
Jika belakangan kita sering mendengar studi banding wakil rakyat yang tidak semestinya dan ditunggangi kepentingan pribadi, maka kisah tentang Hajriyanto Y. Thohari nampaknya berbeda. Dalam perjalanan pribadinya terkait studi putrinya di Sydney, Bapak Hajriyanto Y. Thohari yang adalah Wakil Ketua MPR dari Fraksi Golkar justru menyempatkan mengemban misi negara. Hal ini terlihat dari aktivitas beliau menghadiri berbagai acara, termasuk diskusi dengan mahasiwa Indonesia di Sydney tanggal 21 Mei 2012 di Konsulat Jenderal RI Sydney. Luhur Korsika, kawan yang duduk di sebelah saya berkelakar, “ini namanya perjalanan pribadi yang ‘ditunggangi’ kepentingan bangsa, bukan perjalanan negara yang ditunggangi kepentingan pribadi”. Saya kira ini tepat digunakan untuk menyimpulkan apa yang terjadi malam itu. Diskusi yang dipandu oleh Pak Nico, seorang diplomat KJRI Sydney, berlangsung menarik.
Kiprah seorang Hajriyanto bisa dilihat di media massa lewat tulisan dan pernyataan oralnya. Beliau juga memanfaatkan media sosial Twitter untuk berkomunikasi dengan masyarakat dan memiliki situs pribadi www.hajriyanto.com. Penggunaan media komunikasi modern ini mengindikasikan niat beliau untuk berinteraksi dengan konstituennya. Sebagai seorang yang terlibat dalam memperjuangkan keterbukaan informasi publik, seorang Harjriyanto telah menjadi contoh yang layak ditiru.
Dalam diskusi dengan mahasiswa dan masyarakat Indonesia di Sydney, Pak Hajriyanto memulai pemaparannya dengan berkisah tentang reformasi. Salah satu pernyataan menarik beliau adalah “kita tidak boleh terlampau nihilistik dengan mengatakan reformasi gagal total dan tidak juga terlalu optimistik dengan mengklaim reformasi berhasil gemilang tanpa cacat”. Pak Hajriyanto kemudian memulai kisahnya dengan cerita sukses seputar reformasi. Salah satu yang harus diakui sebagai keberhasilan adalah terjadinya suksesi kepemimpinan nasional yang berjalan baik. Hal ini sangat berbeda dengan suksesi di masa sebelum reformasi yang berdarah-darah. Hal kedua yang patut disyukuri adalah adanya kesempatan bagi rakyat untuk menggugat aturan perundang-undangan melalui mekanisme judicial review. Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia rakyat bisa dan benar-benar memanfaatkan hak ini. Pak Hajriyanto memandang ini sebagai sesuatu yang luar biasa. Dengan mengakui bahwa dalam prosesnya bisa terjadi hal-hal yang meresahkan, hal ini harus dipandang sebagai kemajuan yang signifikan sebagai hasil dari reformasi. Selanjutnya Pak Hajriyanto dengan fasih menjelaskan posisi pemerintah (eksekutif) dan lembaga legislatif terkait fungsi membentuk Undang-undang.
Hal penting lain yang disampaikan Pak Hajriyanto adalah adanya kebebasan pers yang sedemikian hebat. Dari pemaparannya, Pak Hajriyanto nampak tegas dengan posisinya yang mendukung kebebasan pers. Dalam salah satu ucapannya, beliau bahkan mengatakan bahwa jika harus memilih salah satu antara ‘adanya pemerintah dengan pers yang terbelenggu’ atau ‘pers yang bebas tanpa adanya pemerintah’ maka beliau memilih opsi kedua. “Kebebasan pers adalah pilar demokrasi yang harus tetap dijaga”, demikian beliau menegaskan.
