
Saya tidak akan berpanjang-panjang untuk mendebatkan ini karena kita memang memiliki pandangan yang pastilah tidak sama. Yang jelas, siapapun di muka bumi ini sebaiknya paham betul kebutuhannya akan materi. Harus jelas dimengerti seberapa banyak kebutuhan, termasuk seberapa besar keinginan. Yang lebih penting lagi, saya yakin bahwa kita harus menyempatkan diri untuk memilah mana kebutuhan dan mana keinginan. Saya tahu, saya mulai terdengar berteori dan sok bijaksana. Kawan saya tadi pasti dengan segera menyambar dengan kelakar khasnya “Kamu ngomong gitu kan untuk menutupi ketidakmampuanmu!” Teman saya ini juga tidak [sepenuhnya] salah. Tapi jika saya katakan bahwa saya tidak tertarik membeli mobil karena secara serius ingin berpartisipasi mengurangi emisi karbon, saya khawatir jawaban tersebut terdengar lebih memuakkan lagi.
Tanpa bermaksud memperseterukan pandangan yang memang beragam, kenikmatan hidup bagi saya adalah adanya kesempatan memilih secara sadar dari berbagai pilihan yang ada. Kenikmatan berjalan kaki mungkin akan meningkat jika jalan kaki itu adalah pilihan sadar, justru ketika kita mampu membeli mobil, misalnya. Menjadi dosen yang katanya gajinya kecil adalah juga kenikmatan tiada tara, terutama jika itu dipilih dengan sadar justru ketika banyak perusahaan swasta memperebutkan Anda. Bagi seorang presenter seperti Najwa Shihab, misalnya, bersekolah di negeri orang mungkin bukan pilihan yang menguntungkan secara materi. Meski begitu, pilihan yang tidak nyaman ini akan menjadi bermakna jika bersekolah ini adalah pilihan sadar justru saat berbagai tawaran memandu acara deras berdatangan. Itulah, menurut saya, yang disebut kenikmatan.
Dalam kebuntuan pemikiran dan kegelapan tanpa solusi bernas, saya biasanya kembali kepada prinsip sederhana: Hidup adalah tumpukan pilihan. Seperti nasihat Ibu saya di masa kecil, “memiliki kalung emas adalah untuk diri sendiri. Ketika memakainya, pakailah di dalam dan tertutup baju, tidak usah dikeluarkan dengan sengaja. Biarlah kalung itu membuat kita tenang dan bangga di dalam hati saja.” Saya tidak tahu persis makna nasihat itu, tetapi sepertinya saya bisa menerka-nerka maksudnya, terutama ketika kawan saya bertanya tentang Jazz 🙂
Waduh, gue bangga punya temen kayak Made. Ditengah-tengah budaya KKN yang merasuk dari lapisan masyarakat terbawah sampai tertinggi di negeri ini, masih ada pandangan hidup yang mengandung integritas tinggi seperti ini. Tapi, bila hal-hal seperti ini bisa terus kita tularkan ke sekeliling kita, suatu saat nanti negeri ini akan punya basis yang kuat untuk menjadi bangsa yang lebih maju. Selama ini, banyak dari masyarakat kita yang bahkan sudah tidak bisa membedakan lagi, mana yang ber-integritas dan mana yang tidak. Nanti kapan-kapan kita buat “perkumpulan jujur” yang beranggotakan orang-orang yang tidak pernah ber-KKN dalam karirnya. Siapa tahu dapat menjadi “prime mover” perbaikan negeri ini. [Ir. Wibowo, MM.]
Pak Andi, tulisan ini membuat saya makin mengagumi Bapak..:)
Mas Bowo, thanks atas komentar yang sangat positif. Aku hanya tulang-tulang berserakan, tapi adalah kepunyaanMu 🙂
Makasih Astri. Seperti kata Taufik Ismail, kalau kita tidak bisa menjadi beringin, menjadi rumput juga mulai, tetapi rumput yang meneduhkan pandangan mata. Betul gak?