Visa Monaco: Sebuah Drama


Saya pernah presentasi di tempat tempat yang jauh dari tanah air. Sering saya ceritakan pengalaman demikian dan yang lebih sering nampak adalah senang dan kerennya. Tidak banyak yang tahu atau ingin tahun drama di balik presentasi yang kadang terkesan hebat itu. Saya mau ceritakan satu perkara yang sesungguhnya tidak bisa dipisahkan dari semua cerita mentereng tentang presentasi di manca negara.

Visa hampir selalu menjadi urusan penting jika harus berkunjung ke negeri negeri yang jauh dari Indonesia. Kali ini saya juga harus mendapatkan visa untuk bisa presentasi di Konferensi ABLOS 2015 di Monaco, sebuah negara kecil di selatan Perancis. Mereka yang menggemari perhelatan balap Formula Satu mungkin akrab dengan negara mungil nan elok ini. Ini bukan kali pertama saya ke Monaco tetapi urusan visa tetap saja tidak otomatis dan tidak tiba tiba.

Keberangkatan ke Monaco kali ini disponsori oleh Perserikatan Bangsa Bangsa, khususnya Division for Ocean Affairs and the Law of the Sea dengan dana dari Nippon Foundation Jepang. Meski mendapat undangan dan sponsor dari salah satu organisasi paling keren di Planet Bumi, urusan visa tetapi tidak bisa ‘bim salabim’. Andaikan saja undangan dari PBB itu tiba tiba membuat saya bebas pergi ke Monaco tanpa perlu visa, alangkah enaknya. Ternyata memang tidak demikian. Tidak ada jalan pintas, kata Gede Prama. Dan itu benar adanya.

Persyaratan visa Monaco sesungguhnya tidak sulit. Semua hal bisa disediakan dengan mudah jika memang mau berusaha dan sempat mendedikasikan waktu yang cukup. Perihal waktu itulah yang belakangan menjadi barang mewah bagi saya. Waktu itu mahal dan tidak ada bonusnya. Tersedia hanya 24 jam bagi semua orang dan kebetulan belakangan ini 24 jam itu terisi banyak sekali agenda. Sayangnya, hampir semuanya penting dan tidak bisa dihindari. Itulah sebabnya saya tidak punya cukup banyak waktu untuk menyiapkan aplikasi visa. Beruntung ada kolega kantor yang berbaik hati membantu. Semua urusan beres. Tepatnya, hampir semua.

Pagi sekali tanggal 6 Oktober ’15 saya sudah termangu mangu di pesawat Citilink dari Jogja menuju Bandara Halim Perdana Kusumah (HLP). Jam sembilan pagi di hari yang sama saya dijadwalkan menyerahkan dokumen aplikasi visa dan sekaligus pengambilan foto biometric di TLSContact, tempat pembuatan Visa Schengen. Jika Anda belum paham, visa ke Monaco harus diproses melalui kedutaan Perancis karena Monaco tidak memiliki perwakilan di Indonesia. Visa yang diurus adalah Visa Schengen, visa yang bisa digunakan untuk masuk sekitar 27 negara di Eropa. Tentu saja urusannya menjadi sedikit lebih runyam dibandingkan visa untuk satu negara saja. TLSContact ada di Menara Anugerah lantai 2 di bilangan lingkar Mega Kuningan.

Jam tujuh pagi saya sudah ada di HLP, mendarat dengan selamat setelah menempuh perjalanan lancar yang dilalui dengan tidur nyenyak. Merasa masih pagi, saya menyempatkan diri sarapan di Kremesan di dekat Bandara sambil minum segelas es teh Thailand. Nikmat dan membuat saya siap memulai pagi yang akan penuh perjuangan. Selepas itu, taxi Blue Bird membaya saya ke Menara Anugerah dengan bapak sopir yang nampaknya baik dan agamis. Ini saya lihat dari janggut dan pecinya serta jawabannya yang selalu dimulai dengan “Insya Allah”. Tapi ini adalah penilaian fisik yang mungkin dangkal. Sudahlah.