Terkait suksesi, Pak Hajriyanto juga membandingkan apa yang terjadi di Timur Tengah saat ini terkait pergantian rejim. Beliau membandingkan bahwa dunia mungkin melihat Indonesia di saat awal reformasi seperti kita melihat geliat Timur Tengah dewasa ini. Meski dengan perjuangan yang tidak mudah dan tidak mulus, kini Indonesia boleh bangga dan berdiri tegak karena telah melewati ujian dengan baik. Di tahun 1990an saat reformasi baru bergulir, banyak yang memprediksi Indonesia akan tercerai berai bahkan hilang dari percaturan bangsa-bangsa. Kenyataannya toh bertolak belakang. Indonesia tetap ada dan bahkan menunjukkan kemajuan berarti. Secara ekonomi, Pak Hajriyanto juga menyampaikan perkembangan Indonesia yang sangat positif. Pertumbuhan ekonomi yang mencapai 6,5 persen adalah prestasi yang tidak sederhana. Kini Indonesia masuk dalam G20 karena performanya di bidang ekonomi.
Meski sangat bersemangat dengan segala kebaikan yang ada di Indonesia, Pak Hajriyanto juga tidak menutup mata akan kelemahan dan perlunya perbaikan di berbagai bidang. Salah satu yang menurut beliau menjadi indikator belum tuntasnya reformasi adalah korupsi yang masih merajalela. Yang mengkhawarirkan, selain secara kuantitas, korupsi rupanya telah mengalami regenerasi yang cukup rapi. Hal ini terbukti dengan selalu saja ada anak muda yang terlibat dalam aktivitas korupsi dan itupun dalam jumlah yang mencengangkan secara materi. Korupsi juga terdistirbusi hampir merata, tidak saja di pusat tetapi juga di daerah. Kasus korupsi yang melibatkan pemimpin daerah sangatlah memprihatinkan dalam hal jumlah pelaku dan nilai korupsi. Pak Hajriyanto dengan fasih menyebut angka-angka dan jumlah terkait kasus korupsi oleh kepala daerah di Indonesia.
Saat berbicara soal hukum dan perangkat pengendali korupsi, Pak Hajriyanto optimis bahwa sebenarnya perangkatnya sudah memadai. Beliau kemudian dengan fasih menyebut serangkaian peraturan dan perundang-undangan yang sudah dimiliki Indonesia terkait pengaturan segala aktivitas yang relevan. Beliau menyebut beberapa aturan yang kemudian melahirkan badan seperti PPATK, KPK, LPSK, KPKPN, dan Komisi Informasi. Meskipun di satu sisi beliau melihat bahwa pembentukan lembaga baru itu tidak selalu menjadi jalan keluar terbaik, harus diakui bahwa kesungguhan Indonesia, setidaknya secara formal, layak diapresiasi. Pertanyaannya, mengapa persoalan masih ada? Pak Hajriyanto dengan jujur tidak akan memberikan jawaban singkat yang jitu karena memang tidak semudah itu. Sebagai tawaran jalan keluar, Pak Hajriyanto mendorong dan mengajak para pihak, termasuk mahasiswa Indonesia di Sydney untuk memikirkan dan meneliti hal itu secara serius dan komprehensif.
Pak Hajriyanto juga memiliki satu tesis bahwa kekacauan yang terjadi di Indonesia adalah, sebagiannya, merupakan perihal sosial budaya. Meski demikian Pak Hajriyanto menolak bahwa korupsi itu sudah membudaya. Budaya yang dimaksud di sini adalah adanya perilaku masyarakat yang memungkinkan korupsi berkembang lebih pesat. Misalnya, masyarakat cenderung lebih permisif terhadap para pelaku korupsi dibandingkan pelaku pelanggaran norma kesusilaan. Dicontohkan bahwa umumnya seorang yang melanggar norma kesusilaaan seperti kasus video porno lebih cenderung dikucilkan dan habis karirnya dibandingkan mereka yang terbukti korupsi. Apa yang disampaikan Pak Hajriyanto ada benarnya meskipun tidak berlaku universal karena kenyataannya ada juga calon pemimpin daerah yang terbukti melanggar norma susila tetapi tetap melenggang ke kursi kekuasaan.
Lebih jauh, Pak Hajriyanto menyampaikan bahwa tanggapan masyarakat terhadap seorang koruptor dipengaruhi oleh besarnya manfaat yang mereka terima. Seorang koruptor yang dermawan dengan turut menyumbang pembangunan tempat suci, misalnya, cenderung diterima oleh masyarakat. Hal ini yang kemudian membuat lahirnya lebih banyak koruptor berkedok darmawan atau darmawan yang menggunakan cara-cara yang tidak semestinya. Inilah yang dimaksud Pak Hajriyanto dengan persoalan budaya terkait korupsi.
Terkait cara mengatasi pesoalan budaya ini, Pak Hajriyanto menekankan pentingnya pendidikan karakter. Beliau mengutip apa yang disampaikan oleh Bung Karno tentang nation and character building yang sesungguhnya sudah ditegaskan dalam UUD 1945. Pendidikan sesungguhnya menekankan pada akhlak dan etika. Etika di sini tentu saja besifat luas tidak saja terkait perilaku yang kasat mata tetapi pada nilai-nilai yang dianut untuk membedakan hal baik dan buruk secara universal. Ditekankan juga bahwa bangsa Indonesia menekankan pendidikan karakter dengan merevitalisasi empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika. Terkait keempat pilar kebangsaan ini, disampaikan bahwa secara formal semua pihak menerima. Sebagai contoh, partai-partai menerima Pancasila sebagai dasar negara tanpa mempertanyakan, demikian pula UUD 1945. NKRI tetap menjadi pilihan meskipun ada riak-riak separatis di beberapa tempat. Selain itu, kebhinekaan atau pluralisme juga diterima dengan baik, setidaknya dalam ekspresi formal.
Karena soal waktu, Pak Hajriyanto memang tidak secara mendalam membahas pluralisme terkait kebebasan menjalankan kepercayaan di Indonesia. Jika mau jujur, kita tentu bisa melihat bahwa masih ada persoalan yang menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Sebuah artikel di New York Times tanggal 22 Mei 2012 misalnya mengungkap hal ini dengan gamblang, bahwa ada hal yang masih perlu diperbaiki. Saya kira mereka yang terbuka dan peduli bisa merasakan bahwa di Indonesia, masih ada pihak-pihak tertentu yang merasa terintimidasi atau terancam dalam menjalankan kepercayaannya. Dalam konteks tidak langsung, Pak Hajriyanto mengungkapkan bahwa persoalan kadang masih ada pada level penafsiran dan pemahaman. Ruang debat memang selalu dan selayaknya tetap ada dan usaha perbaikan harus senantiasa dilakukan. Di luar semua itu, secara pribadi saya bisa memahami adanya perbedaan pemahaman terkait kepercayaan dan ini boleh saja diperdebatkan. Hanya saja saya berharap negara hadir untuk menjamin tidak ada orang Indonesia yang teraniaya karena menjalankan keyakinannya. Meskipun beberapa kelemahan masih ada, hal itu tentu saja tidak cukup untuk memvonis bahwa Indonesia telah gagal mengawinkan demokrasi dengan Islam dalam konteks pluralisme, misalnya. Kata seorang kawan dalam diskusi terpisah, proses masih berlangsung dan kita juga tahu bahwa tidak ada satu demokrasipun yang tanpa cela. Yang harus dilakukan adalah selalu memperbaiki dan bergerak maju.
Meski yakin dengan apa yang tertuang dalam konstitusi terkait pendidikan, Pak Hajriyanto juga mengakui bahwa tujuan pendidikan yang baik itu belum sepenuhnya terimplementasikan. Inilah yang ditunggu oleh masyarakat karena hal-hal yang manis di konstitusi tidak akan berarti apa-apa jika tidak dirasakan hasil dan terutama manfaatnya oleh masyarakat. Ini merupakan tanggung jawab kementerian dan instansi terkait untuk menerjemahkan nilai-nilai dalam konstitusi menjadi program yang padu dan efektif di lapangan.
Meski tetap percaya dan optimis bahwa fondasi kenegaraan kita makin kuat, Pak Hajriyanto sadar dengan berbagai kelemahan yang perlu diperbaiki. Misalnya, menurut beliau, sulit meyakinkan rakyat dan dunia bahwa sila kelima dari pancasila benar-benar dijalankan ketika 30an juta rakyat masih miskin sementara sebagian lainnya kaya raya. Sulit menjelaskan perihal keadilan ketika banyak kasus yang dibiarkan menggantung tidak terselesaikan. Untuk hal ini beliau mencontohkan kasus-kasus yang menyangkut mantan presiden Soekarno dan Soeharto yang akhirnya tidak diadili tuntas. Contoh-contoh lain tentu banyak sekali.
