Pekerjaan Baik


Entah disebut keberuntungan atau kebetulan, sebelum menamatkan kuliah, saya telah diterima di sebuah perusahan consumer good yang boleh dibilang top di Indonesia, Unilever. Kalau saya bilang, Unilever ini termasuk salah satu perusahaan ‘gila’ dalam meberlakuan proses training terhadap karyawannya. Untuk calon TSS (Territory Sales Supervisor), Unilever mengharuskan untuk training dengan cara langsung terjun ke lapangan, jualan sabun, pasta gigi bahkan margarin dan mie. Sebuah pekerjaan yang memang tidak pernah saya impikan sebelumnya.

Anda bisa membayangkan, bagaimana saya yang notabene ‘rumongso’ pinter, tamatan sebuah perguruan tinggi terbesar di negeri ini dengan IP yang tidak mengecewakan serta memiliki pengalaman organisasi yang sangat memadai harus mendatangi toko-toko menwawarkan barang dalam mobil box. Mending barangnya mewah, ini…. ah, sabun, deterjen, margarin, pencuci piring. Benar-benar mengundang malu. Nggak ada keren-kerennya sama sekali. Keluar masuk toko dengan pemiliknya yang kebanyakan Chinese yang tidak jarang menyapa dengan ketus dan sekenanya seakan saya ini memang seorang salesman yang tidak memadai pendidikannya sehingga dengan gampang mereka perlakukan dengan semaunya. Menyebalkan!

Sampai pada suatu sore, saya mengalami kejadian yang tidak akan pernah saya lupakan. Saat itu saya sedang memasuki sebuah toko menengah di kawasan perumahan elit di Malang, tempat saya training. Seperti biasa saya menawarkan produk yang saya bawa dengan mobil box. Utuk mengakrabkan diri, serperti biasa saya selalu menggunakan Bahasa Jawa halus. Maklum saja, saya 4,5 tahun di Jogja, jadi cukup lancar berbahasa Jawa halus. “sampean iki wong Bali ta?” (Anda ini orang Bali ya?) begitu si pemilik warung bertanya ketika dia melihat lembaran faktur yang berisi nama dan tanda tangan saya sebagai salesman (sebenarnya salesman trainee, dan tepatnya calon seorang supervisor :). “Oh, nggih Bu.” (Ya, Bu) Saya menjawab dengan sopan, dan ibu itupun melanjutkan. “mantuku yo wong Bali lo Mas.” (Mantu saya juga orang Bali lo Mas) katanya lagi dengan logat Jawa Timur yang kental. Sayapun menanggapinya dengan senyum dan sedikit pertanyaan basa-basi.

Saya tengah sibuk menghitung nilai belanjaan ibu itu, sampai terdengar suara sepeda motor mendekat. Belum lagi saya cermat mengamati, ibu dagang itu berkata setengah berteriak, “nah iki opo mantuku. Le kenalke, sales iki yo wong Bali lo Le”. (nah ini dia mantu saya. Nak, kenalkan ini juga orang Bali lo Nak.) Sayapun menyadari bahwa Bli (kakak laki-laki, Bahasa Bali-Red) ini adalah mantu ibu yang tadi diceritakan. Dengan ramah dan sedikit bernuansa primordial, kami bersalaman dan langsung bercakap-cakap dalam Bahasa Bali.

“Sales Unilever ya?” tanyanya. Untuk menyingkat persoalan, sayapun mengiyakan dengan tanpa pejelasan. Awalnya ada juga terbersit keinginan untuk menjelaskan bahwa saya ini adalah supervisor langsung dari pabrik dan sedang training. Dan bila perlu, karena dia orang Bali, ingn rasanya agar dia segera bertanya bagaimana prospek pekerjaan saya dan bila perlu hm…gaji saya. Dengan menanyakan ini, saya yakin dia pasti akan cukup terkejut. Tapi untuk apa, saya kira tidak perlu lah. Toh ketemu cuma sekali. Terserah saja dia mikir apa. Tapi ternyata tidak sampai di situ persoalannya.

“Sudah lama di sini?” tanyanya, masih tetap dalam bahasa Bali. “Baru dua bulan Bli.” Saya menjawab, tetap dengan sopan dan tidak berusaha menambahkan. “Berarti belum bisa Bahasa Jawa dong” dia kembali bertanya, dan memang wajar saya pikir, karena dia tidak sempat menyaksikan percakapan saya dengan ibu mertuanya tadi. Andaikan dia mendengar, mungkin dia akan sedikit heran juga karena sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa bagi orang Bali, jangankan bahasa Jawa yang medhok, untuk berbahasa Indonesia saja, konon susah menjadi fasih. Sehebat-hebatnya, umumnya masih jelas terdengar Bali-nya ketika harus mengucapkan kata yang mengandung huruf ‘T’. Anda, pembaca, tentu mengerti apa yang saya maksud.

