Saya sudah mengajar lebih dari 20 tahun. Mungkin orang mengira saya akan melakukannya dengan mudah. Saya pun menyangka demikian. Ternyata saya salah. Mengajar tidak pernah mudah. Faktanya, bahkan semakin sulit.
Materi yang saya ajar relatif sama karena mata kuliahnya sama selama bertahun-tahun. Fakta ini kadang menjebak dosen pada anggapan bahwa dia telah ‘menguasai’ semua hal. Di bidang teknik yang perkembangan konsepnya tidak begitu cepat, anggapan ‘sudah bisa’ dan ‘sudah biasa’ ini mudah muncul. Ternyata tidak semudah itu Ferguzo.
Yang berubah adalah peserta didiknya. Mari kita tidak buru-buru mengatakan lebih baik atau lebih buruk. Karakter peserta didik sekarang berbeda dengan 15 atau 20 tahun lalu. Itu yang pasti. Cara mereka belajar berbeda, terutama kemampuan mereka untuk memperhatikan sesuatu berbeda. Mereka tidak suka menyimak hal yang sama dalam waktu lama. Bahasa seremya ‘span of attention’ mereka rendah.
Pemahaman akan hal ini membuat saya bekerja lebih keras. Selama gelisah dan degdegan, terutama kalau akan memberi kuliah di kelas perdana. Kelas pertama itu begitu krusial. Itu akan membangun fondasi penting bagi apa yang terjadi selanjutnya. Kegagalan saya memberi kesan baik di kelas perdana tidak saja akan membuat mahasiswa membenci saya tetapi juga membenci pelajarannya. Bisa-bisa, mereka juga membenci dirinya sendiri karena merasa tidak pintar. Ini berbahaya.
Karena kesadaran ini, saya merasa perlu menyiapkan kuliah dengan lebih baik. Hari pertama harus gembira dan berkesan. Hari pertama harus menanamkan kesadaran bahwa mata kuliah ini bermanfaat dan berdampak. Kuliah harus membuat pikiran jadi terbuka, bukan membuat kepala jadi terasa penuh. Idealnya, kuliah yang baik harus membuat orang lega dan tercerahkan tetapi tidak boleh membuatnya merasa pintar. Tidak mudah.
Memberi energi yang besar dan positif adalah langkah utama. Setiap kali masuk kelas, hal pertama yang harus dilakukan adalah menyapa dengan senyum yang lebar. Percayalah, ini tampak sederhana tetapi tidak semudah itu. Hidup seorang dosen juga dipenuhi onak dan duri. Ada banyak sekali perkara yang berkecamuk di kepala. Antara UKT anak sendiri yang tinggi dan konsekuensi jadi juru bicara yang mudah mendapat komentar dengan nada tinggi.
Setiap kali akan masuk ruang kelas, saya berhenti sejenak. Saya membuang semua kekalutan yang ada di kepala lalu menggantinya dengan senyum lebar yang diberi energi positif. Kadang itu harus dipaksakan, terutama ketika hari sedang tidak baik-baik saja. Saya tidak mau cara mengajar saya dipengaruhi kekalutan pikiran karena hal lain di luar kelas. Tentu saja hal itu tidak mudah dan saya tidak selalu berhasil.
Minggu pertama kuliah di UGM telah berlalu. Saya selalu mengusahakan yang terbaik. Sepertinya berhasil. Setidaknya menurut saya demikian. Kelas pertama adalah Kolaborasi dan Jejaring untuk mahasiswa Magister Fakultas Teknik. Saya merasakan antusias mereka. Begitu menyenangkan. Kelas Pengantar Ilmu Kebumian juga demikian. Kelas penuh canda tawa selama dua jam. Ilmu bumi dan matematika melebur dalam kelakar dan respons mahasiswa yang menyenangkan. Manajemen Perbatasan dengan kelas kecil juga sangat ‘engaging’. Ada percakapan yang lebih ‘dewasa’ di ruang itu terkait isu-isu yang sedang beredar di masyarakat.
Saya juga mengajar Ide Kreatif dan Kewirausahaan di Sekolah Vokasi. Saya mengusahakan dengan baik. Kelasnya singkat namun berkesan baik. Saya harus bergerak untuk menjalankan tugas yang lain. Selain di UGM, saya juga mengajar Hukum Laut dan Batas Wilayah di UPN untuk Teknik Geomatika. Kelasnya asyncronous dengan video. Saya belum bisa melihat dampak dan penerimaan mereka. Yet, saya siapkan dengan baik. Semoga berdampak baik.
Di beberapa kelas saya sampaikan sebuah polling untuk mengetahui pendapat mereka. Terharu melihat respons yang sangat positif. Tentu saja saya juga menyimak kritik seperti “lain kali, selesainya harus tepat waktu ya pak” karena di beberapa kelas saya melebihi waktu yang seharusnya. Di kelas yang lain, ada seorang mahasiswa ragu-ragu mendekati dan berkata “selama dua belas tahun saya belajar, baru kali ini ada kelas yang menarik.” Anggaplah dia berbohong dan sekedar untuk menyenangkan saya tetapi saya memilih untuk menganggap itu sebuah respons yang jujur.
Pesona kelas perdana itu penting. Itu akan menjadi kunci, bukan saja untuk jangka pendek. Itu mungkin bisa mengubah cara pandang seseorang akan hidupnya. Maka saya usahakan. Saya percaya, senyum dan energi positif itu harus pertama kali dipancarkan oleh dosen. Selanjutnya, ini akan jadi sempurna kalau disambut oleh peserta kuliah. Bagaimana memastikan energi itu ada dan terpancar dari dosen? Percayalah, kadang harus dilakukan dengan ‘memaksa diri’ atau bahkan ‘pura-pura’ karena hidup dosen kadang juga centang perenang, tak selalu baik-baik saja. Semoga kelas perdana saya memesona.