Terkait ekonomi, indikator formal memang cerah tapi ada persoalan pemerataan. Ditegaskan bahwa hanya sekitar 0,22 persen masyarakat kelas tertentu yang menguasai lebih dari 50 persen sumberdaya negara. Oleh karena itulah, angka pertumbuhan ekonomi yang menjanjikan itu seringkali tidak bermakna signifikan bagi sebagian penduduk Indonesia. Harus diakui bahwa kesulitan hidup masih dirasakan oleh banyak penduduk miskin meskipun dunia memuji perkembangan ekonomi Indonesia.
Ketika saya minta komentar Pak Hajriyanto terkait fenomena wakil rakyat yang studi banding dan menuai kecaman bahkan demonstrasi, beliau menyetujui bahwa demo itu perlu dan media massa memang harus kritis. “Wakil rakyat memang harus diingatkan”, kata beliau. Meski demikian Pak Hajriyanto juga mengingatkan bahwa wakil rakyat ini bagaikan berada dalam ‘rumah kaca’ seperti yang beliau kutip dari penulis kenamaan Indonesia, Pramudya Ananta Tour. Semua hal terlihat jelas dan menjadi pusat perhatian. Masyarakat mungkin kurang memperhatikan bahwa lembaga eksekutif juga kerap melakukan kunjungan ke luar negeri dan tidak selalu ideal dalam pelaksanaanya. Dari caranya menjawab dengan gamblang dan terbuka, nampak jelas Pak Hajriyanto tidak khawatir dengan isu studi banding akan menimpa dirinya. Dalam kelakarnya beliau mengatakan “saya setahun ini tidak pernah ke luar negeri, mungkin karena bahasa Inggris saya nggak bagus” dan disambut tawa hadirin.
Meski menjunjung tinggi kebebasan pers, Pak Hajriyanto juga menyetujui bahwa pers yang bebas ini bisa mendatangkan masaah. Salah satu yang terjadi sekarang adalah kebebasan pers memberitakan apa saja dalam cakupan geografis yang bebas. Tidak jarang ada berita tentang sebuah kejadian kecil di tempat terpencil yang menjadi berita nasional karena diberitakan TV nasional (Jakarta). Kejadian tersebut, yang sesungguhnya bersifat lokal, seakan-akan menjadi representasi Indonesia. Akibatnya, persepsi orang tentang Indonesia didikte oleh berita semacam ini. Dalam hal ini saya setuju bahwa berita yang kita baca kadang membuat kita lupa bahwa negeri ini terdiri dari 240 juta orang, 33 provinsi dan 17.500an pulau. Berita yang ada kadang membuat pembaca berkonsentrasi pada satu urusan yang melibatkan segelintir manusia Indonesia saja. Terkait hal ini, Pak Hajriyanto berharap banyak pada Komisi Penyiaran Indonesia.
Ketika ditanya komentarnya soal penggunaan media sosial oleh pemerintah dan wakil rakyat, Pak Hajriyanto setuju. Penggunaan media sosial dianggapnya sangat baik bagi para wakil rakyat dan pemerintah untuk berinteraksi lebih dekat dengan masyarakat. Hanya saja tidak semua orang berani tampil di media-media seperti itu. Beliau mengkritik, banyak pejabat yang memiliki akun Twitter, misalnya, tetapi menyerahkan pengelolaanya kepada administrator sehingga pernyataannya seringkali terlalu formal dan normatif. Untuk ini, Pak Hajriyanto memilih untuk tampil apa adanya dan menikmati pujian dan makian lewat dunia maya. “Kalau dihujat, saya ya biasa saja. Dibilangin banyak bacot ya saya iyakan saja karena tugas MPR memang ngomong” katanya sambil berkelakar. Pak Hajriyanto memang cukup rajin menggunakan Twitter dengan akun @hadjriyanto yang diikuti oleh lebih dari 3000 orang.
