Wedomartani, 18 November 2015
khusyuk…
Selamat atas rumah barunya pak Andi, *nebak 😀