Suatu pagi saat di Jogja, seorang kawan masuk sebuah ruangan tempat kami biasa duduk santai di sela-sela pekerjaan. Kawan ini dengan sigap mengambil koran dan membacanya. Menariknya, yang dibaca adalah Koran kemarin. Katanya beliau tidak sempat membaca kemarin karena harus berada di rumah sakit. “Buta rasanya kalau tidak sempat membaca berita” kata beliau. Saya merenungkan ucapan itu. Ini tentu bukan hal aneh, banyak sekali orang merasa buta dan gelisah jika tidak mengetahui apa yang terjadi.
Pertanyaan yang kemudian muncul secara reflektif pada diri saya adalah “untuk apa kita membaca berita?” Saya yakin, semestinya ada hal lebih besar daripada sekedar “ingin tahu apa yang terjadi”. Atau memang sebatas itu? Mungkin saya berpikir terlalu rumit karena membaca berita bisa jadi bukanlah hal yang harus dipikirkan seserius ini. Tapi sungguh, belakangan saya berpikir lebih dalam lagi, terutama ketika berita yang mendominasi Koran dan media lainnya adalah berita buruk. Kalau mau jujur, berita buruk itu meresahkan dan membuat saya gelisah. Saya tidak tahu apa yang terjadi pada teman-teman saya yang membaca berita yang sama. Mungkin saja ada yang dengan bijaksana menjadikan berita itu sebagai pengetahuan semata, tidak mengganggu pikirannya, tidak juga menjadikannya gelisah. Jika bisa seperti ini, saya yakin akan lebih bagus.
Saya pribadi punya keyakinan, seseorang semestinya tidak berhanti hanya sampai pada membaca dan memahami berita lalu selesai perkara. Yang lebih penting adalah reaksi setelah membaca berita itu. Sejak berada di luar negeri saya memperhatikan kawan-kawan saya rajin membaca tentang Indonesia. Saya menemukan beragam reaksi setelah membaca berita itu. Yang paling banyak adalah mereka yang gemar berbagi berita tersebut di jejaring sosial untuk dibaca teman-teman lain tanpa komentar apapun. Yang lain menambahkan komentar pribadi. Ada yang konstruktif, berusaha menjelaskan sesuatu atau memberi masukan. Kebanyakan dari mereka hanya mencaci maki, menunjukkan kebencian dan ketidakpuasan tanpa memberi solusi apapun. Tidak jarang kawan lain hanya menambahi komentar berupa cibiran atau tertawa terbahak-bahak penuh penghinaan. Meski demikian, sedikit dari mereka ada juga yang langsung memberi ulasan di milis dengan berbagai teori dan mencoba memberi masukan. Menariknya, masukan itu disampaikan lewat milis dan tidak akan pernah dibaca oleh mereka yang terlibat dalam pemberitaan tersebut. Sebagian kecil lagi ada yang menulis opini di Koran nasional atau bahkan mengumpulkan beberapa kawan lain untuk diskusi dan secara serius membahas berita yang baru dibacanya. Yang lebih serius akan membuat konferensi pers terkait masukannya atau mengirimkan naskah usulan kepada pihak terkait di Indonesia. Reaksi yang berbeda-beda ini menarik. Yang paling banyak dan tidak diketahui tentu saja mereka yang membaca dan tidak bereaksi apapun secara publik, entah apa yang dipikirkannya.
Saya tidak mengalami ketergantungan akan berita, terutama jika berita itu tidak terkait dengan apa yang saya pelajari. Jika terkait perbatasan, biasanya saya menyimak dengan baik. Saya juga tidak seperti kawan di Jogja yang merasa buta jika tidak mengetahui informasi terkini. Bagi saya berita tentang Indonesia adalah sebuah representasi dan representasi tidak akan pernah bisa mewakili secara utuh. Sebuah berita tentang seorang ibu yang menjual anaknya di sebuah kota kecil di pedalaman Sumatera sering kali seakan-akan menjadi representasi dari Indonesia hanya karena beritanya muncul di Koran atau TV nasional. Video mesum seorang oknum PNS di sebuah kota kecil di Jawa seakan mewakili jutaan PNS di Indonesia yang tersebar dari Sabang Sampai Merauke, dari Pulau Dana di Selatan hingga Pulau Miangas di ujung Utara. Berita yang penuh sensasi kadang membuat saya lupa bahwa Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia, bahwa selain Jawa, ada juga 17 ribu lebih pulau lainnya yang menjadi bagian penting dari kedaulatan Indonesia. Berita genting juga kadang membuat saya terpaku pada beberapa gelintir sosok, dan lupa bahwa Indonesia sesungguhnya miliki 240an juta jiwa manusia.
Idealnya, dengan mengetahui sebuah berita yang kurang menyenangkan saya seharusnya tergerak untuk melakukan sesuatu untuk memperbaiki situasi. Sayang sekali, saya belum bisa berbuat banyak untuk Indonesia. Indonesia tidak atau belum akan berubah karena saya. Apa yang saya ketahui tentang Indonesia sesungguhnya tidak mengubah Indonesia. Seperti orang buta yang meraba gajah maka gajah bisa seperti tali jika yang diraba ekornya, bisa juga seperti pohon jika yang diraba kakinya atau seperti kendi besar jika yang diraba adalah perutnya. Tetapi gajah itu tetaplah gajah, dia tidak berubah karena persepsi.
Maka pertanyaannya menjadi “persepsi apa yang ingin saya bangun tentang Indonesia?” karena Indonesia di mata saya sesungguhnya adalah soal persepsi dan pemahaman saya terhadapnya. Saya memilih untuk membangun persepsi baik dan positif, maka saya membaca berita positif. Apakah ini lebih baik dibandingkan membaca berita buruk tentang Indonesia? Saya tidak memposisikan diri untuk menghakimi seperti itu. Yang jelas, saya membaca berita baik untuk ketenangan diri sendiri karena keinginan saya untuk membangun persepsi baik tentang Indonesia. Betul, hanya membaca berita baik akan membuat pemahaman saya menjadi bias. Tapi saya merasa ini lebih baik dibandingkan hanya membaca berita buruk. Yang paling ideal tentu saja adalah membaca semua berita lalu menganalisisnya dengan cermat untuk kemudian melakukan aksi nyata untuk perbaikan. Tapi jika membaca berita buruk itu hanya akan membuat saya gelisah, lebih sering memaki atau menertawakan bangsa sendiri tanpa mau atau mampu menawarkan solusi maka lebih baik tidak saya lakukan.
Membaca berita baik tentang Indonesia membuat saya optimis dan bahagia. Karena saya bahagia maka saya bekerja dengan lebih tenang dan gembira, sesederhana apapun pekerjaan itu. Kegembiraan dalam bekerja itu seringkali membuat pekerjaan bisa terselesaikan dengan baik. Jika pekerjaan kecil yang terselesaikan dengan baik itu kemudian membuat Indonesia menjadi sedikit lebih baik, maka ini adalah cerita lain yang sesungguhnya adalah efek samping belaka. Tidak membaca berita memang bisa “membutakan” tetapi jika mengetahui berita bisa membuat saya jadi beringas dan suka memaki, maka saya memilih untuk “buta”.
“Saya pribadi punya keyakinan, seseorang semestinya tidak berhanti hanya sampai pada membaca dan memahami berita lalu selesai perkara. Yang lebih penting adalah reaksi setelah membaca berita itu.”-sepakat!
Lebih jauh, kebesaran Indonesia tidak akan pernah muncul kalau kita sebagai bangsa baru sampai pada tahap menganalisa. Kebesaran Indonesia baru bisa muncul ketika kita sebagai bangsanya sudah mampu menghasilkan karya.
Subhan Zein
Tepat sekali Mas Subhan 🙂