Ajaran ini, membela yang lemah, menjadi favorit saya sejak kecil. Hal ini juga diajarkan mungkin oleh semua agama dan norma. Sangat mudah menjumpai orang tua dan para bijak yang menasihatkan seorang anak atau murid agar membela yang lemah. Brama Kumbara, tokoh dalam sandiwara radio Saur Sepuh yang pupuler di tahun 1980an sangat menginsipirasi saya. Brama adalah contoh ideal seorang manusia yang gemar membela yang lemah. Seperti dijuluki, Brama adalah manusia setengah dewa.
Kadang saya bertanya, pernahkah dalam hidup saya melakukan ajaran mulia ini? Selain memang menghafal dan memahami serta menyetujuinya, pernahkah saya benar-benar membela kaum lemah? Hasil penelusuran saya mengkhawatirkan, jawabannya tenyata “hampir tidak pernah”. Mudah-mudahan ini terjadi karena di sekitar saya memang tidak ada orang-orang lemah yang perlu dibela.
Ketika datang ke Sydney dan berada dalam bus kota saya menjumpai sebuah kejadian menarik. Berbeda dengan Wollongong yang tenang dan santai, Sydney mirip Jakarta yang serba cepat. Sopir bus pun berbeda perilakunya dengan di Wollongong: lebih cepat dan lebih mahal senyum, itu pasti.
Seorang yang saya duga dari China naik bus yang saya tumpangi. Entah apa yang terjadi, Pak Sopir menanyainya sesuatu yang sepertinya terkait dengan pembayaran. Sang calon penumpang hanya terbengong-bengong, tidak menjawab pertanyaan Pak Sopir. Sopir menatapnya, mulai tidak sabar. Sang penumpangpun membalas tatapan itu dengan pandangan bingung, semakin tidak mengerti. Pak Sopir mengulangi pertanyaannya dan kini dengan nada agak tinggi. Saya hanya melihat dari jauh, tidak sadar apa yang terjadi, seolah-olah melihat satu tontonan. “You don’t even listen to me! Why don’t you answer my question?” Pak Sopir berteriak, mengundang perhatian penumpang lain. Kini semua memandang lelaki China yang malang itu. Tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Dia panik sekaligus jengkel karena merasa diperlakukan tidak adil dan dihina di depan banyak orang.
“Get out from my bus!” kata lelaki itu berteriak, sementara lelaki malang ini tetap memandang tidak mengerti, meskipun ada kekecewaan atau mungkin kemarahan di wajahnya. Di saat kritis itulah, saat saya belum lagi terpikir untuk melakukan sesuatu, seorang perempuan yang dari tadi duduk di suatu kursi berdiri. “Excuse me, it is not fair! The gentleman does not even understand what you said. Please be nice, Mister!” Suara perempuan ini menyentak saya, terus terang. Tadi saya bahkan sama sekali tidak berpikir bahwa ada orang lain yang bisa mengambil peran dalam kasus ini. Kata-kata perempuan itu ternyata juga membangkitkan naluri beberapa orang lainnya. Seorang lelaki di dekatnya juga berdiri dan berucap senada. Rupanya Pak Sopir sadar akan situasi dan tidak memperpanjang urusan itu. Meskipun dia nampak sedikit kesal, dia tidak berteriak lagi dan membiarkan lelaki China ini mengambil tempat duduk.
Seperti kata Obama bahwa satu kata bisa mengubah dunia, kalimat singkat perempuan itu telah menyelamatkan lelaki China itu dari kemalangan. Sementara saya hanya memandang kosong dan baru sadar bahwa saya telah menjinjing teori dan norma ke mana-mana tanpa kekuatan untuk mewujudkannya.
kalau kata Bruce Lee, willing is not enough, we must do….