“Kalau Bahasa Jawa sih, lumayan Bli, saya bisa” saya kemudian menjawab, “saya cukup lama di Jogja.” “Di Jogja?!, ooooh, sempat tugas sales di sana?” tanyanya lagi. “Nggak, saya sekolah di sana.” Saya menjawab dan kali ini tidak menatap wajahnya karena masih asik dengan penjumlahan nilai faktur penjualan saya. “Di SMA atau SMEA?” Tiba-tiba saja dia bertanya, dan tentu saja pertanyaan itu salah! Salah besar, saya kira! Dan kini, dengan kebanggan yang cukup, saya menjawab “Oh bukan Bli, saya kuliah di UGM.” Sebuah jawaban yang tentu saja saya yakini akan sanggup membuat dia berpikir dua kali untuk meremehkan saya. Dan benar, dia sedikit gelagapan. Seperti yang saya duga.

Lelaki ini, di luar dugaan saya kemudian menatap saya dengan pandangan yang sedikit berbeda dan mengucapkan kata-kata yag tidak pernah saya duga, apalagi harapkan. “Wah, ternyata memang sulit mencari pekerjaan sekarang ya!” Kali ini saya yang justru teperangah. Sebuah komentar yang benar-benar tidak saya sangka. Betapa tidak. Kebanggaan saya yang semula begitu besar karena telah berhasil lulus dari UGM dengan IP tinggi dan bekerja di sebuah perusahaan besar yang diakui eksistensinya tidak saja d Indonesia, bahkan dunia nampaknya kini perlu saya pertanyakan. Komentar yang baru saja diucapkan laki-laki di depan saya benar-benar tidak enak di telinga. Sama sekali tidak ada kesan bangga, apalagi salut. Yang ada adalah kesan kasihan, mengapa orang yang lulus dari UGM akhirnya ‘hanya’ menjadi seorang saleman keliling menawarkan sabun dan shampoo. Saya kecewa! Terbersit lagi keinginan untuk membuka wawasan laki-laki ini tentang pekerjaan saya, bahwa saya adalah seorang supervisor yang akan bertanggung jawab mengelola distributor setingkat PT. Anak buah saya akan banyak sekali, bahkan ada yang setingkat manajer. Saya adalah raja kecil di daerah yang menjadi kepercayaan Unilever.

Setelah saya pikir lebih dalam, sayapun menjawab dengan tetap sopan “Ya, Bli. Memang susah nyari kerja sekarang.” Saya berkata sambil membatin. Semua saya lakukan demi terjaga percakapan yang tetap normal. Toh tidak ada kepentingan bagi saya untuk tampil hebat di depan laki-laki ini. Mungkin ini adalah pertemuan yang pertama dan terakhir. Tidak ada gunanya saya ngotot meyakinkan dia tentang pekerjaan saya. Laki-laki ini beranjak mendekati saya dan berkata seraya menepuk-nepuk bahu saya “Ya, kamu sabar saja dulu, nanti pasti akan ada pekerjaan yang lebih baik!” Sayapun terdiam sejenak sambil berpikir. Inilah potret masyarakat di sekeliling saya. Ijinkan saya untuk tidak cepat merasa, sekaligus tidak cepat heran.

Jakarta, April 2002

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

15 thoughts on “Pekerjaan Baik”

  1. Bli, mau tanya donk kesan2nya waktu jadi TSS..soalnya gw ada penawaran untuk posisi yang sama..kira2 prospek, culture kerja , peluang karir kedepannya gimana ya?

    Thanks..ur suggestion would be very meaningful for my career

  2. Bli, mau tanya donk kesan2nya waktu jadi TSS..soalnya gw ada penawaran untuk posisi yang sama..kira2 prospek, culture kerja , peluang karir kedepannya gimana ya?

    Thanks..ur suggestion would be very meaningful for my career

  3. hi, salam kenal ya. saya lg apply buat TTS di unilever nih. bisa kasih saran ga kira2 apa aja yg dibutuhin? trus test seleksinya ada berapa tahap ya?
    ===
    Silakan email saya Mas.. nanti kita ngobrol

  4. seperti yang ditanyakan rekan2 diatas.
    🙂
    saya jg pengen tahu dong…
    ttg TSS ULI.

    imel saya ya mas.
    lanjut di imel ngobrol nya.

  5. Sya dri medan,bru mlmar poss TSS..sbgai org awam blm byk mgtahui ttg profil TSS. sya boleh tau email bpak?bls ke email sya y pak..

  6. salam kenal pak Andi..
    saya mau tau lebih banyak mengenai TSS unilever bisa pak??
    saya sedang mengikuti proses rekruitment TSS unilever..skrg sampai tahap assessment..
    bisa minta info pak??
    bisa via email atau hp saya 08179504089..
    trimakasih sblumnya..

  7. Selamat pagi pak. Sy anak dari salah 1 karyawan unilever dengan posisi TSS di jakarta pada tahun 2003 dan sekarang ayah sy sudah almarhum.kebetulan sy buka2 memo jaman dahulu dan ketemu kartu nama ayah saya.dan sy coba2 browsing pekerjaan ayah sy dulu di unilever seperti apa. Sy sangat terharu ternyata banyak yg gak tahu sebenarnya pekerjaan ayah sy seperti apa.ayah sy meninggal th 2003 krn serangan jantung pd saat acara kantor di unilever mega mendung puncak bogor.sy hanya ingin sharing pak krn sy sangat rindu dgn ayah sy.yg saya bilang beliau sangat workholic & family man.sangat susah masuk unilever dijaman sekarang pak. Semoga bapak sehat selalu

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: