
Kini, saya tanya, apakah hujan masih menghadirkan sensasi yang sama? Kami termenung sesaat dan tertawa lebar. Sambil bergurau saya katakan, kalau dulu hujan membawa sensasi romantika, sekarang hujan mengingatkan kita bahwa motor ternyata tidak cukup, terutama di musim hujan. Ketika saya tanyakan apakah kebahagiaannya berkurang dengan suasana ini, beginilah kira-kira jawabannya yang saya bahasakan ulang.
Yang terpenting ternyata adalah pikiran kita. Saat kita tidak merasa miskin, pikiran kita memang tidak gelisah. Situasi ini adalah satu persinggahan hidup kita yang tidak akan selamanya seperti ini. Ini adalah soal kapan kita mau berhenti dan hidup “layak” seperti yang diinginkan lingkungan kita. Pertanyaannya adalah apakah kita memang akan berhenti di sini dan hidup ‘makmur’ atau masih meneruskan perjalanan dan rela bersahabat dengan perjuangan yang memang hampir selalu tidak nyaman. Saat ini kita merasa cukup. Memang seperti inilah semestinya hidup kita sekarang. Berkendara di tengah hujan yang mengguyur tetap terasa menyenangkan karena pikiran kita telah dibius oleh keyakinan bahwa hidup kita sesungguhnya lebih dari ini. Kaya atau miskin ternyata adalah persoalan pikiran juga. Seandainya saja kita hidup tanpa harapan, berkendara di derasnya hujan dengan satu mantel seperti ini memang bisa jadi menimbulkan kegelisahan.
Seperti kata Gede Prama, sesungguhnya kita bisa hidup sejahtera selamanya dan menemukan kedamaian di setiap kejadian. Begitulah hidup itu semestinya.