Menjadi pengamat


Gede Prama pernah menulis, berbahagialah mereka yang melampaui kebaikan dan keburukan, mengatasi kematian dan kelahiran. Katanya, hidup akan membebaskan kita dari segala beban jika kita bisa menjadi pengamat saja. Demikian saya memahami dengan kemampuan berpikir yang dangkal. Bisa memahami dengan tersendat, bukan berarti serta merta bisa menjalankannya. Inilah bagian tersulit. Hingga kini saya tidak berhasil menjadi pengamat kehidupan. Lebih sering terjerumus dan terseok-seok di dalamnya bahkan kadang mabuk lupa diri.

Lita anak saya yang berumur tiga tahun kratif (atau nakal) bukan main. Tingkahnya adalah penguji kesabaran nomer satu bagi saya dan Asti, ibunya. Kalau diajak sikat gigi, dia akan berlama-lama berpura-pura membersihkan wastafel, padahal tujuan utamanya adalah main air. Jika disuruh makan dia akan minta saya membuka jus apel dalam bungkus kotak kegemarannya. Begitu diingatkan harus makan dulu sebelum minum jus, dia berdiplomasi tak kalah cerdas: “cuma dibuka saja kok, minumnya nanti.” Kalau dilarang mengganggu saat ibunya masak, dia dengan tegas mengatakan “I want to help you Ibu. Lita tidak ganggu kok!” Lita selalu memiliki alasan.

Jujur saja, saya kadang kehilangan kesabaran menghadapi kreativitas seperti ini. Sekali waktu Lita juga kena marah ayah ibunya. Kalau sudah seperti ini, sesal pun datang melihat Lita menangis.

Sering kami tertawa sendiri mengingat kenakalan Lita dan menyesal telah memarahinya. Saya kadang ajak Asti untuk mencoba menjadi penonton. Seandainya saja kehidupan keluarga kami adalah film, Lita pastilah menjadi pusat utama cerita. Saya membayangkan penonton pastilah akan tergelak setiap kali Lita kecil mengemukakan argumennya untuk melakukan kenakalan. Penonton pasti marah dalam hati melihat saya atau Asti memarahi Lita yang lucu dan menggemaskan.

Saya kadang mencoba menjadi penonton dalam setiap kejadian bersama Lita. Anehnya, dengan mengandaikan diri menjadi penonton, naluri untuk memancing argumentasinya yang nakal jadi muncul. Seperti halnya penonton sebuah film yang puas dan tergelak mendengar argumentasi polos seorang tokoh cilik dalam film, saya membiarkan dia protes atau ngeles. Dengan begini, interaksi menjadi lebih menyenangkan, tidak jadi beban.

Entahlah apa hal ini seperti yang diajarkan Gede Prama, yang jelas saya menemukan kenikmatan lebih ketika berhasil menjadi penonton yang tidak memiliki kepentingan. Sejujurnya memang saya tidak selalu berhasil menjadi penonton. Sekali waktu, saya juga masih menjadi pemeran pembantu pria terbaik yang diberi peran untuk panik dan memarahi anak yang nakal. Lita pun kadang masih saya lihat sebagai anak kecil yang nakalnya tak terbendung. Begitulan jadinya kalau saya gagal menjadi penonton. Alangkah indahnya dunia kalau saya hanya menjadi pengamat saja.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

One thought on “Menjadi pengamat”

  1. Alangkah indahnya dunia kalau saya hanya menjadi pengamat saja. <= benarkah? apa malah ga menyesal kalau HANYA jadi pengamat SAJA?

    Entahlah, mungkin pemahaman saya cetek, tidak benar2 memahami makna "menjadi pengamat" 😀 Sekarang sih pinginnya berperan dalam banyak hal, hhehee..
    ===
    Bekerja sambil mengamati dengan sempurna.. demikian kata orang bijaksana 🙂

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: