
Saat menemani kawan dari Jakarta jalan-jalan di Sydney ketika summer, saya menenteng sebuah tas plastik berisi air mineral. Serta merta kawan saya ini, mengambil tas itu dan membawakannya untuk saya. “Tidak baik dilihat Pak Andi menenteng tas plastik” begitu katanya. Saya kurang bisa menangkap makna ucapan ini, apa yang salah dengan menenteng tas plastik?
Tiba-tiba saja saya ingat kejadian 20 tahun lalu di rumah sakit Tabanan. Bapak saya yang diminta membeli sesuatu, datang dengan tangan hampa. Ketika ditanya di mana barang yang dibeli, beliau mengatakan bahwa barang itu masih di kendaraan yang diparkirnya agak jauh. Alasannya sederhana, beliau merasa tidak pantas alias gengsi menenteng barang itu yang dibungkus tas plastik. Adalah tugas saya kemudian mengambilnya. Seperti halnya kejadian di Sydney, saya pun tidak mengerti benar, bahwa perkara tas plastik ini begitu runyam.
Saat menyelesaikan santap malam di sebuah restoran di Wollongong, meja kami masih penuh dengan hidangan yang tidak berhasil dihabiskan. Salah satu berinisiatif membungkusnya untuk dibawa pulang. Ketika tiba waktu pulang ada beberapa orang yang dengan sengaja menghindar dari tugas menenteng tas plastik berisi makanan berlebih ini. Ingatan saya melayang ke masa 20 tahun lalu. Selama 20 tahun fenomena ini tidak banyak berubah.
Saya jadi sedikit mengerti bahwa memang ada orang yang menyamakan harga dirinya dengan sebungkus tas plastik yang ditenteng. Dari dulu hingga kini, keberanian orang menenteng tas plastik ternyata bisa menjadi penanda seberapa yakin dia dengan dirinya.
Ternyata memang ada hal-hal seperti ini..
jujur, saya baru tau kalo ada budaya atau pemahaman seperti ini.. tapi saya sepakat dengan kalimat terakhir:
“keberanian orang menenteng tas plastik ternyata bisa menjadi penanda seberapa yakin dia dengan dirinya”.
tp dengan adanya budaya seperti ini, saya tergelitik ide untuk memaksimalkan pemahaman itu untuk hal yg positif, misalkan untuk mendukung program pengurangan penggunaan plastik.. hehehe..