Setiap kali saya ajak bertemu teman-teman, ibu saya kadang khawatir. Umumnya beliau merasa tidak imbang jika harus berhadapan dengan teman-teman saya yang menurut beliau berpendidikan. Saya selalu mengingatkan dengan kelakar, “saya juga kan orang sekolahan, buktinya masih gini-gini aja”. Ibu saya tentu paham maksudnya karena di matanya saya mungkin tidak pernah berubah. Masih saja seorang anak kecil meskipun sudah berkeluarga. Orang-orang seperti ibu saya seringkali salah menduga perilaku dan sikap orang-orang berilmu, karena tidak mengenal. Atau karena terlanjur menetapkan sendiri standar perilaku orang-orang di sekitarnya. Bagi Ibu saya, orang-orang pintar itu mungkin harus menyeramkan.
Suatu ketika saya mendengar kelakar yang menarik. Perempuan professional yang duduk di dekat saya berkelakar “Nama saya Mari, ini Pak Agus. Meskipun kami dekat-dekat, saya bukan istri Pak Agus lo”. Perempuan ini bicara lepas, tidak ada beban ketika memperkenalkan dirinya dan lelaki professional di sebelahnya. Tentu saja guyon ini tidak istimewa kalau saja yang berbicara itu bukan seorang menteri. Saya hanya bisa menikmati sambil mencoba memahami. Saya sempat beraandai-andai bagaimana jika Ibu saya mendengar kelakar seorang menteri seperti itu. Mengapa Bu Mari berkelakar demikian? Saya duga karena kelakar itu ditujukan kepada Pak Agus yang juga Mentri. Ketika dua orang bertemu dan sama-sama menteri, kelakarnya sama lepasnya dengan dua orang mahasiswa yang saling bertemu atau dua orang pengangon bebek bersua. Semangat interaksi dua atau lebih orang yang ‘setara’ memang bisa jadi sangat khas: lepas dan karib.
Jaga image atau jaga wibawa biasanya terjadi ketika terjadi ketidaksetaraan. Ibu saya tentu saja tidak bisa berharap Pak Agus yang menteri itu akan guyon dengan beliau. Oleh karena itulah, bagi orang-orang seperti Ibu saya, para menteri itu menyeramkan, seperti orang-orang pintar lainnya. Sama halnya, mahasiswa kadang (ingat, ada kata ‘kadang’ di sini) meganggap dosen itu menyeramkan dan office boy yang segan berbicara dengan direktur kantor. Cerita ini berlaku, terutama di Indonesia.
Di desa tempat saya dibesarkan, perseteruan antartetangga kerap terjadi. Jika itu terjadi di tahun-tahun sekarang, Ibu saya kadang bilang “kami di desa ini tidak pintar, wajar jika ada perselisihan-perselisihan nggak mutu seperti itu.” Sering juga, Ibu saya yakin bahwa teman-teman saya tidak pernah mengalami masalah perselisihan sepele, karena mereka orang-orang pintar. Ibu saya tentu saja tidak menduga kalau orang yang berpendidikanpun bisa terjebak persoalan sederhana. Kalau Men Koplar dan Men Cubling di Desa Tegaljadi bisa bermusuhan gara-gara salah satunya lupa menyapa saat sama-sama mandi di pancuran, dua mahasiswa doktor yang tinggal serumah bisa berhenti bertegur sapa gara-gara salah satunya lupa membuang kulit shampoo sehingga mengotori lantai kamar mandi. Jangan minta saya menceritakan ini pada ibu saya karena beliau tidak akan percaya.
Saya ingat pepatah Bali, dua anjing akan berkelahi jika keduanya sama besarnya. Benar rupanya pepatah Bali ini. Seorang mahasiswa doktor tentu tidak akan bertengkar soal kelakuan anggota DPR dengan penjual jamu gendong tapi dia bisa saja berseteru hebat dengan sesama mahasiswa doktor lainnya perihal volume suara TV yang mengganggu. Orang lebih mudah berseteru jika kekuatannya sama atau hampir sama besarnya. Orang menantang pihak lain karena merasa lebih kuat. Sebaliknya, orang melayani tantangan pihak lain karena memiliki potensi untuk melawan atau bahkan menang. Apapun itu, perkelahian dan perseteruan yang berbalas akan terjadi jika keduanya merasa berkekuatan imbang. Ini teori saya saja, tidak ada referensi yang hebat.
Soal cinta dan asmara juga demikian, perilaku orang mungkin berbeda-beda tetapi tetap ada kemiripan. Ketika pihak yang berinteraksi berasal dari generasi yang sama, maka fenomenanya bisa sama-sama mengejutkan. Anak-anak muda belasan tahun boleh dituduh punya cinta monyet karena bermain-main dalam pacaran yang tidak serius. Jangan salah, orang tua, jika situasi mengijinkan, juga kadang bereksperimen dengan hal yang sama tidak seriusnya. Saya sering berkelakar pada kawan “jika anak-anak muda punya cinta monyet, orang tua juga punya cinta yang sama. Mungkin bukan cinta monyet, tetapi cinta kingkong karena mereka lebih besar dan lebih tua.” Lebih dari itu, masalah rumit itu tidak selalu tentang DPR yang studi banding atau pejabat negara yang korupsi, dia bisa saja tentang kulit shampoo yang tercecer di kamar mandi.