Ketika tidak ada sinyal


Obama and his BB

Dengan smartphone yang terkoneksi dengan media sosial seperti Facebook dan Twitter, seseorang betah berada di satu tempat tetapi jiwanya melayang ke mana-mana. Tidak mudah menjumpai anak muda yang berbicara dengan orang-orang tidak dikenal saat menunggu bus di halte misalnya, karena masing-masing sibuk tersenyum dan tertawa dengan handphonenya. Tidak hanya anak muda, yang tidak terlalu muda pun melakukan hal yang sama. Saya juga kerap ada dalam situasi itu: asik berbagi lewat twitter tanpa menghiraukan orang-orang di sekitar saya. Menariknya, naluri berbagi yang cukup tinggi itu justru terjadi bersamaan dengan ketidakpedulian saya pada orang-orang yang sesungguhnya secara geografis lebih dekat dengan saya pada saat itu. Apakah Anda pernah mengalami hal yang sama?

Berbagi lewat Twitter atau Facebook atau media sosial lainnya menurut saya tidak salah, apalagi hal yang dibagikan itu bermanfaat. Saya paling senang berbagi informasi tentang beasiswa dan sekolah di luar negeri dan itu diminati oleh banyak orang. Masalahnya, obsesi berbagi lewat media sosial itu ternyata menurunkan semangat untuk bertegur sapa dengan orang-orang yang dijumpai di dunia nyata. Pemakai twitter bisa cukup mudah akrab dengan pengguna twitter lain yang baru ‘ditemuinya’ beberapa menit lalu di dunia maya, tetapi tidak punya energi berkenalan dengan orang di dekatnya yang sama-sama menunggu bus kota. Sekali lagi, ini bukan tuduhan pada orang lain, saya sendiri kerap mengalami dan belakangan saya sadari.

Suatu hari saya ada di bengkel mobil dan iPhone saya tidak mendapatkan sinyal karena satu alasan. Artinya tidak bisa online, tidak bisa nge-twit, tidak bisa isi status di facebook. Saya mulai melihat sekitar, ternyata banyak orang. Tidak dapat sinyal membuat saya menyadari satu hal: di sekitar saya ada banyak orang. Saya menyapa seorang ibu-ibu yang juga menunggu mobilnya yang sedang diperbaiki. Awalnya beliau mungkin merasa agak aneh karena saya memulai komunikasi sementara orang lain sibuk sendiri, baca koran atau menelpon. Yang paling banyak tentu saja mereka yang tersenyum-senyum dengan Blackberry mereka. Ternyata masih banyak orang yang senang diajak ngobrol, apalagi motivasi percakapannya tulus dan wajar. Dari percakapan itu saya tahu, beliau adalah salah satu pencipta Jamu Buyung Upik yang terkenal itu. Seorang ‘penemu’ itu adalah alumni Farmasi UGM. Kalau saja hari itu saya dapat sinyal, mungkin saya akan melewatkan perkenalan penting itu karena sibuk bermesraan dengan iPhone, menyapa orang-orang dari antah berantah.

Sejak itu, saya ingin kembali pada kebiasaan lama: gemar menyapa orang-orang di sekitar. Bahwa nge-add orang di FB atau follow pengguna twitter atau men-circle teman di Google Plus itu pada dasarnya adalah usaha untuk menambah kenalan, menjalin silaturahim. Jika kita bisa lakukan hal yang sama di halte bus, di pasar, di lounge room bandara, di kantin, di pesawat, di kereta, mengapa tidak?! Indah sekali kalau kita bisa akrab dengan kawan di dunia maya maupun nyata. Sesungguhnya sangat asik berbagi dengan mereka yang senyumnya bisa kita lihat atau tertawanya bisa didengar. Karena ekspresi memang sesungguhnya lebih dari sekedar “wkwkwkwk” atau “LOL” dan senyum itu tidak sesederhana “tanda titik dua” dan “kurung kanan”.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

12 thoughts on “Ketika tidak ada sinyal”

  1. Yang menyedihkan itu bila kita lagi kumpul sama teman2 dan/atau saudara2 tapi ternyata mereka malah asyik sama BBM mereka sendiri-sendiri 😦 I’m really not impressed if I meet my friends who I haven’t met for a long time and the first thing they do is BBM’ing -_-

    BBM dan/atau smartphones lain bisa menjadi alat untuk mendekatkan yang jauh dan menjauhkan yang dekat 🙂 We have to be very careful about this.

    Untuk masalah ngobrol sama orang yg sama2 lagi nunggu bis rasanya itu agak berbeda menurut saya. Karena mungkin mereka agak tidak senang diajak bicara 🙂 Mungkin kalau satu pesawat, ato sama2 nunggu di ruang praktek dokter, kita bisa melakukan hal tersebut. Tidak menutup kemungkinan mereka jg enggan diajak bicara.

  2. Sebuah tulisan yang menginagtkan kambali kebaikan yang mulai terkubur seiring memasyaratnya jejaring sosial. Sehat selalu mas ya.

  3. Like this very much…. Bahkan suatu ketika pernah ada tamu terpaksa saya usir secara halus dikarenakan dia lebih asyik dgn BB nya daripada saya yg notabene adalah tuan rumah tempat dimana dia bertamu… Aneh memang tapi nyata adanya… Bertamu ke rumah orang kok lebih mementingkan BBMan drpd bercakap2 dengan orang yang dia datangi secara fisik….

  4. Upaya Mas Andi menambah kenalan semacam itu tentu sangat baik sekali. Di Indonesia saya sering sekali melakukannya. Jelas sekali di ingatan saya, perjalanan kereta yang panjang dari Malang Tegal, saya habiskan sebagian waktunya dengan mengobrol dengan teman sebangku saya. Ini merupakan ciri khas masyarakat kita yang komunal, sama dengan masyarakat lain di Asia Tenggara seperti Thailand dan Vietnam, yang terkenal ramah.

    Sayangnya saya tidak yakin kalau budaya semacam ini juga berlaku di Barat. Pernah usaha saya di tahun 2008 mengajak ngobrol teman duduk sebelah saya yang akan berangkat ke Alice Springs bareng berakhir dengan tatapan mata sinis. Hal yang sama juga terjadi ketika di bus menuju ke kota. Kecuali kita bisa memulai percakapan dengan topik yang cerdas, dan orang yang bersebelahan dengan kita juga open-minded, hampir mustahil percakapan di kereta, pesawat, atau bus akan terjadi.

    Kenangan manis saya adalah di tahun 2010 ketika mengobrol dengan seorang Ibu2 Kaukasia tua yang juga membawa Eat Pray Love yang filmnya baru saja saya tonton. Ibu2 yang akan berangkat ke Sydney itu tersenyum, ketika saya berkomentar kepadanya yang sedang membaca bukunya, “Saya kira kalau filmnya bagus, tentu bukunya akan jauh lebih bagus”. Baru dari situlah perbincangan di antara kami mengalir..

  5. Kebetulan saya mendapat anugerah pernah hidup di masa pra bb. Memang kadang2 sangat menyenangkan ketika menunggu kita dapat teman bicara disekeliling yg menyenangkan. Juga sangat menyenangkan mendapat kawan perjalanan yg asyik di kereta parahyangan, misalnya. Saya mendapat banyak pelajaran tentang kehidupan dan persoalan orang lain yg kadang2 tidak terduga jauh lebih berat dari yang sedang saya alami.
    Namun kini, selain kemajuan teknologi bb, smartphone dan teknik internet, berita kriminalitas akhir2 ini ttg hipnotis, gendam, persaingan hidup dan semacamnya membuat orang enggan lg saling menyapa. Maka berkuranglah kemampuan ber-empati, kemampuan mengenali bahasa “gesture”.

    salam
    Hari

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: