
Beberapa kawan bertanya “apakah saya menjalankan tradisi agama dengan baik?”. “Are you really practicing your Hinduism?”, tanya kawan lainnya. Dalam sebuah acara makan siang di kafetaria United Nations, pertanyaan seperti ini bisa saya jawab dengan mudah sambil berkelakar: “I am a believer, I believe in God“. Cerita panjang lebar tentang film Contact kemudian dengan mudah membuat diskusi tentang agama dan Tuhan menjadi seru, menarik dan tidak menyakiti. Jujur saja, ditanya seperti itu saya teringat kepada Jodie Foster di Contact. Seorang Forster yang tidak percaya Tuhan dianggap tidak layak mewakili umat manusia ketika berhadapan dengan makhluk lain (aliens). Di saat hal kritis terjadi, sebenarnya agak berlebihan menurut saya mempertanyaan apakah seseorang beragama atau tidak untuk bisa mewakili suatu kelompok dalam urusan yang tidak terkait agama. Namun begitu, perjalanan menuju pada pertanyaan ini yang sesungguhnya istimewa. Jika diikuti, tidak ada satupun yang sesungguhnya “ridiculous”.
Ijinkan saya berbagi pandangan, bagaimana saya melihat agama. Ada tiga aspek utama yang saya pegang secara sederhana. Pertama adalah aspek sakralitas. Agama memiliki aspek sakral yang memang demikian adanya, tidak perlu didiskusikan dan tidak perlu diusik. Di tingkat ini pasti ada perbedaan antara agama yang satu dengan lainnya tetapi semestinya tidak perlu dibahas. Kalau saya menyebut Tuhan saya Hyang Widhi sementara yang lain dengan Allah atau lainnya, saya tidak pernah tertarik membahasnya.
Aspek kedua adalah spiritualitas. Masing-masing orang memiliki cara sendiri berhubungan dengan Tuhan. Jangankan agama berbeda, orang seagama pun bisa berbeda di tingkat ini. Spiritual adalah apresiasi individu yang ketika tidak diinstitusikan, tidak akan pernah menimbulkan masalah. Persoalan akan muncul ketika satu praktik spiritual mencoba menginstitusikan kelompoknya dan memaksakannya kepada yang lain. Sejauh ini ada di tingkat individu, tidak semestinya masalah spiritual muncul dan menghancurkan.
Aspek ketiga adalan moralitas. Menurut saya pribadi, ini yang sangat penting. Di tingkat ini, agama konon harus mampu membuat seseorang menjadi baik bagi orang lain. Bagi saya ini yang terpenting sekaligus sulit sekali. Bakti kepada Tuhan yang akhirnya menimbulkan permusuhan tak perlu dengan sesama manusia mungkin juga akan membuat Tuhan kecewa (itupun kalau Tuhan bisa kecewa). Di tingkat moralitas, saya tidak tertarik bertanya “apa agamamu?” karena sesungguhnya bukan itu alasan terjadinya kekerasan dan penindasan. Mengutip kalimat Einstein yang beredar melalui email, saya setuju bahwa kekacauan dan kejahatan tidak dibuat Tuhan, tetapi merupakan tanda ketiadaan Tuhan, setidaknya di hati manusia.
Jika ada yang bertanya apa agama saya, saya seorang Hindu. Menjadi Hindu tidak berarti menghalangi saya untuk mencintai mereka yang meneladani Muhammad, Yesus dan Budha. Saya yakin itu.