Sekali waktu saya naik motor saat ke kampus UGM. Alasannya macam-macam. Kadang mobil di bengkel, kadang dipakai Asti, istri saya, untuk menjemput tamu atau mengangkut barang saat ada kegiatan tertentu. Naik motor masih menyenangkan karena bisa bermanuver leluasa dan sering kali jadi lebih cepat di jalanan Jogja yang mulai meniru-niru gaya Jakarta. Macet.
Suatu ketika saya pulang dari kampus, hari telah gelap. Cuaca cukup dingin karena baru saja hujan melanda Jogja. Jalanan masih basah dan genangan air ada di banyak tempat. Saat itu saya dari arah Lembah UGM menuju Jalan Colombo. Saat akan belok kiri saya sengaja berjalan pelan karena ada genangan air. Saya tidak ingin air itu mengenai pakaian saya, terlebih lagi tidak ingin orang-orang di samping saya terciprat air karena saya melaju kencang.
Di saat niat baik sedemikian rupa saya usahakan, ada sebuah motor dikendarai dua laki-laki melesat di samping saya dan air muncrat dasyat mengenai tubuh saya. Basah sebasah-basahnya. Mudah sekali untuk merasa kesal dan marah di saat seperti itu. Yang mengesalkan, lelaki pengendara motor itu sama sekali tidak merasa bersalah meskipun dia sepertinya tahu apa yang terjadi. Saya melihat lelaki yang dibonceng sekilas menoleh saya yang basah kuyup tetapi mereka tetap melaju tanpa rasa bersalah.
Awalnya saya memilih untuk diam saja. Urusannya bisa runyam jika saya teriak atau mengumpat. Kata teman saya, “malu sama ijazah”. Memang ijazah kadang membuat kita tidak jujur dalam mengekspresikan perasaan. Tapi ini bukan cerita tentang ijazah, apalagi tentang teman saya. Sama sekali bukan!
Meskipun saya berusaha menyabarkan diri, toh naluri dasar tetap dominan. Tiba-tiba muncul rasa iseng untuk ‘uji nyali’. Bukan nyali saya tentunya tetapi nyali anak muda yang mengendari motor dan tidak peduli lingkungan itu. Antara dilema harus bijaksana dan sok sabar atau harus jujur menyampkan kemarahan sambil berniat mendidik generasi muda, saya melesat mengikuti kendaraan itu.
Entah benar entah ini hanya perasaan saya saja, motor itu bergerak lebih cepat seakan sengaja lari dari tanggung jawab. Saya makin ‘semangat’ mengejar. Sebenarnya di tengah jalan muncul lagi kesadaran akan pentingnya sabar dan akan risiko yang bisa terjadi. Apa jadinya kalau pengejaran itu berakhir dengan pertengkaran sengit atau bahkan perkelahian? Apa kata dunia, seorang dosen perguruan tinggi negeri di Jogja berkelahi dengan dua pemuda tanggung di jalan raya gara-gara kecipratan air hujan. Sungguh tidak keren! Tapi emosi kadang berkuasa lebih kuat jika situasi memang mengarahkan. Saya tetap mengejar, semata-mata karena rasanya dia memang lari dari tanggung jawab.
Motor itu masuk sebuah gang kecil dan saya mengikutinya. Dia pun masuk ke sebuah rumah kos denagn jalan sempit lalu berhenti. Saya berhenti tepat di belakangnya, hanya sekitar dua meter dan langsung teriak. “Hey, kenapa lari?” Tanya saya sok preman (haha). Dua pemuda yang baru saja membuka helm itu menoleh ke saya. Salah satunya mengatakan “Nggak lari kok!” dengan nada yang tidak disertai rasa bersalah. “Kamu tahu nggak, tadi membuat air muncrat mengenai saya?” saya tanya lagi. “Tapi saya nggak sengaja Mas” katanya dengan nada tinggi. Saya sulit menerima ini. Artinya dia tahu telah menyebabkan saya basah kuyup tetapi tidak berusaha meminta maaf atau sekedar mengakui. Terjadilah perdebatan yang agak panjang.
Karena anak ini ngeyel, saya tunjuk wajahnya pakai tangan kiri, tatap matanya dan bertanya “kamu mahasiswa bukan? Kamu ngga tahu tata krama!” Dia menjawab, masih dengan nada agak tinggi “ya!” Dan saya tanya “kuliah di mana?” “Di UGM, kenapa?” katanya bernada menantang. “Oh kamu anak UGM. Fakultas mana?” tanya saya dengan nada santai karena merasa akan di atas angin. “Fakultas Ekonomi” katanya mantap. “Kamu muridnya Pak xxx ya?” tanya saya menyebut sebuah nama. “Atau Pak yyy?” lanjut saya menyebut nama lainnya. Kedua orang itu saya kenal baik. Dia agak gelagapan. “Saya dosen Teknik Geodesi UGM. Kalau kamu memang anak UGM, kamu punya masalah besar dan UGM punya masalah besar. UGM tidak mendidik anak-anak seperti kamu yang tidak peduli pada orang lain. Urusan ini sekarang tidak hanya menjadi urusan saya dan kamu tapi urusan proses pendidikan di UGM.”
Saya menghujaninya dengan kata-kata. Pemuda itu nampak pucat. “Maaf saya bukan mahasiswa UGM” katanya mengagetkan saya. “Oh berarti kamu telah berbohong?! Anak mana kamu?” saya mengejarnya. “Saya mahasiswa *** Pak” katanya menyebut nama sebuah universitas di Jogja. Saya keget dan juga jengkel. “Kenapa kamu berbohong dan menyebut nama UGM?” tanya saya dengan nada tinggi. Dia tidak menjawab dan nampak sangat khawatir. “Sekarang urusannya jadi lebih besar lagi. Kamu telah mencatut nama UGM ketika melakuakn kesalahan di jalan raya. Kamu telah dengan sengaja merusak nama baik UGM, rumah saya. Kamu tahu itu kesalahan fatal. Saya mau telpon rektor kamu sekarang biar ini diproses.” Tentu saja itu hanya ancaman dan saya tentu tidak punya nomor telepon rektor universitas yang disebutnya. Tapi gertak sambal kadang efektif untuk anak-anak muda sok bernyali seperti itu. Dia gemetar mohon ampun seampun-ampunnya.
Saya minta dia menulis nama dan nomor mahasiswanya dan saya ancam akan saya proses. Dia takut bukan kepalang dan mohon ampun agar tidak diproses. Dalam hati saya berkata “segini doang nih nyali kalian. Tampang preman, hati cemen”. Setelah menceramahi agak lama, saya bilang, “kamu harus jadikan ini pelajaran. Saya juga pendatang di kota ini. Sebagai pendatang kita harus menghormati tata cara yang berlaku di sini. Jangan ulangi lagi bersikap sembarangan seperti itu dan jangan sekali-kali catut nama UGM, apalagi untuk keburukan. Jangan!” kedua pemuda itu mengguk dalam tanda mengerti. Mereka menunduk malu tapi semoga mengerti dan bertobat. Saya pun pergi. Motor saya tuntun karena itu gang kos-kosan yang sempit dan ramai. Memang rasanya kurang sangar dan kurang preman, pergi dengan cara menuntun motor. Tapi preman juga harus tahu sopan santun yang paham kapan saatnya teriak membahana, kapan saatnya fasih berucap lirih.
Hahahaha. Drama banget pak. Salut sama keberanian bapak 🙂
Jadi penasaran pengen liat expresi pak andi kalo lg marah.. 🙂
Jadi penasaran,,pengen ngliat expresi pak andi kalo lg marah apalagi pake gaya preman :))
Sebenernya kurang berbakat 😀
Membayangkan obrolan 2 pemuda itu di dalam kamar. “Bro, habislah kita, bro.” 🙂
hehe.. mungkin ya.
Aduhhh seru banget Bli! Gemes dan ngenes bacanya, anak- anak tanggung itu, pengen saya pithes hehe. Jadi ikutan emosi. Untung Bli bisa sabar 😀
Jan-jene sih ga sabar.. cuma inget nanti mau nulis di blog, jadi terpaksa sabar agar tulisannya jadi bagus hehe
hahhaa keren, Pak. semoga tidak terulang lagi
Bapak Andi keren, jarang sekali saya menemui dosen seperti bapak.
Semoga saya berkesempatan bertemu dengan bapak 😀
Terima kasih. Sampai jumpa.
Kocak banget pak! (bacanya pas lagi di kantor n langsung ngakak, maafkan)
Baik, besok besok saya akan coba cara bapak ketika mengalami hal yang sama. Doakan biar sukses ya~
SIap 🙂
Cerita yang asyik dan kisah bijak dari mas Andi Arsana..Salam hangat