
Untuk pertama kalinya saya merasakan ketegangan adalah saat kenaikan kelas tahun 1985. Waktu itu saya akan naik ke kelas 2. Saya terduduk tegang di deretan bangku depan mendengarkan pembacaan nama-nama siswa yang memperoleh juara 1. Saya berharap amat sangat, nama saya dipanggil, bukan saja sekedar dipanggil tetapi dipanggil pertama kali.
Saya mulai membayangkan apa yang akan terjadi kalau saya tidak mendapat juara 1. Bapak akan melubangi kepala saya dan mengganti otak saya dengan gelas. Begitulah beliau selalu berucap kalau kami sedang bercakap-cakap di dapur atau di kamar. Saya yang baru berumur 7 tahun tentu saja menganggap serius ucapan itu. Tidak terbayang rasanya kepala saya dibor dan otak diganti dengan gelas. Mungkin beliau tidak ingat peristiwa ini karena sepertinya ini hanya kelakar belaka. Tetapi tidak demikian dengan saya. Saya akan mengingatnya sampai kapanpun.
Syukurlah, nama saya dipanggil pertama kali. Saya lega bukan kepalang. Orang tuapun pasti bangga saat ini. Saya mendapat ranking pertama. Ranking dan angka menjadi begitu penting. Angka satu seperti dewa, saat itu. Sebuah kebanggaan, tidak saja oleh saya tetapi seluruh keluarga.
Setelah lewat dua puluh tahun, angka-angka dan ranking tetap saja penting. Seorang kawan pernah dengan bangga mengatakan bersekolah di universitas nomor 19 dunia. Padepokan Gadjah Mada juga bersenang hati dengan peringkat 300-an dunia. Angka memang penting. Demikian juga dengan pemerintah. Para mentri sangat gemar mengemukakan kenaikan ekonomi dalam angka-angka. Kenaikan ekspor sekian persen, inflasi sekian persen dan sebagainya. Angka-angka itu, yang kalau didengar oleh Bapak Ibu saya, sesungguhnya tak menjelaskan apa-apa.
Apa maknanya ranking dan angka? Banyak maknanya. Dengan ranking dan angka kita bisa menilai prestasi atau pencapaian secara (mudah-mudahan) obyektif. Dengannya kita bisa tahu mana yang lebih baik dan mana yang kurang baik. Tapi benarkah ranking itu segala-galanya? Mudah menjawab ini: TIDAK!
Melihat betapa pintar-pintarnya siswa di SD Jogja saat ini, saya jadi berpikir, apa makna ranking satu di sebuah SD di desa saya yang bahkan tak nampak di peta. Saya yang di tahun 1985 merasa bangga sesungguhnya mungkin tak ada apa-apanya dalam hal akademik dibandingkan siswa di kota besar. Not even close! Apa arti angka-angka yang dikemukakan Presiden SBY di pidatonya tanggal 15 Agustus? Bagi Ibu saya tidak banyak artinya. Kalau minyak tanah masih mahal dan beras tak terbeli dengan mudah, angka-angka itu tak bermakna. Sayangnya, saya yang buta ekonomi tak bisa menjelaskan hubungan angka-angka yang cantik itu dengan hidup yang tidak kian mudah.
Apa makna bersekolah di tempat yang rankingnya di atas? Banyak maknanya, tetapi sekali lagi itu bukan segala-galanya. Tak ada jaminan lulusan perguruan tinggi ternama akan berkiprah lebih baik dari yang lulusan perguruan tinggi tidak terkenal. Dan yang lebih penting, tak ada jaminan bahwa lulusan sekolah favorit akan lebih anti korupsi dibandingkan mereka yang tamat dari sekolah tak favorit. Ada kalanya, mereka yang bergelimang keterkenalan lupa berbuat banyak, sementar mereka yang sadar akan keterbatasannya justru berusaha lebih keras dan berprestasi. Ini mungkin yang dimaksud orang bijaksana, ”syukurilah jika selalu merasa muda, tidak berpengalaman, dan masih perlu banyak belajar. Perasaan seperti ini yang akan membuatmu selalu mencari dan mengejar.”
Entah ranking satu atau terakhir, entah angka-angkanya cantik atau mengenaskan, pertanyaan pentingnya adalah ”what have you done?” Orang Yunani hanya akan bertanya satu saja: Do you have passion?