Nyetrika


Minggu lalu, saya kebagian tugas nyetrika baju. Berbagai pertimbangan membuat keluarga tidak memiliki pembantu yang bisa mengerjakan pekerjaan rumah. Jadilah tugas-tugas rumah tangga menjadi ‘milik bersama’ alias ‘keroyokan’.

Menyetrika pakaian bukan pekerjaan baru bagi saya. Ketika tugas di luar negeri, terutama saat ngantor di gedung PBB New York, nyuci dan nyetrika jadi pekerjaan tetap. Kalau dinikmati, nyuci dan nyetrika bisa jadi menyenangkan. Setelah seharian atau mungkin seminggu bekerja dengan kepala, rasanya refreshing juga ketika sekarang kerja dengan tangan saja. Kalau boleh, kepala bisa ditinggal di kamar, supaya tidur 🙂

Yang menarik tentu bukanlah nyetrikanya. Saya mengamati betapa banyaknya pakaian saya yang bahkan banyak darinya terlupakan. Bukan apa-apa, tidak semua dari mereka saya pakai bahkan berbulan-bulan. Kami sekeluarga sebenarnya tidak suka belanja pakaian. Selain karena alasan finansial [sebenarnya ini yang utama he he], juga karena bukan pengikut tren fesyen. Meski begitu, tetap saja jumlah pakaian terasa terlalu banyak.

Saya jadi ingat tulisan Dwi Lestari yang berjudul Harta Karun untuk Semua. Betul memang, betapa banyaknya hal yang kita miliki dan sesungguhnya tidak kita perlukan. Kita terbiasa membeli sesuatu yang sesungguhnya jauh lebih banyak dari yang kita butuhkan dalam hidup. Pakaian hanyalah salah satu saja dari banyak hal. Memang hal ini tidak selalu terjadi karena keingingan sendiri, biasanya justru karena desakan pihak luar. Ibu mertua saya, misalnya, cukup sering menasihati istri saya agar membelikan baju kemeja yang bagus dan banyak untuk saya. “Masak dosen bajunya mung itu-itu saja”, kata beliau berkelakar. “Klambi kuwi swiwi, rumah itu projo”, katanya selalu menasihati. Penampilan memang penting, tidak bisa dipungkiri. Tapi apakah itu harus membuat kita memiliki baju jauh melebihi yang kita butuhkan? Saya tidak tahu.

Yang jelas, saya masih tetap membeli baju walaupun saya mengusahakan untuk menjadikannya minimal. Itupun, ketika saya nyetrika sendiri, sudah membuat saya kelebihan pakaian. Mungkin ini saatnya untuk mendermakan sebagian pakaian bekas layak pakai. Kini saya baru mengerti istilah itu. Dulu jaman kuliah, saya bingung ketika diminta mengumpulkan pakaian bekas layak pakai. Yang saya punya kebanyakan adalah pakaian tidak layak pakai, tapi jelas-jelas tidak bekas karena masih saya pakai kuliah 🙂

Pakaian yang jumlahnya melebihi kebutuhan adalah hal yang sangat biasa, tidak saja bagi orang kaya, tapi juga bagi yang tidak kaya. Entah kekuatan apa penyebabnya, sangat mudah bagi orang untuk membeli pakaian baru ketika pakaian yang dimilikinya masih sangat layak dipakai. Seperti itulah kekuatan mode. Ketika faktor internal tidak begitu kuat, desakan eksternal biasanya melumpuhkan. Tuntutan profesi, gengsi keluarga, dan lain lain adalah sedikit saja dari setumpuk alasan. Saya pribadi ingin mengurangi membeli pakaian, semoga bisa. Yang jelas, saya ingin mengajak siapa saja untuk tidak menilai buku dari kulitnya. Ijinkan saya tetap tersenyum dan percaya diri, walaupun baju saya tidak baru.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: