Sore ini saya menghabiskan waktu di bale bengong, bercerita tidak tentu arah dengan Bapak. Beliau berada di Jogja, membantu saya menyiapkan rumah yang baru saja kami tinggali. Bapak dan Ibu saya datang jauh-jauh dari Bali utuk membantu kami bertaman di rumah. Taman yang mulai hijau itu adalah hasil buah tangan mereka. Sore itu, kami menikmati suasana yang tenang dengan bercakap-cakap.
Bapak saya bukan lelaki berpendidikan formal. Konon beliau tidak bisa melewati kelas empat SD di zamannya dulu sehingga tidak pernah punya ijazah sekolah. Tidak SD, tidak juga SR. Singkatnya, beliau bukan orang sekolahan. Masih beruntung, Bapak saya bisa membaca dan agak cakap berbahasa Indonesia sehingga masih bisa berkomunikasi dengan Lita, cucunya.
Belakangan saya sibuk sekali. Bapak kerap bertanya soal pekerjaan saya. Presentasi dan konferensi tentu saja merupakan dua kata yang tidak dipahaminya. Beliau tidak habis mengerti bahwa ada orang yang menyebut berbicara berbusa-busa di depan orang lain sebagai pekerjaan. Bagi lelaki sederhana seperti beliau, itu bukan pekerjaan. Setidaknya, itu bukan pekerjaan yang layak dibayar. Bekerja adalah berkeringat, meregangkan otot-otot dan menggunakan alat berat serupa cangkul dan linggis. Berbicara bukan tergolong bekerja.
Dalam percakapan itu, saya ingatkan beliau tentang percakapan kami di tahun 1990an silam. Kami tinggal di Desa Tegaljadi dan menjadikan TVRI sebagai satu-satunya sumber hiburan visual. Sartika adalah sinetron yang kami gemari waktu itu. Bapak saya sudah lupa-lupa ingat tetapi saya tidak akan pernah lupa. Beliau, ketika itu, terkesan sekali dengan Mentari, anak dari dokter Sartika yang diperankan oleh Dewi Yul yang bersuamikan dokter juga, diperankan Dwi Yan.
Mentari anak yang baik dan pintar. Namun ingatan Bapak saya bukan tentang mentari tetapi tentang kakeknya. Kakek Mentari. Begitu Bapak saya mengingatnya. “Bapak ingin jadi Kakek Mentari” katanya berulang kali setengah serius dalam kelakar. “Bapak ingin bisa mengendari mobil kijang dan mengantar cucu jalan-jalan.” Rupanya Bapak saya terinspirasi oleh tokoh kakek di sinetron itu yang memang bertugas untuk menemani cucunya sekolah dan jalan-jalan. Sang kakek mengendarai mobil Kijang. Ucapan itu, meskipun dilontarkan setengah bercanda dan diiringi kelakar, adalah cita-cita alam bawah sadar.
Saya senang mengingatkan cerita Kakek Mentari kepada Bapak. Itu melambungkan ingatan beliau ke masa lalu, ke sebuah cita-cita yang mungkin tidak disadari sebagai cita-cita. Cita-cita yang sederhana dari seorang lelaki yang bahkan tidak membayangkan mobil dalam hidupnya. Cita-cita ternyata memang demikian. Cita-cita bukan soal tinggi atau rendah karena itu semua relatif. Cita-cita adalah apa yang belum dicapai. Anda mungkin tidak pernah menduga bahwa cita-cita saya waktu kecil adalah “bisa mengoperasikan radio cassette untuk bisa mendengarkan lagu Ebiet G. Ade”. Cita-cita memang demikian, berisi sesuatu yang belum dicapai.
“Pak, masih bisa nyetir kan?” tanya saya kepada Bapak di tengah percakapan. Beliau mengangguk tersenyum seakan sadar bahwa saya ‘meragukan’ kelihaiannya mengemudikan mobil karena usia yang sudah tidak muda lagi. “Besok antar Lita ke sekolah ya!” kata saya melanjutkan dan disambut senyum. Senyum seorang Kakek Mentari.
bapak saya hanya tamat tsanawiyah,, setingkkat smp, ibu saya hanya tamat sd.. uniknya keduanya adalah anak yatim yang ditinggal bapak mereka masa kecil… ibu saya anak tertua…. jadi harus memberi makan saudara2 mereka yg masih kecil karena nenek saya tdk bekerja,,, ibu saya harus berhenti sekolah agar saudara2nya sekolah.. alhamdulillah semua saudaranya dapat jadi guru… tapi mereka sebelum sekolah harus menyabit rumput sebelum sekolah untuk dijual pagi2 dan langsung diberikan beras untuk makanan hari itu…
Salut atas perjuangan Bang Efri..
Cita-cita ternyata tak melulu tentang hal hal yang melangit ya Pak, bahkan memiliki cita-cita sederhana sepertinya menyenangkan, karena secara otomatis jadi menyederhanakan syarat bahagia itu sendiri.
Demikianlah…