Desak Made Sukri, meninggal di usianya yang sekitar 80 tahun. Memang tidak seorangpun mengetahui usianya yang sesungguhnya. Nenek tua ini memang lahir di suatu masa saat orang-orang di sekitarnya tidak mengerti dan merasa perlu tentang makna penanggalan masehi. Begitulan jaman itu, saat ‘tegak oton’ menjadi cukup untuk mengenal kelahiran seorang manusia.
Setelah mengalami penurunan kondisi fisik dan psikis agak lama, Desak Made Sukri menghembuskan nafas terakhirnya pada hari Kamis tanggal 19 Juni 2008 pukul 5.42 WITA di rumah kediamannya yang tenang di Desa Tegaljadi, Tabanan, Bali. Tidak banyak yang dipesankannya saat kepergiannya karena beliau memang sudah tidak mampu berbicara sejak beberapa lama. Kepergiannya yang tenang di pagi yang sepi rupanya sudah diantisipasi oleh semua kerabat, terutama anak, menantu, cucu dan cicitnya. Tidak ada yang terlalu terkejut, pun tidak merasa perlu menangis. Bukan karena kepergian sang tua diharapkan kerabatnya, semata-mata karena semuanya bersepakat bahwa dharma bhaktinya telah paripurna.
Jika kebijaksanaan hidup benar adanya bahwa siklus lahir, hidup dan mati adalah keniscayaan, maka saat inilah Desak Made Sukri menyelesaikan satu lingkaran dengan sempurna. Dalam kehidupannya yang sederhana, lahir enam anak manusia yang kini telah dewasa. Dari keenam manusia ini lahir pula belasan cucu yang telah tersebar ke berbagai penjuru. Hidupnya yang walaupun tidak luar biasa telah memberi makna yang tidak sederhana kepada banyak sekali orang, setidaknya keturunannya. Setidaknya, banyak orang yang kini mewarnai dunia selalu mengakui keberadaannya yang menjadikan keistimewaan menjadi niscaya. Dia yang tidak pernah mengaku istimewa, tanpa disadarinya telah melahirkan keistimewaan-keistimewaan yang tidak saja dinikmati kerabatnya tetapi juga alam di sekitarnya. Benar memang kata Gede Prama, kesempurnaan bisa dirajut dari serpihan ketidaksempurnaan.
Made Sukri adalah nama ketika beliau menikah. Kata Desak dilepaskannya bukan tanpa alasan, beliau menikah dengan Ketut Lepud yang juga sudah berpulang. Ketut Lepud adalah pemuda biasa di Tempek Pagutan, yang jauh dari kasta tinggi, terutama jika dilihat di masa saat mereka bertumbuh. Meski tidak pernah membahasakannya secara istimewa, Made Sukri adalah pendobrak tradisi kolot sebuah kultur yang bernama kasta. Seorang perempuan yang lahir di lingkungan Tri Wangsa, memutuskan untuk menikahi seorang pemuda di jaba dan akhirnya menjadi ‘orang biasa’. Tanpa banyak berteori, Made Sukri telah mengajarkan sesuatu jauh-jauh hari sebelum orang-orang pintar menulisnya dalam jurnal dan mendiskusikannya dalam seminar-seminar tingkat tinggi. Pelajaran memang dari mana saja dan kapan saja. Adalah kepekaan untuk menyarikannya yang penting.
Orang-orang tersenyum bukan lantaran sorak sorai karena kepergiannya, tetapi karena kebahagiaan bahwa Made Sukri telah menamatkan pertapaannya. Dari tubuh sederhananya pernah lahir orang-orang dengan gagasan besar yang bahkan tidak sempat disadarinya. Asap dupa yang membumbung tinggi adalah jalan baginya menuju sang penyebab segalanya. Harum bunga cempaka membawa pesannya tentang kebaikan dan perjuangan. Sampian itu sayapnya yang akan membuatnya terbang tinggi lalu menebar pandangan ke maya pada, melindungi generasinya dengan senyumnya yang sederhana.
Dek Moyo
Seorang cucu yang terbang dengan sayap-sayap doanya.
Pak Andi, saya jadi ingat pernah baca novel Oka Rusmini tentang pernikahan beda kasta di Bali..