Saya lewati perjalanan dengan memantau kantor di UGM, memberi beberapa instruksi dan menjawab berbagai pertanyaan. Kantor saya memang ada di Whatsapp. Waktu terus bejalan, tiba tiba saya sadar, sudah jam setengah sembilan belum sampai di tujuan. Macet bukan hal aneh di Jakarta tetapi pagi itu terasa lebih dari biasanya. Mungkin karena saya tegang, merasa harus ada di Menara Anugerah jam 9 pagi. Beberapa saat menunggu, tidak ada tanda tanda akan segera sampai. Saya mengambil keputusan cepat, turun di tengah kemacetan dan berpindah ke ojek yang semoga bisa bergerak lebih trengginas dan cekatan.

Ternyata mencari ojek di tengah kemacetan juga tidak mudah. Sekitar sepuluh menit waktu berlalu percuma sebelum akhirnya ada seorang tukang ojek baik hati yang mau mengantar saya. Motornya mengenaskan, kotor dan tua. Dashboardnya sudah rusak parah dan diikat kawat agar mau ‘bergabung’ satu sama lain. Suara motor tua itu seperti menderita dan debu yang menyelimuti hampir seluruh tubuhnya melengkapi penderitaan dan nuansa mengenaskan itu. Saya toh harus tetap menggunakannya, tak peduli sepatu mengkilat dan jas yang saya kenakan. The show must go on. Akhirnya sepeda motor butut itulah yang mengantarkan saya ke tempat tujuan. Cukup dengan 15 ribu saja, saya menuntaskan perjalanan.

Saya harus meninggalkan SIM yang ditukar sebuah label tanda pengunjung sebelum saya naik ke lantai 3 dengan lift. Setibanya di atas, saya bertemu dengan bapak satpam yang baik hati. Ketika saya terlihat tidak yakin, sang bapak sudah bertanya “ada yang bisa saya bantu Pak” dan itu menenangkan. Saya jelaskan perkaranya dan beliau segera memberi petunjuk. Saya dipersilakan masuk, diingatkan agar menitipkan HP di loker yang disediakan dan diizinkan hanya membawa tas dan dokumen aplikasi visa. Selepas menitipkan HP saya mengantri untuk mendapat nomor giliran dilayani. Menariknya, tidak ada nomor antrian, hanya nomor passport saya yang dicatat oleh petugas lalu dimasukkan ke sistem. “Silakan Bapak menunggu, nanti nama Bapak dan nomor loket akan muncul di layar itu” kata seorang petugas perempuan dengan ramah dan jelas namun tegas. Saya merasa lega mendapat pelayanan baik.

Tak lama menuggu saya melihat nama saya tertera di layar dan harus segera menuju loket 10. Saya segera beranjak dan duduk di depan seorang petugas yang ramah. Namanya Usha. Mbak Usha, tepatnya. Usianya mungkin sedikit di atas 20 tahun. Ramah, professional dan tegas. Dia memberi penjelasan dengan baik dan melayani dengan cekatan.

Satu per satu dokumen saya diperiksa dan ditandai. Di situlah kerumitan mulai terjadi karena ada beberapa dokumen yang belum lengkap. Yang pertama, saya belum menyertakan dokumen tanda pemesanan hotel di Monaco. Saya tidak menyertakannya karena pihak PBB yang akan memesankan dan katanya akan dipesankan setelah visa jadi. Sayangnya, untuk mendapatkan visa harus sudah ada tanda booking hotel. Ini seperti kisah ayam dan telor. Yang kedua, saya diminta menyertakan tiket saya ke Jepang. Mengapa ada urusan Jepang di sini… Saya memang akan pergi ke Jepang tanggal 12 Oktober sehingga saya sudah harus memegang passport saya sebelum itu. Artinya, proses pengurusan visa Monaco tidak boleh lebih lama dari itu. Dengan kata lain, saya meminta pengurusan visa Monaco dicepatkan dari waktu standar karena saya akan menggunakan passport yang sama untuk pergi ke Jepang enam hari lagi. Untuk menguatkan permintaan itu, saya diminta menyerahkan tiket saya ke Jepang. Masuk akal. Yang ketiga, saya diminta menyerahkan satu dokumen yang menunjukkan kepemilikan rekening dengan jumlah dana yang cukup. Meskipun semua perjalanan akan didanai PBB dan Nippon Foundation, penyerahan rekening pribadi tetap membantu.

Saya harus menyerahkan kekurangan dokumen hari itu juga sebelum jam 12 dan saat itu sudah jam 10 lebih. Di Jakarta, dengan situasi kota yang sedemikian rupa, waktu dua jam itu tidak banyak. Sayapun bertanya apakah dokumen itu bisa saya kirimkan lewat email untuk nanti dicetak oleh petugas. Jawabannya jelas dan tegas: tidak bisa. Saya tentu paham. Meski rumit, Mbak Usha dengan baik hati memberi jalan keluar. Saya bisa mencetak dokumen yang saya perlukan di sebuah mobile printing service alias pelayanan pencetakan dokumen keliling yang biasa mangkal di dekat Kedutaan Belanda.

Tanpa pikir panjang, saya segera melesat keluar dari TLSContact menuju Lokasi yang dimaksud. Lokasinya dekat dan bisa dicapai dengan berjalan kaki. Setelah berjalan beberapa saat saya belum menemukan layanan itu sehingga harus bertanya kepada orang orang di pinggir jalan. Semua baik hati menjelaskan Lokasi mobile service itu, hanya saja tidak semua petunjuk itu berguna dengan baik. Usut punya usut, ternyata mobil yang dimaksud sedang mangkal di tempat lain. Sayapun berjalan dan segeara mendapatinya di tempat yang tidak biasanya dia beroperasi. Saya melihat sebuah mobil tua yang dirancang sedemikian rupa dilengkapi komputer dan printer. Mobil tua itu sebenarnya tidak begitu nyaman untuk disebut mobile printing service tetapi itulah yang terbaik yang ada saat itu. Di dalam mobil ada dua lelaki yang bekerja dengan penih keringat karena panas. Suara pinter yang tersendat sendat menggambarkan kegalauan hati mereka. Suasana panas membuat saya bercucuran keringat. Lengkap sudah perjuangan.

Karena tidak membawa dokumen dalam flash disk, saya harus mengirimkan dokumen melalui email untuk mereka cetak. Tiket Jepang dan tanda kepemilikan rekening bisa dengan mudah saya peroleh karena memang sudah siap. Yang belum siap tentu saja bukti pemesanan hotel di Monaco. Agar cepat, saya segera kontak Mbak Titut dari Gama Wisata yang selalu siap sedia membantu. Dalam waktu beberapa menit saja saya sudah berhasil ‘memaksa’ beliau untuk memesan hotel di Monaco dari daftar hotel yang memang direkomendasikan oleh panitia Konferensi. Pemesanan hotel ini hanya formalitas karena hotel sebenarnya nanti akan dipesankan oleh PBB. Mbak Titut bekerja cekatan tetapi tetap saja jadi terasa lama karena saya benar benar menunggu dengan harap harap cemas sambil menghitung detik demi detik.

Sementara menunggu di tengah kepanasan, saya sudah mengirimkan tiket jepang dan tanda kepemilikan rekening untuk dicetak oleh mobile printing service itu. Herannya, seperti tidak ada kegiatan di dalam mobil pencetak itu. Ketika saya tanya kepada petugas pencetak itu, ternyata printernya sedang ngadat dan tidak mau beroperasi. Mereka ngambek, mungkin karena kepanasan. Ini melengkapi perjuangan saya dan akan menjadi lebih dramatis lagi ketika diceritakan nanti. Sementara itu, keringat kian deras, saya basah sebasah basahnya. Jas tentu saja segera menyelinap ke dalam tas karena tiba tiba kehilangan fungsinya. Saya gelisah, makin gelisah.

Di tengah kekalutan itu saya bertanya pada seorang perempuan yang rupanya menjadi pelanggan setia jasa itu. Saya menanyakan jasa percetakan lain yang bisa saya pakai. Dia dengan baik hati menjelaskan ada warnet di Jalan Perintis dan bisa dicapai dengan ojek. Tak lupa dia jelaskan, “ojeknya diminta nunggu saja di sana Pak karena tidak ada ojek lagi nanti untuk kembali ke sini”. Sebuah kebaikan yang tuntas, lebih dari yang saya harapkan. Tuhan memang menebar banyak orang baik di dunia ini, kita saja yang harus terbuka untuk menemukan mereka.

Dengan ojek saya melaju ke Jalan Perintis, mendapati sebuah warnet sederhana, kecil dan penuh sesak oleh komputer dan pelaggan. Saya harus melepas sepatu dan duduk di lantai untuk menikmati jasa warnet itu. Ya duduk di lantai dan lepas sepatu. Ini pengalaman baru yang melengkapi perjuangan.

Setelah berkutat beberapa menit dengan komputer, saya mulai bisa mencetak dokumen dokumen saya. Di situ juga saya menerim email dari Gama Wisata yang sudah mengirimkan tanda pemesanan hotel di Monaco. Lengkap sudah dan saya segera mencetaknya. Sementara itu waktu bergerak terus dan ketegangan meningkat. Untunglah tidak ada drama dengan printer di warnet itu dan mbak cantik penunggu warnet memberi layakan yang baik. Selalu ada kebaikan di tengah kekalutan. Selalu ada senyum manis di tengah kecut perasaan yang gundah gulana.

Enam ribu rupiah adalah ongkos jasa yang harus saya bayar. Tentu murah sekali untuk hal ikhwal dan kegentingan yang memaksa. Dengan ojek yang setia menunggu, saya melaju kembali ke TLSContact di Menara Anugerah lantai 3. Bapak tukang ojek melakukan tugasnya dengan sangat baik dan tiga puluh ribu rupiah untuknya dari saya.

Saya melesat ke atas dan bertemu pak Ssatpam yang ternyata sudah berganti orang. Meski berganti orang, ramahnya sama. Beliau menjelaskan dengan baik bahwa saya bisa segera bertemu dengan Mbak Usha di loket 10 tanpa perlu antri. HP saya tentu saja ditahan karena tidak boleh membawa HP ke dalam. Kali ini saya tidak perlu menitipkan di loket khusus karena hanya sebentar. Tanpa berpikir panjang saya menemui Mbak Usha yang memang tidak sedang melayani konsumen. Dia masih ingat saya dengan baik dan segela urusan segera tuntas. Semua dokumen sudah lengkap dan saya tinggal menunggu hasilnya. Saya ingatkan sekali lagi bahwa saya harus bisa mendapatkan visa sebelum tanggal 12 Oktober karena passport akan saya bawa ke Jepang. Dia mengerti dan membubuhkan catatan pada dokumen saya agar situasi saya menjadi bahan pertimbangan khsusus. “Passpornya bisa diambil sendiri atau dikuasakan kepada orang lain Pak” katanya menjelaskan.

Jam duabelas kurang sedikit saya sudah melaju ke Bandara HLP untuk segera kembali ke Jogja. Jam 15.30 di hari yang sama, sebuah rapat penting menunggu di Jogja. Demikianlah adanya. Visa kadang menjadi cerita di tengah kesibukan. Sampai tulisan ini saya selesaikan, saya bahkan belum menghabiskan makan siang di Kremesan dekat Bandara HLP. Untuk bisa bercerita dan memberi makna, kadang makanpun saya sambi dan ini tentu bukan kebiasaan yang bagus. Don’t try this at home karena memerlukan energi dan terutama kenekatan tingkat lanjut.

PS. Ketika tulsain ini Anda baca, visa Monaco sudah di tangan saya

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

7 thoughts on “Visa Monaco: Sebuah Drama”

  1. Terkejut baca di paragraf terakhir, ternyata Pak Andi di hari yang sama, saat siang hari sudah harus terbang kembali ke Jogja. Tapi alhamdulillah lancar Pak. Terimakasih sharing kisahnya Pak, menarik dan bermanfaat bagi yang ingin urus visa Schengen …

    Semoga lancar presentasi Pak Andi di Monaco

  2. Wah keren pak andi. Saya sampai jump in dan ngerasa langsung. Oya pak kalo saya boleh saran mungkin web bapak diganti template yg baru dari wordpress nya. Dan pastinya sudah update dengan teknologi adaptable screen. Karna kalo saya liat web bapak skrg belum adaptable ama semua ukuran layar ponsel. Saya buka web bapak di tablet dan cukup nyaman. Tapi saat saya baca lewat hape andro saya yg ukuran layarnya cukup kecil, saya harus zoom beberapa kali baru bsa baca. Nuwun pak.
    Btw download app gojek aja pak. Saya selalu terbantu dengan layanan gojek sehari2. Plus murah dan cepat 🙂

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: