Senja di Heidelberg


Cerpen I Made Andi Arsana

Gerimis mendera, summer ini tidak seperti yang kuharapkan. Aku termangu di dalam bus dari Bismarckplatz menuju Ziegelhausen. Mataku menerawang jauh memandang langit yang muram. Birunya tidak nampak seperti kemarin, awan putih tebal dan cenderung pekat menggantung seperti tak mau pergi. Gerimis yang tah kunjung beranjak dari kemalasannya masih mendera pelan tapi yakin dan tidak ‘kan sebentar. Castle-castle di tepi sungai Neckar bermuram durja, kelelahan menunggu akhir gerimis yang tak kunjung usai. Aku melihat kegelisahan alam ini, keceriaan summer seperti terpenjara dan enggan dinikmati.

Di dalam bus orang berdiam diri tak satupun berkata. Wajahnya ditekuk habis-habisan tanpa senyum. Yang putih, yang hitam, yang kuning, yang merah, yang Asia yang Eropa, yang tua dan yang muda, semua memandang kaku. Yang duduk tidak menoleh, yang berdiri enggan melepaskan pegangan. Yang biasanya menyapa kini kehilangan kata-kata. Summer yang muram, bukanlah waktu yang baik untuk bercengkrama. Aku terduduk diam di kerumunan orang, mati kutu di pojok kursi bus yang belum akrab aku kenali.

Hari kedua di Heidelberg, bukan kesan yang baik dengan awan dan gerimisnya. Mataku tak henti-hentinya menebar pandang ke luar, membiarkan penglihatanku hanyut di tenangnya aliran Sungai Neckar. Aku tak khawatir apa-apa, kecuali kelewatan halte bus yang aku belum begitu kenal. Sesekali mataku mengawasi layar monitor, berharap-harap stasiun Kreuzgrundweg sudah menampakkan wajahnya di layar. Jika ya, tangaku harus meraih bel dan memberi tanda pada pak sopir ini agar berhenti. Aku masih melamun, halte yang kutuju masih jauh. Lamunanku masih bisa panjang, ditemani aliran titik-titik air yang terjuntai bebas di bagian luar kaca bus di sebelahku. Terbayang dinginnya di luar sana.

Tiba-tiba aku mendengar suara bel dipencet. Seseorang akan turun di halte terdekat tapi ini masih jauh, bukan halteku. Tak ada alasan peduli. Sebentuk tubuh bergerak dari belakangku, lewat berkelebat, seorang perempuan muda berambut hitam sebahu melintas. Tak kulihat wajahnya tentu saja, dia membelakangiku. Apa peduliku? Puluhan orang naik dan turun bus, tak ada istimewanya. Tetapi dia orang Asia. Wajahnya Indonesia atau kalau tidak, mungkin Filipino. Sebenarnya Thailand pun bisa. Di Heidelberg, tidak mudah mendapati orang Indonesia, apalagi kalau baru datang dan belum menemukan komunitas Indonesia yang memang sedikit jumlahnya.

Seharian presentasi dan diskusi di Max Planck Institute membuatku lelah. Kantuk menyerang dan aku ingin cepat tiba di apartemenku. Tidur adalah satu-satunya yang ingin kulakukan. Di tengah perjalanan yang tinggal secuil, diam-diam aku tersenyum mengingat kejadian sore tadi. Seorang lawyer internasional, peneliti di Max Planck Institute berkomentar polos setelah menyaksikan presentasiku. ”This is the first time I really understand what Article 76 of UNCLOS really means. Thanks Andi, your animation really enlightens me.” Aku memang menghabiskan banyak waktu selama ini untuk mengembangkan animasi untuk pengajaran aspek teknis hukum laut. Ternyata bukan hanya kolega di Indonesia yang menikmatinya, lawyer di MPI pun bisa tercerahkan. Aku tidak henti-hentinya menebar senyumku. Banggaku tak tersembunyikan.

Halteku telah menunggu, aku menghambur keluar seraya berteriak kecil “danke schön!” yang dijawah ramah supir bus. Apartemenku masih seperti ketika kutinggalkan tadi pagi. Sepi, dingin dan lengang. Aku memang belum mengisi apartemen dengan perabotan. Tidak mudah mendapatkan barang-barang murah di Heidelberg. Aku masih menunggu kepulangan seorang kawan ke Indonesia, Lyza berjanji memberiku barang-barangnya dengan cuma-cuma. Indahnya persahabatan di negeri orang, teman bisa menajadi saudara.

Sepatuku kusingkirkan di pojok ruangan aku terhempas tak berdaya, tidur terlelap dalam mimpi yang panjang. Mimpi tentang Castle yang magis, aliran sungai Neckar yang filosofis dan Altstadt yang berwibawa. Dalam mimpiku, bunga-bunga musim panas yang merah darah berjuntai-juntai diterpa angin dari dinding-dinding gedung di kota tua ini. Gemulainya seperti menyambut aku yang baru saja menginjakkan kaki di Eropa untuk pertama kalinya. Sepertinya dia menyapa dan menyelamatiku karena pencapaian ini. Anak penambang batu padas ini tergopoh-gopoh bertandang ke Jerman untuk berguru. Seperti yang ibuku selalu gumamkan, akupun bertanya-tanya “kenapa ada negara yang mau memberi beasiswa untuk sekolah di negaranya kepada orang kampung sepertimu Nak?” akupun tak sepenuhnya mengerti.

Pernah aku mendengar orang-orang pintar menyebutnya “international development” pernah juga satu ketika aku mendengar “investing in people”, atau “another kind of capitalism”. Ada juga yang menyebutnya, “bentuk lain dari penjajahan” atau “sejenis hutang jangka panjang”. Aku tidak begitu mengerti semua itu, yang aku tahu, beasiswa ini bernama DAAD dan kini aku di Jerman, melangkahkan kaki dengan bangga melintasi jalan-jalan yang bersih tertata ditemani gedung-gedung khas Eropa yang angkuh tua dan berwibawa.

***

Mataku terantuk wajah yang sepertinya tidak asing. Gadis ini memasuki bus berjalan ke arahku. Hanya ada satu kursi yang tersisa, dia tidak punya pilihan lain. Aku tersenyum mempersilahkannya. ”Danke schön!”, dia menjawab dengan sopannya seraya duduk di sebelahku. Orang Filipino yang kemarin. Aku masih mengingatnya. Di Jerman, jangankan Indonesia, Filipino pun serasa saudara karena sesama Asia. Aku merasa nyaman di dekatnya, walaupun tak tertarik untuk ngobrol. Aku kembali tenggelam dalam dudukku sambil membaca satu makalah yang aku download kemarin sore. Salah satu makalah terkini tentang keputusan Mahkamah Internasional perihal perebutan empat pulau di Laut Karibia. Keempatnya diberikan kepada Hoduras dan Nikaragua menelan kekalahan. Sangat menarik menyimak pandangan seorang ahli Amerika melalu makalah ini.

Telepon berdering, yang jelas bukan teleponku. Gadis Fillipino di sebelahku terkesiap dari lamunannya yang setengah tertidur. ”Halo Pa! Ya lagi mau ke kampus nih.” Aku terkejut bukan kepalang, gadis cantik di sebelahku ini orang Indonesia rupanya. Tidak mudah membedakan Indonesia dan Filipino memang. Aku seperti menemukan hal yang jauh lebih menarik dari sekedar sengketa pulau. Aku hentikan membaca, menunggu gadis ini menyelesaikan percakapanya. Diam-diam aku menguping pembicaraannya. ”Ya, kemarin sudah wawancara sih. Doakan aja biar dapet. Saingannya banyak sih. Nanti aku update lagi deh kalau sudah ada hasilnya. Kalau nggak dapat ya pulang bulan depan.” Aku belum menangkap isi pembicaraannya dan kini dia terdiam agak lama mendengarkan suara di seberang. ”Ok Pa, makasih ya!” percakapanpun selesai.

Aku mendadak deg-degan, tidak seperti tadi ketika tenggelam dalam bacaan. Memang tidak mudah memulai percakapan. Tapi harus aku mulai. Mendapatkan teman Indonesia di belahan dunia lainnya, tentu sangat istimewa.

”Dari Indonesia ya mbak?” aku memulai dengan ragu.
”Eh, ya ampun! Mas dari Indonesia juga? Tadi saya kira dari Filipina, makanya ’nggak saya sapa.” Segala sesuatunya lebih mudah dari yang aku bayangkan, gadis ini ramah sekali. Senyumnya tak terhenti kalau sedang bicara. Akupun tertawa kecil, ternyata kami memiliki dugaan yang sama: Filipino.

Laksmi Purbandini Sumekar. Nama yang sangat bagus, sangat Indonesia. Dini, selain cantik, nampaknya sangat ramah dan berkarakter. Tutur bahasanya halus tetapi lugas. Jawabannya atas pertanyaanku selalu dalam kadar yang tepat, tidak terlalu pendek sehingga tidak membuat putus asa, tidak juga panjang berlebihan sehingga tetap mengundang penasaran. Kalau berbicara, Dini memandang mata, jika sedang mendengarkan, dahi dan alisnya bergerak elegan, air mukanya berubah wajar menunjukkan ketertarikan yang tinggi. Anggukan kepalanya menandakan perhatian dan empati yang membuat siapa saja akan bersemangat berbicara dengannya. Berbicara dengannya membuat orang merasa berarti dan didengarkan.

”Ok Mas Andi, aku duluan ya. Senang banget ketemu Mas Andi. Di sini tidak banyak orang Indonesia.” Dini berlalu di depanku turun dari bus dan melambaikan tangannya. Aku mengangkat tangan berusaha wajar, senyumku tak tertahan. Pertemuan singkat yang menyenangkan, kini bertambah satu teman Indoensiaku di kota cantik ini.

***

We will publish at least two papers in peer-reviewed journals, three conferences, ether local or internationals and five articles in popular media during your candidacy. I believe you can do that, considering you have done quite a lot in the last three years.” Kalimat singkat inilah yang akan menentukan jalan hidupku selama tiga tahun ke depan. Menulis dua makalah untuk diterbitkan di jurnal internasional tentu tidak mudah. Jika harus ditambah tiga presentasi di konferensi nasional atau internasional dan lima tulisan di media populer, pekerjaanku pasti bertambah banyak. Tetapi inilah konsekuensi menjadi murid. Menyelesaikan Doktor (S3) adalah momen penting dalam hidup. Sia-sia jika tidak mengahasilkan apa-apa. Lebih sia-sia lagi kalau pengetahuan itu tidak disebarkan kepada khalayak melalui publikasi.

Aku teringat kata-kata temanku. ”Jangan bermarturbasi ilmiah. Sibuk meneliti sendiri, mengetahui hasilnya sendiri, diterbitkan di jurnal sendiri dan dinikmati oleh kalangan sendiri. Puas sendiri dan lelahpun sendiri.” Benar memang kata kawanku ini. Banyak orang-orang pintar di negeri ini yang meneliti hal-hal hebat, setidaknya menurut mereka, namun hasilnya hanya berupa laporan yang ditumpuk di meja kusam kepala tata usaha, atau paling banter mengisi lemari sang peneliti yang semakin sesak oleh sampah intelektual. Kalaupun ada yang mempublikasikan, itupun hanya jurnal lokal yang dibaca hanya oleh kalangan sendiri, kawan-kawan sendiri. Banyak dari mereka yang enggan atau tidak bisa menulis bidang ilmunya dalam bentuk populer sehingga masyarakat kebanyakan tidak menikmati. Coba bandingkan jumlah opini tentang ekonomi atau politik dengan nano teknologi atau ilmu geospasial di koran populer di negeri ini!

Aku tenggelam dalam dunia penelitian. Hari-hari diisi dengan membaca dan menulis. Tanganku seperti bermata ketika harus berselancar di katalog online perpustakaan saat harus menemukan buku atau makalah di jurnal. Indahnya dunia pendidikan kalau fasilitasnya selengkap ini. Mau membaca apa saja ada, buku atau jurnal tahun berapapun ada. Sebagian besar dalam bentuk elektronik sehingga bisa didownload sepuasnya untuk dibaca di rumah. Ada bahkan temanku yang hobi mendownload jurnal dan mengoleksinya.

”Lumayan untuk dibawa pulang ke tanah air. Di Indo kan nggak mungkin mendapatkan fasilitas seperti ini. Percuma saja bersemangat meneliti kalau pustakanya tidak memadai kan?” katanya. Dunia pendidikan kita memang masih muram. Orang-orang bersemangat seperti temanku ini yang patut diteladani. Sadar akan kekurangan, tidak telalu banyak mengeluh, sambil mengusahakan jalan keluar. Indonesiaku membutuhkan orang-orang seperti dia.

***

Halo Mas Andi!
Wiken ini ada acara? Kita jalan-jalan ke Castle yuk!

Cheers,
Dini

Sebuah email datang dari Dini. Sudah seminggu kami tidak bertemu. Tawaran yang tidak semestinya aku abaikan. Menghabiskan waktu bersamanya sambil menikmati reruntuhan Castle di Bukit Königstuhl pastilah sangat menyenangkan.

”Pagi yang cerah, summer yang indah dan gadis yang cantik” aku menggoda Dini ketika bertemu di bus untuk berangkat menuju Castle. Dini tertawa renyah, percakapan pun seru seperti biasa. Kami turun di kota tua dan mulai menapaki tanjakan menuju Castle.

”Ntar dulu Mas, capek nih.” Dini agak tersengal nafasnya. Dia membungkuk memegang kedua lututnya sambil menghela nafas sementara tas ransel menggantung di punggungnya.
”Gila, lama nggak ke sini, capek juga.”
”Ayolah, katanya anak gunung, nanjak segini aja kok capek!”
”Itu kan dulu, jaman SMA. Sekarang udah tua lagi Mas. Udah 24 tahun!”
”Ya, emang tua. Sudah beranak pinak!” aku menggodanya.
”Uuu… boro-boro anak. Pacar aja kagak ada!”
This is Europe, lady. Tak perlu punya pacar atau suami untuk bisa punya anak” aku menambahkan ejekanku, walaupun sebenarnya terkesiap juga ketika Dini mengatakan tidak punya pacar. Ada sesuatu yang aku pikirkan. Kami tertawa lepas. Sempat berkembang lagi diskusi seperti tempo hari tentang sensitifnya orang-orang barat jika ditanya umur, status perkawinan, dan agama.

Waktu beranjak cepat, siang terlewati. Kini senja membayang namun matahari tak meredup, hari masih jauh dari gelap. Summer ini, gelap belum datang sebelum jam sepuluh malam.

”Luar biasa ya Mas. Hebat sekali mereka. Tahun segitu sudah bisa membuat Castle sebesar dan semegah ini.” Dini bergumam di sampingku ketika kami memandang salah satu bagian dari Castle. Kami tertegun menyaksikan semuanya. Tumpukan batu menyusun bangunan yang begitu besar dan megah. Tak terbayangkan bagaimana pada jaman itu mereka membangunnya. Yang lebih menarik, terlihat sekali keseriusan dalam membuat dan terutama merawatnya. Setelah ratusan tahun, Castle ini masih terawat sempurna.

”Ya Din. Luar biasa mereka. Kitapun sesungguhnya memiliki warisan budaya yang tidak kalah istimewa. Kita punya Prambanan dan Borobudur, dua ikon keperkasaan nusantara di masa lalu.”

”Mengapa kita tidak merewat Prambanan dan Borobudur seperti ini ya Mas?” Dini memandang jauh menembus reruntuhan Castle di depan kami. Matanya tidak berkedip, aku tahu jiwanya melayang melintasi nusantara yang indah dan luas. Aku tidak menemukan jawaban yang paling tepat. Akupun tak pernah mengerti, mengapa.

”Mungkin itulah sebabnya kamu dan aku aku ada di sini Din. Seadainya saja bangsa kita merawat Prambanan dan Borobudur seperti orang Jerman merawat Castle ini, Indonesialah yang akan memberikan beasiswa kepada orang Jerman untuk bersekolah di Universitas Cendrawasih atau Universitas Nusa Cendana. Kita tidak memiliki keseriusan dan konsistensi seperti mereka. Itulah yang mungkin membuat bangsa kita masih terengah-engah sampai sekarang.” Dini memalingkan wajahnya, memandang jauh ke hamparan hijau di bawah sana, dihiasi rumah-rumah khas Eropa yang serupa castle-castle kecil. Di tengahnya, membelah Sungai Neckar yang anggun dan tak pernah bosan mengalir. Melintas di atasnya jembatan-jembatan tua yang menghubungkan dua sisi sungai yang dipadati rumah-rumah rapi bersih tertata. Pemandangan itu, yang disirami matahari senja yang cerah, membuat ketertegunan kami berdua hening sempurna. Kami tenggelam dalam lamunan masing-masing menyangga dagu dengan tangan dan memandang menerawang.

”Mas, mengapa orang-orang Jerman itu bersekolah di Uncen dan Undana?” Dini tiba-tiba membuyarkan lamunanku. ”Mengapa mereka tidak masuk ke Pergurua Tinggi Badan Hukum Milik Negara yang selalu kamu banggakan itu?” Aku tahu Dini menggodaku. Ada senyum geli yang disembunyikannya, terkulum sempurna di bibirnya dan tersirat di nakalnya mata serta alisnya yang bergerak.

”Aku tidak perlu menyebutkan almamatermu dalam ceritaku, apalagi almamaterku.” kataku sambil tersenyum. Satu lagi alasan untuk tertawa di cerianya summer sore ini.

”Mas, aku punya kabar baik.” Dini tiba-tiba memotong dan memasang wajah serius. Aku tidak bertanya tetapi menatapnya dalam. Ada kekhawatiran, berita baik ini tidak akan sangat baik di telingaku.
”Aku diterima menjadi peneliti di Max Planck Institute di Berlin.” Berita baik ini mengosongkan hatiku.
“Selamat ya Din.” Aku menjawab singkat singkat sambil tersenyum. Aku tidak bisa menyembunyikan keterkejutan dan kegundahanku. Kami telah cukup lama berdiskusi tentang masalah ini. Terngiang lagi di telingaku percakapan minggu lalu di taman kampus.

”Aku mau pulang ke Indonesia Mas, tetapi aku nggak memiliki harapan di sana. Aku bukan dosen negeri sepertimu yang memiliki masa depan. Aku hanya asisten dosen di universitas swasta yang kecil, tak jelas dan tak bermasa depan.” Dini berargumen setengah menangis setelah satu jam kami berdebat.

”Din, kamu punya harapan. Kamu lahir di Indonesia dan kamu pasti bisa bertahan. Jika semakin banyak orang pintar sepertimu yang melarikan diri dari negeri kita, siapa yang akan membenahinya. Kita boleh kecewa tetapi kecewa pada siapa? Kamu boleh kecewa pada presiden, tetapi kita tidak boleh kecewa dengan Indonesia kita.”

”Mas, aku memiliki nasionalisme yang tak kurang darimu. Tapi pengalaman hidup kita berbeda. Tanyakan padaku berapa uang yang harus aku keluarkan hanya untuk mendapatkan passpor dan berapa lama harus menunggu. Tanyakan padaku gimana rasanya tidak mendapatkan kiriman beasiswa dari Dikti selama tiga bulan. Tanyakan padaku bagaimana rasanya harus pinjam uang sana-sini untuk membayar sewa rumah di Heidelberg yang mahal bukan kepalang. Tanya juga padaku bagaimana rasanya diperlakukan seperti pesakitan ketika menelpon seorang petugas di Indonesia tentang kiriman beasiswaku. Tanyakan padaku bagaimana rasanya dicuekin oleh orang kedutaan ketika mengadukan nasibku. Tanyakan padaku semua itu, sehingga kamu bisa mengerti kekecewaanku. Aku tidak membenci Indonesia Mas. Tapi coba berikan aku alasan untuk mencintai Indonesia ketika semua orang yang merepresentasikan Indonesia mengecewakanku. Mungkin aku bukanlah orang yang kuat sepertimu, yang bisa bertahan dalam kekecewaan. Aku memang lemah Mas. Aku memang lemah tetapi aku masih waras dan bisa melihat peluang yang baik. Katakanlah bahwa aku egois dan mementingkan diri sendiri, aku terima. Ketika aku ada di titik pilihan hidup dan mati dan negara tercintaku tidak bisa menjadi penyelamatku, salahkah aku brepaling pada negeri orang?” Dini emosi luar biasa, tubuhnya terguncang-guncang. Air matanya deras mengalir, aku menyaksikan penuh haru dan merasa bersalah. Mungkin aku telah membangkitkan dendam yang selama ini dipendamnya. Aku menyodorkan sapu tanganku.

”Biarlah aku mengabdi untuk Indonesia dari kajauhan Mas.” Dini berkata lirih dan pelan.

Dini adalah pribadi yang berkarakter, tegar dan tidak tergoyahkan. Aku sadar, tak mungkin mengubah kemauannya. Lagipula, aku bisa mengerti apa yang dirasakannya. Percakapan ini hanya salah satu dari banyak percakapan penting dalam melewati hari-hari kami. Dini berbicara fasih soal agama, semangat soal nasionalisme, cerdas soal biologi kelautan yang ditekuninya, tentang lagu yang sedang populer dan tentang romantika anak muda. Dia pribadi yang lengkap. Guyonnya cerdas, pun wajahnya tidak memerah berbicara tentang cinta dan seks.

Di atas bukit ini, ketika alam seperti memberi tanda-tanda kepastian, aku tidak berniat lagi untuk menyadarkannya. Akupun sampai pada titik pemahaman bahwa aku percaya akan pilihannya. Menjadi peneliti di Max Planck Institute tentu membanggakan, meskipun itu harus membuatnya melarikan diri dari tanah air, dari kewajibannya sebagai dosen. Dia memiliki terlalu banyak alasan untuk tidak kembali pulang, setidaknya belum kembali pulang.

Kami terdiam berdua. Angin yang sepoi-sepoi menghadirkan kenyamanan. Siraman matahari senja menjadi hangat sempurna.

”Mas, aku tahu kamu kecewa.” Dini merangkul lenganku. Sesuatu yang tidak pernah dilakukannya selama ini. Aliran darahku terasa bergerak lebih cepat, jantungku berdenyut dengan frekuensi yang lebih tinggi dari biasanya. Namun semua itu hanya di dalam. Wajahku masih menghadap jauh ke depan, aku tak bergeming, sementara Dini menyandarkan kepalanya di bahu kiriku. Matanya masih memandang ke depan, seakan tak ingin melewatkan lukisan alam yang indah sempurna.

”Tapi aku juga yakin, kamu pasti memahamiku. Aku memiliki sejuta asalan untuk tidak pulang ke Indonesia saat ini. Dan aku yakin, akan lebih banyak hal yang aku bisa lakukan kalau aku ada di sini. Di tubuhku mengalir darah Indonesia. Aku tak akan pernah melupakan itu dan tidak ada yang bisa mengubahnya. Aku masih memiliki banyak alasan untuk kembali, suatu saat nanti.”

Aku tidak bisa berkata apa-apa kecuali tersenyum sambil tetap memandang ke depan. Entah siapa yang mengijinkan, tangan kiriku bergerak merangkulnya. Dini menenggelamkan wajahnya. Mengalir air matanya, hening tanpa isak. Senja yang cerah, alam yang indah, gadis yang menangis terharu, dan aku yang diam penuh rencana. Castle tua yang bijaksana, Neckar yang sabar, angin yang bersabat dan matahari yang menghangatkan adalah saksi yang tak kan bicara. Saksi dua anak manusia yang tenggelam dalam komunikasi batin yang sempurna. Kami padukan hasrat yang meletup-letup dengan haru biru nasionalisme yang telah dikubur oleh banyak orang. Nafas yang hangat dan tubuh yang gelisah adalah keniscayaan yang entah kapan disepakati. Kami tenggelam, lantak binasa dalam romansa yang dalam dan dewasa. Tak ingin kuakhiri hari, tak ingin kubiarkan dia pergi. Tetapi tak mungkin. Inilah doa yang mungkin bahkan Tuhan akan tertawakan jika kupanjatkan, maka kuurungkan. Seperti burung kecil yang cantik, ingin kukurung Dini dalam sangkar emasku tetapi kutahu dia tak kan bertahan. Biarlah keindahan itu disajikannya sambil terbang bebas sehingga kicaunya menjadi nyaring sempurna.

***

Perjalanan dari Heidelberg ke Frankfurt terasa terlalu cepat. Dini berangkat hari ini, aku mengantarnya. Sepanjang perjalanan kami berkelakar, walau aku merasa ada yang akan hilang. Entah apa yang dirasakan Dini.
”Mas, nanti YM-an ya!” Dini meminta
“Skype aja lah, suaranya lebih jernih. Yahoo Messenger kadang gak jelas suaranya.” Aku membantah.
OK, no problem!
“Din”
“Ya, Mas”
“Hati-hati di sana ya!” Dini hanya mengguk sambil memandangku. Dia menyerahkan sebuah amplop putih.
“Hey, jangan dibuka sekarang! Nanti aja pas aku sudah take-off ya” dia melarangku saat hampir saja aku buka amplop kecil itu. Aku hanya tersenyum.

Hatiku pilu menyaksikan tubuhnya tenggelam di kerumunan orang menuju gate yang mengantarkan Dini ke pesawatnya. Gadis ini hilang ditelan bumi. Hari-hariku akan sepi. Aku membuka amplop yang diberikannya tadi.

Mas, selesaikan Doktormu secepatnya dan pulanglah ke tanah air. Jadilah alasan untukku kembali pulang.

