Made Kondang mencoba merenung-renungkan apa saja yang baru dibacanya di koran. Negara yang bertetangga bisa berseteru. Indonesia dan Malaysia sering berselisih. Belum tuntas itu, dua Korea bersaudara beradu senjata. Belum sampai kelar keduanya, kini Thailand dan Kamboja bersitegang. Tak saja materi, nyawa telah menjadi bayaran ketegangan antar tetangga. Kondang tak habis pikir mengapa tetangga bisa begitu rupa.
Di kampungnya, Kondang mengamati para ibu. Men Koplar yang mengisi hidup sahari-hari dengan ngalih dagdag untuk babi piaraannya, bertetangga dengan Men Kompyang, ahli membuat jajan Bali. Telah lama, keduanya puik, tidak biacara satu sama lain. Perihalnya sederhana, babi Men Koplar yang kerap lepas ikatannya, melewati pagar dua rumah bertetangga itu dan mencuri pelepah keladi yang membuat Men Kompyang brangti, marah bukan buatan. Dua tetangga yang berbagi tembok setinggi telinga orang dewasa pendek itu berseteru dan tidak rukun.
Kondang tercenung lama, tak kuasa otak sederhananya berpikir hal-hal berat. Dia punya teori sederhana, tetangga semestinya rukun, seperti Dewa Aji dan Mangku Dalem yang selalu paras paros, salunglung sabayantaka, asah asih lan asuh. Satu hari Nak Lingsir memberinya pencerahan. “Pada dua tetangga itu berlaku hukum alam,” katanya. “Fisika, kalau istilah orang-orang pintar. Dua benda berdekatan itu akan mengalami gaya. Gaya itu adalah tarikan dan dorongan. Tetangga pun demikian, ada gaya yang bekerja pada keduanya yang berupa tarikan atau dorongan. Besarnya tarikan atau dorongan ini berbanding lurus dengan massa masing-masing, dan berbanding terbalik dengan kuadrat jaraknya. Gaya sama dengan tetapan gravitasi dikali massa satu kali masa dua dibagi kuadrat jarak keduanya” Kondang tertegun, bukan karena mengerti tetapi justru karena bingung. Dia mulai menyesal, mengapa harus menanyakan perihal ini kepada Nak Lingsir.
“Aku tahu kamu tidak mengerti, Kondang” kata Nak Lingsir seakan membaca pikiran Kondang. Konon, Nak Lingsir memang sakti, bisa membaca apa yang dipikirkan orang lain. Beliau melanjutkan “mudahnya begini: makin berat dua benda yang berdekatan itu, makin besar tarikan atau dorongan yang terjadi. Sebaliknya, makin jauh keduanya terpisah, gaya itu jadi semakin kecil.” Kondang mengangguk-angguk takzim tanda sedikit mengerti. “Kalau kita ibaratkan, tarikan itu adalah sesuatu yang baik dan dorongan itu tidak baik, maka tetangga juga demikian. Mereka bisa harmonis satu sama lain, bisa juga bermusuhan. Keharmonisan atau permusuhan itu bisa semakin kuat jika keduanya semakin dekat. Ingat Kondang, gaya itu berbanding terbalik dengan kuadrat jarak.” Kalimat terakhir ini kembali membuat kepala Kondang berdenyut. Tetapi rasanya dia lebih mengerti kini.
“Mengapa ada gaya tarik dan gaya dorong, Nak Lingsir?” kini Kondang bisa bertanya lebih cerdas. Nak Lingsir, yang terlanjur sok pintar terpaksa mengait-ngaitkan pengetahuannya yang sesungguhnya juga terbatas. “Hukum yang serupa juga berlaku pada muatan listrik. Kalau muatannya sama, maka akan saling tolak, kalau berbeda dia akan saling tarik. Proton (+) dengan proton (+) itu saling menolak, elektron (-) dengan elektron (-) itu juga saling tolak tetapi proton (+) jika didekatkan dengan elektron (-) akan saling tarik.” Kondang memandang kosong tanda tidak mengerti. “Mudahnya begini: tetangga itu bisa saling menolak, umumnya karena mereka memiliki sifat yang sama atau terlalu berusaha menyamakan diri. Sebaliknya, jika saja mereka biarkan perbedaan itu terjadi, mereka justru merasa saling membutuhkan sehingga terjadi ketertarikan.” Kondang mulai manggut-manggut. Rupanya dia mengerti.
Dia mencoba merangkai-rangkai. “Rupanya itu sebabnya kenapa Men Koplar dan Men Kompyang bermusuhan sangat serius. Rupanya itu justru karena mereka dekat ya Nak Lingsir?” Nak Lingsir mengangguk yakin dan Kondang pun berpikir lagi. Dia kini mengerti mengapa Nang Kocong yang tinggal di ujung desa tidak pernah berseteru dengan Nang Kaler yang rumahnya jauh di ujung lainnya. Pun keduanya memang tidak akrab, tidak seakrab Dewa Aji dan Mangku Dalem yang memang bertetangga dekat. Kondang mulai berteori, rupanya Men Koplar dan Men Kompyang sama-sama proton yang jaraknya berdekatan sehingga saling menolak, sedangkan Dewa Aji dan Mangku Dalem ibaratnya proton dan elektron yang berdekatan sehingga saling tarik. Sementara itu, Nang Kocong dan Nang Kaler tak peduli proton atau elektron, tidak merasakan adanya tarikan atau dorongan karena jaraknya sangat jauh. Kondang menduga-duga, ini ada kaitannya dengan ucapan Nak Lingsir bahwa besarnya gaya itu berbanding tebalik dengan kuadrat jarak. Entah dugaan Kondang ini benar entah salah.
“Itulah sebabnya mengapa kita lebih bermasalah dengan Malaysia dibandingkan Guatemala. Malaysia dekat, Guatemala jauh sekali” tiba-tiba Nak Lingsir mengatakan sesuatu yang tidak sepenuhnya Kondang mengerti. Kalau Malaysia masih bisa dibayangkannya tetapi Guatemala benar-benar lepas dari gambaran peta yang diingatnya. “Tapi, Papua Nugini juga dekat, Nak Lingsir. Mengapa kita tidak begitu bermasalah dengan mereka?” Entah dari mana datangnya pertanyaan cerdas ini, Nak Lingsir sedikit gelagapan. Tetapi sebagai tokoh masyarakat yang terlanjur dipercaya, Nak Lingsir harus tampil prima. “Itu terkait erat dengan massa alias bobot. Tadi sudah aku bilang, makin besar massa atau bobotnya, makin besar gaya yang bekerja. Kita sama Malaysia itu kan sama-sama negara besar, baik ukurannya, populasinya maupun ekonominya. Makanya gaya yang bekerja antara kita dan Malaysia juga besar. Sedangkan Papua Nugini itu kan negara kecil yang secara ekonomi jauh di bawah kita. Jadi bobotnya kecil. Wajar lah jika gaya yang bekerja antara kita dan Papua Nugini tidak sebesar gaya yang bekerja antara kita dan Malaysia. Jikapun ada perselisihan, tidak akan sehebat yang terjadi antara kita dan Malasyia. Besar dikalikan besar hasilnya pasti besar, tapi kalu besar dikalikan dengan kecil, hasilnya tentu tidak besar.” Kondang ternganga sejadi-jadinya. Nak Lingsir terdengar begitu hebat. Tokoh masyarakat kampung yang biasanya berkutat pada urusan moral dan budi pekerti itu tiba-tiba berubah menjadi ahli yang tak kalah dengan yang ada di TV.
Kondang melamun, rupanya ini yang menyebabkan dua tetangga yang sama-sama kaya dan berpendidikan bisa lebih keras dalam bermusuhan dibandingkan dua tetangga yang miskin dan sama-sama tidak sekolah. Dia juga jadi paham mengapa Nak Lingsir sempat mengatakan bahwa jika tidak ingin bermasalah dengan orang lain, jangan dekat-dekat. Jarak yang jauh memang akan mengecilkan gaya yang bekerja. Kondang kembali mengingat kalimat rumit itu ‘gaya berbanding terbalik dengan kuadrat jarak’. Tentu saja ini hanya kesimpulan Kondang yang sesungguhnya tidak begitu paham dengan apa yang baru saja didengarnya dari Nak Lingsir. Dia sesungguhnya ragu. “Kondang, aku ini kan tokoh masyarakat. Aku boleh ngomong apa saja. Kalau ada yang protes, aku bisa bilang ‘saya memang bukan ahli di bidang itu, wajar kalau saya salah’ selesai perkara.” Nak Lingsir menutup dengan kalimat pamungkas, seakan bisa membaca keraguan Kondang. Dia kini manggut-manggut paham, tiba-tiba saja muncul cita-cita baru di kepalanya: menjadi tokoh masyarakat.
haha. seru tulisannya, Bung Andi.
dua tulisan terakhir yg menjabarkan kaitan ilmu fisika dengan kehidupan nyata sangat enak dibaca. hehe.
kasih cendol, Gan! 😀
hehehe… like this… funny…
applause pak, bisa belajar fisika dan rumus kehidupan secara bersama. izin share
TErima kasih. Silakan dibagi ke yang lain.