Jofardan, ketua PPIA New South Wales, memberi tanggapan bahwa optimisme yang coba dihembuskan oleh Pak Hajriyanto itu belum dirasakan di masyarakat. Disampaikan bahwa kerabatnya di Indonesia bahkan menyarankannya untuk tetap tinggal di Australia karena di Indonesia sudah tidak ada harapan. Pak Hajriyanto menanggapi komentar ini dengan tenang. Pertama beliau sepakat bahwa persoalan memang masih ada. Pesimisme itu muncul, salah satunya, karena rakyat melihat para pemimpin tidak bisa dijadikan teladan. Pemimpin tidak menjadi contoh yang baik sehingga rakyat putus harapan. Menariknya, menurut beliau, hal ini terjadi justru ketika pemimpin dipilih langsung oleh rakyat. Sederhananya, pemimpin yang demikian sesungguhnya adalah pilihan rakyat sendiri. “Tapi tentu kita tidak bisa mengatakan itu kepada masyarakat” cetusnya. Secara implisit, Pak Hajriyanto mengatakan bahwa untuk memperbaiki keadaan itu, orang-orang dengan karakter yang baik dan pengetahuan yang memadai perlu terlibat dalam penyelenggaraan negara. Harapan itu tentu ditujukan juga kepada generasi muda Indonesia yang mengenyam pendidikan di luar negeri.
Lebih lanjut Jofardan menuampaikan bahwa harapan pada generasi muda juga ternodai dengan kenyataan bahwa para pelaku reformasi 1998 juga akhirnya terlibat kasus korupsi atau penyuapan. Jofardan mengacu pada kasus yang menimpa Rama Pratama. Pak Hajriyanto membenarkan hal itu dan menyampaikan bahwa tuduhan tersebut belum terbukti dan itu adalah tuduhan suap. Kebebasan pers memang bisa membangun opini publik yang kadang melebihi apa yang sesungguhnya terjadi. Tanpa melakukan pembelaan, Pak Hajriyanto bependapat bahwa meskipun nanti Rama terbukti tidak besalah, akan sangat sulit baginya mengembalikan nama baik karena berita sudah sedemikian liarnya. Apapun keputusannya nanti, kejadian ini menjadi pelajaran bagi semua orang untuk semakin berhati-hati dalam bertindak, terlebih ketika dia berada di “rumah kaca” yang menjadi sorotan banyak pihak.
Komentar berikutnya disampaikan oleh Arintha, salah seorang peserta diskusi, terkait pendidikan karakter. Arintha melihat perlunya pendidikan karakter tersebut diberikan kepada generasi muda Indonesia. Dia menyoroti, misalnya, banyaknya sekolah swasta terkemuka yang bahkan sudah tidak begitu peduli lagi dengan pengajaran nilai-nilai kebangsaan seperti yang dikemukakan Pak Hajriyanto terkait empat pilar kebangsaan. Arintha meyakini bahwa generasi ini akan berperan dalam kehidupan bangsa Indonesia kelak dan khawatir dengan sikap dan perilaku mereka jika tidak memiliki semangat kebangsaan yang memadai. Untuk hal ini, Pak Hajriyanto menyepakati dan lagi-lagi menegaskan bahwa perlu keterlibatan kementerian pendidikan dan kebudayaan untuk implementasinya.
Lebih jauh Pak Hajriyanto menyampaikan bahwa MPR sudah meminta eksekutif untuk segera mengambil langkah nyata dalam menyiapkan program pendidikan yang menjamin terselenggaranya pendidikan sesuai dengan amanat konstitusi terutama terkait pendidikan karakter. Disampaikan bahwa tidak harus membentuk badan baru tetapi dengan memberdayakan badan yang sudah ada seperti Wantanas atau Lemhanas. Meski demikian, Pak Hajriyanto mengakui bahwa respon pemerintah, dalam hal ini presiden, memang tidak secepat yang diharapkannya. Meski mengaku belum puas, Pak Hajriyanto mencoba memahami bahwa Presiden SBY mungkin memerlukan waktu yang lebih lama untuk mengambil keputusan yang terbaik.
Di sela diskusi hangat itu, seorang peserta lain dari pihak KJRI nyeletuk “bagaimana dengan reformasi manusia Pak?” Pak Hajriyanto menanggapi dengan spontan bahwa pada akhirnya yang diperlukan adalah reformasi manusia. Apa yang dipaparkan sebelumnya terkait pendidikan pada dasarnya adalah upaya untuk melakukan reformasi manusia Indonesia. Terkait ini Pak Hajriyanto berpesan agar mahasiswa Indonesia yang berkesempatan menuntut ilmu di negara maju benar-benar memanfaatkan kesempatan dengan baik untuk nanti membawa kebaikan bagi tanah air.
Karena waktu, diskusi harus diakhiri setelah kurang lebih dua jam berinteraksi. Saat Pak Konjen diminta memberi catatan akhir, beliau menyampaikan sebuah kilas balik bagaimana generasi beliau berjuang di tahun 1970an saat menjadi mahasiswa di UI. Satu yang dicatatnya adalah bahwa tidak sedikit temannya yang dulu idealis dan diharapkan akan bisa membawa perubahan di Indonesia justru kemudian terjerat lingkaran birokrasi dan melakukan perusakan dari dalam. Hal ini disampaikannya untuk menegaskan bahwa sejarah bisa berulang dan itu harus menjadi cacatan bagi generasi muda yang kini memiliki idealisme. Bahwa diperlukan konsistensi yang luar biasa untuk menjadi tetap baik.
Diskusi malam itu berakhir baik yang ditutup dengan menikmati hidangan yang disediakan Konjen. Inti dari diskusi itu, seperti ditegaskan oleh Pak Hajriyanto di awal pembicaraannya, adalah melakukan introspeksi, retrospeksi dan prospeksi tentang Indonesia. Bangsa Indonesia perlu merenung dan belajar degan melihat ke dalam diri. Selanjutnya kita harus mengamati dengan seksama apa sudah terjadi di masa lalu dan mengambil pelajaran untuk kemudian menentukan langkah terbaik di masa depan.
Catatan:
Tulisan ini adalah hasil penyimpulan pibadi dari diskusi bersama Bapak Hajriyanto Y. Thohari tanggal 21 Mei 2012 di Konjen RI di Sydney. Urutan dalam tulisan ini tidak sepenuhnya mencerminkan kronologis diskusi dan beberapa kutipan mungkin tidak verbatim tetapi tetap mencerminkan isi pernyataan Bapak Hajriyanto. Segala pernyataan atau opini yang berbeda dengan yang dimaksudkan oleh Bapak Hajriyanto, sepenuhnya adalah tanggung jawab saya, I Made Andi Arsana. Jika pembaca menemukan kekeliruan, mohon mengirimkan email ke madeandi@ugm.ac.id untuk koreksi. Pengutipan seluruh atau sebagian tulisan ini harus dengan ijin penulis.
Bagus Bli Andi, di MAWU UoW juga demikian. Kalau tidak percaya pada calon pemimpin yang akan dipilih, ada opsi golput, komentarnya. Menyesalnya saat amandemen UUD 1945 hanya memberi peluang pencalonan pemimpin hanya dari partai, masih menunggu momentum kata beliau, jika kita mau membuka opsi capres dari pihak independen. demikian Bli Andi yang saya ingat. Trims. Sam
Suksma Pak Sam. Ini tambahan pengetauan yang baik 🙂
baca reportoar ini serasa ada di ruang diskusinya ..superb mas Andi! btw, jadi tau kalau Rama sedang diduga tersangkut kasus..:(
Makasih mbak Yuni. Saya berharap, kasus Rama ini ga bener.
Wah keren bapak.
Thanks
Wah….ini sebuah reportase yang luar biasa bagus. lebih bagus dari aslinya. terima kasih Mas Andi Arsana. Cepet selesai studinya dan kembali ke Tanah Air. Negara menunggumu, mas!
Waduh kehormatan besar ini. Pak Hajriyanto berkenan turun gunung membaca 🙂 Matur nuwun doanya Pak. Segera pulang.