Ambalat, Cinta dan Ambalita


Ambalita adalah nama anak saya. Lita panggilannya. Di peringatan 80 tahun kemerdekaan Indonesia, dia mengikuti upacara bendera di Negeri Belanda. Memperingati kemerdekaan di tanah penjajah tentu bukan peristiwa biasa. Lita sedang mengikuti aktivitas pertukaran mahasiswa selama satu semester di Erasmus University. Saya selalu mengatakan, Lita satu almamater dengan Bung Hatta, proklamator kita.

Kata Ambalita diinspirasi oleh istilah Ambalat. Bagi yang mengikuti hiruk pikuk relasi Indonesia dengan Malaysia, istilah ini tentu tak asing di telinga. Ambalat adalah blok dasar laut di Laut Sulawesi yang di tahun 2005 menjadi alasan bagi dua bangsa, Indonesia dan Malaysia untuk berseteru. Banyak yang mengatakan, itu adalah salah satu titik terendah dalam relasi kakak beradik Nusantara. Dua bangsa serumpun ini memang tak selalu rukun.

Saya sedang memulai belajar tentang batas maritim di tahun 2005 ketika kasus Ambalat ini mencuat. Saya dan Asti, istri saya, sedang berada di Sydney karena saya sekolah di University of New South Wales (UNSW). Kasus Ambalat menjadi semacam pengingat awal yang penting bahwa apa yang saya pelajari ini memang penting dan relevan bagi bangsa ini. Ambalat menjadi alasan untuk belajar lebih baik. Ambalat juga yang menjadi pemicu saya menulis di The Jakarta Post untuk pertama kalinya. Tanggal 12 April 2005, tulisan perdana saya terbit di harian tersebut.

Di Tengah hirup pikuk kasus itu, istri saya sedang hamil. Tiba-tiba saja saya merasa bahwa kisah relasi dua negara itu bisa menjadi inspirasi bagi sejarah hidup keluarga kami. Saya akan catatkan dia menjadi nama anak kami. Maka mulailah saya mencari kata yang tepat, yang paling bisa mewakili AMBALAT, sekaligus bermakna dalam. Selain itu, sebagai orang yang menyukai perbedaan, saya juga ingin sebuah kata yang belum pernah dipakai siapa pun. Saya melakukan pencarian di Google.

Kata yang saya sodorkan pertama kali adalah AMBALINA. Ternyata ada beberapa orang di India yang sudah menggunakan nama tersebut. Saya mencoba opsi lain yaitu AMBALITA. Di tahun 2005 awal, kata ini tidak ada di Google. Hasil pencariannya nol. This is it. Saya memilih kata tersebut menjadi nama bagi anak kami, dengan panggilan Lita. Nama itu kemudian saya umumkan kepada kerabat dekat di Sydney dan sejak itulah nama itu ada dan digunakan. Jauh sebelum Lita lahir.

Ambalita juga diinspirasi dari Dewi Amba. Dalam keyakinan/mitologi Hindu, Dewi Amba adalah putri Kerajaan Kasi yang kelak menitis menjadi Dewi Srikandi. Kami mendoakan Lita menjadi seorang Srikandi Perempuan yang berani dan bijak. Kata PITALOKA pada namanya saya maknai sebagai pelindung dunia. Pita adalah pengikat dan loka adalah dunia. Doa tulis kami berharap agar anak ini kelak bermakna hidupnya setidaknya bagi dunia kecilnya. Maka terciptalah nama Putu Ambalita Pitaloka Arsana, sebuah doa dan harapan tanpa memberinya beban berlebihan.

Di tahun 2025, Ambalat mencuat lagi. Presiden Prabowo Subianto dan Perdana Menteri Anwar Ibrahim bersepakat untuk bekerja sama di kawasan sengketa yang belum tuntas itu. Berbagai pendapat muncul. Berbagai opini digelar. Berbagai spekulasi akan teori konspirasi juga bermunculan. Saya Kembali menuliskan pandangan saya soal ini di Kompas pada tanggal 12 Agustus 2025. Setelah jeda 20 tahun, Ambalat masih menjadi urusan serius yang belum tuntas. Ini sekaligus menunjukkan betapa perihal perbatasan ini bukan barang mudah untuk diselesaikan. Saya pribadi bersyukur, 20 tahun berselang, saya masih bisa menulis dengan gelora semangat yang sama dan dengan ketajaman yang tak berbeda. Semoga dengan daya tembus yang lebih baik.

Bagi saya Ambalat adalah awal mula cerita. Cerita soal pilihan terhadap jalur kepakaran dan terutama cerita awal tentang cinta. Cinta kepada makhluk manusia bernama Putu Ambalita Pitaloka Arsana. Cinta kepada negeri bernama Indonesia. Indonesia yang tidak sempurna tetapi tak pernah membuat saya lelah untuk mengakuinya sebagai negeri yang membanggakan saya.

Hari ini, 12 September 2025, Lita berulang tahun ke-20. Tahun yang penting. Tahun di saat Lita menghormat Sang Saka Merah Putih di negeri penjajah. Tahun ketika Ambalat, kisah awal hidupnya, masih terus menjadi pengusik ketenteraman negeri. Tahun ketika seorang mahasiswa Indonesia turun ke jalan di negeri Belanda untuk menjadi bagian dari suara perbaikan. Selamat ulang tahun anakku, Lita. Semoga Tuhan memberimu kekuatan untuk terus melangkah pada jalan yang semestinya.

Unknown's avatar

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?