Entah dari mana datangnya kekuatan, aku seperti Peter Parker yang didatangi MJ di kamar kosnya yang sumpek dan berkata ”Go get ’em tiger!” Akupun tersenyum meremas kertas itu sambil memandang yakin ke depan. Seperti Peter Parker yang segera berubah menjadi Spider Man, aku siap berkelebat di balik gedung-gedung tinggi perncakar langit untuk menyelamatkan mereka yang tertidas hidupnya. Dini, aku akan menjadi alasan terbaik untukmu kembali pulang.

Persembahan untuk putra-putra terbaik Indonesia yang melanglang buana menuntut ilmu. Suatu saat akan ada alasan untuk kembali pulang.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

13 thoughts on “Senja di Heidelberg”

  1. Dear Bapak Made Andi,

    Tulisan Bapak telah memberikan saya inspirasi untuk menuntut ilmu setinggi-tingginya di Australia.

    Sungguh suatu persembahan yang sangat mulia dari Bapak di Hari Ulang Tahun Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia yang ke-63.

    Sukses selalu untuk Bapak !

    Hormat saya,
    Igede Suparwata
    62 Blamey Street Kelvin Grove QLD 4059
    —————————————————
    Diploma of Hospitality Management’s student of
    College of Tourism and Hospitality (COTAH)
    Southbank Institute of Technology TAFE
    South Brisbane Queensland

    AUSTRALIA

  2. Wah Bapak,….
    Saya baru ke balikpapan
    Bapak sudah ke belahan bumi utara melanglang buana

    Moga dimudahkan jalannya tuk meraih gelar DOKTOR
    dan ilmunya bisa berguna bagi bangsa.he…he..

  3. Ahh..Ini tulisan ternyata sangat amat mencerahkan. Saya sangat menyukai kota Heidelberg, karena sangat klasik dan penuh warna budaya. Sewaktu menyusuri sungai neckar bersama kawan2, dan sewaktu Mendaki ke atas Schloss, benar-benar luar biasa. Saya lebih suka kota antik model Heidelberg, daripada Berlin yang super hectic…Berlin mengingatkan saya dengan Jakarta..hehehe.
    Namun yang belum saya sadari sampai sekarang, ternyata kota Heidelberg menyimpan kisah persahabatan mas MadeAndi. Itu lebih indah daripada keindahan kota itu sendiri. Walau saya masih bertanya2…Apakah nasionalisme itu?
    Dalam lagu ‘Indonesia raya’, ada stanza yang menyatakan ‘Indonesia tanah tumpah darahku’. Berarti nasionalisme kita, adalah berdasarkan suatu teretorial, yang dibatasi oleh wilayah negara republik Indonesia. Hanya itu.
    Namun bangsa lain memiliki pemikiran berbeda. Misalnya bangsa Yahudi, mereka dikenal sebagai bangsa yang tidak memiliki tanah air. Menjadi warga negara Israel, Amrik, Perancis, atau Rusia tidak ada bedanya bagi mereka. Karena, dimanapun mereka berada, solidaritas diantara mereka secara intern sangat kompak. Sama halnya dengan China. Bisa dilihat, bahwa restoran dan toko kelontong China bertebaran dimana-mana di seluruh dunia. Bahkan di kota Hannover ini saja, restoran China ada cukup banyak, dan tentu saleranya lebih pas dengan kita yang dari asia, daripada makanan eropa. Walaupun Bangsa Yahudi bertebaran diseluruh jagad, tapi pihak Israel tidak pernah mencap mereka sebagai ‘anasional’. Demikian juga, pemerintah RRC tidak pernah mencap China peranakan di seluruh dunia sebagai ‘anasional’ juga. Karena solidaritas nasional mereka yang super kompak, melampaui batas teretorial negaranya, maka akhirnya China menjadi negara yang ekonominya sangat kuat. Demikian juga Israel, sudah jadi rahasia umum kan, kalo Amrik itu dikontrol oleh lobi2 Israel. Juga kita lihat singapur, yang memang mayoritas etnis China, punya hubungan erat dengan RRC. Mungkin Taiwan perkecualian, karena masalah ideologi.
    Rasanya kita harus mereevaluasi konsepsi nasionalisme kita. Nasionalisme yang berdasarkan batas wilayah, sama sekali tidak bisa membawa kita kemana-mana. Namun sebaiknya dibangun gagantifikasi nasionalisme, yang supranasional, seperti yang dimiliki Bangsa Yahudi dan China.
    Tulisan ini bukan berarti saya mau kabur dari Indo lho….Masih banyak pihak yang berusaha narik2 saya supaya tetap berkarya di Indo. Kisah saya jelas berbeda dengan kisah si Dini…hehehe

  4. Mas Arli,

    Terima kasih komentarnya yang baik dan lengkap.
    Saya setuju dengan Anda.

    Andi di cerita di atas mungkin memang masih yakin bahwa kehadiran fisiknya di tanah air akan membuatnya bisa berkontribusi lebih banyak. Dia mungkin tipe-tipe orang yang akan merasa berbuat sesuatu jika bisa memeluk seorang bocah kedinginan di tepian Gilimanuk, dan tidak hanya menyumbang uang. Dia juga mungkin orang yang baru bisa merasa bernilai kalau sudah mengotori kakinya di lumpur sawah di Desa Tegaljadi dan merasakan kesedihan paman dan bibinya akibat gagal panen yang baru terjadi. Atau mungkin juga dia tipe gaptek tidak bisa memanfaatkan teknologi komunikasi sehingga merasa perlu mendampingi mahasiswanya yang kehilangan arah dalam mengerjakan skripsi. Konsultasi jarak jauh mungkin bagi seorang Andi dalam cerita di atas tidak menyelesaikan masalah.

    Sementara itu, nasihatnya kepada Dini mungkin juga hanya karena naluri cinta lawan jenis semata he he he. Barangkali juga juga istilah nasionalisme yang diungkapkannya tidak lebih dari nafsu birahi, kita tak pernah tahu *smile*

    Kalau menurut saya pribadi sih simple saja. It does not matter where you are. Saya setuju bahwa orang Yunani tak membuat obituari. Mereka mengajukan satu pertanyaan saja ketika seseorang lelaki meninggal “Did he have passion?”

  5. Jadi terbesit mengenai makanan di kepala saya. Saya jadi kangen sama Bakmi GM, Nasi goreng pekalongan, Pempek Palembang, ayam kalasan atau Gudek Jogja nih…Kalo mau makanan model seperti itu yang saleranya mirip Indo, mesti naik kereta ke Belanda. Yang di Belanda pun, hanya tiruan kurang sempurna dari yang di Indo. Rasanya rindu juga makan jagung bakar di puncak, sambil minum sekoteng jahe atau minum teh botol di pinggir jalan, sambil menunggu bis patas datang. Atau juga menikmati makanan Sunda, diatas empang, sambil melihat pelayannya menjala ikan atau udang.
    Nasionalisme bisa dinilai dari apa yang suatu bangsa makan. Seperti China dengan Bakmi bakso, Jerman dengan Bratwurz, Amrik dengan burger atau India dengan nasi biryani. Kalo untuk masalah makanan, saya setuju dengan Andi…Bahwa Indonesia itu tidak ada duanya, dan untuk menikmati semua memang mesti ke Indo…:)
    PS: Konsep nasionalisme China dan Israel juga punya cacad. Zionisme adalah ideologi paling brutal yang pernah ada, dan sebagian orang Yahudi pun juga membenci zionisme. Sementara itu, banyak orang masih menduga-duga, sampai kapan rakyat China bisa bertahan dengan pemerintahan komunis yang tangan besi.

  6. luar biasa tulisannya pak. Di awal saya merasa terbawa ke dalam imajinasi tingkat tinggi, merasa seperti pernah menjejakkan kaki di Heidelberg. Walau sampai detik ini saya hanya mampu sebatas bermimpi bisa melangkah di daratan Eropa.
    ada bagian yang membuat saya sempat meneteskan air mata pak, ketika dini bertubi tubi memberikan pernyataan dan pertanyaan mengenai bagaimana ia bisa mencintai Indonesianya.
    mungkin analoginya sama dengan seseorang yang berbicara begitu indah tinggal di kota besar karena kerja kerasnya berbuah hasil yang besar, mungkin akan langsung dibantah oleh seseorang yang hidupnya jatuh bangun berjuang hanya untuk mencari sesuap nasi di kota besar. apalagi jika mereka memiliki kompetensi yang tak jauh beda.
    mohon maaf pak, saya bukan skeptis dengan negeri yang katanya ramah ini. hanya saja, keramahan itu tak lagi menjadi bagian dari kebanyakan orang di negeri ini. seperti yang dirasakan oleh dini.
    sekali lagi saya mohon maaf pak, jikalau ada kata kata saya kurang berkenan

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: