Tanggal 11 Juni 2025 pagi, seorang kawan mengirim berita tentang empat pulau yang disengketakan Aceh dan Sumatra Utara. Itulah kali pertama saya mengikuti kisah sengketa itu dengan serius. Sebagai orang yang belajar hukum laut dan batas maritim, kisah itu menarik untuk mengasah dan menguji ketajaman pisau analisis saya.

Dari sebuah berita, saya akhirnya berselancar di internet dan melahap banyak berita lainnya. Saya paham, ada empat pulau yang sedang menjadi topik pembicaraan. Kini menjadi heboh karena konon pulau itu dialihkan kepemilikannya dari Aceh ke Sumatra Utara. Isunya menghadirkan daya ledak luar biasa.
Sore pukul 18.40 WIB di hari yang sama, seseorang dari Kementerian Dalam Negeri menghubungi saya. Singkatnya, saya diminta menjadi narasumber dalam sebuah rapat terkait empat pulau tersebut. Lokasinya di Jakarta dan rapatnya tanggal 13 Juni 2025. Tanpa basa-basi, saya sanggupi meski belum siap bahan sama sekali.
Tanggal 13 Juni 2025, saya berangkat pukul 07.55 dari Bandara YIA di Kulon Progo, Jogja menuju Bandara Soetta. Waktu rapatnya adalah pukul 13.00 WIB dan 07.55 WIB adalah waktu keberangkatan terbaik. Di pesawat, saya mulai berpikir tentang paparan. Saya pun memulai berkreasi meski tidak mudah. Saya menimbang-nimbang substansi presentasi dan cara penyajian terbaik. Meski sudah mulai dapat ide, saya tidak berhasil merampungkan presentasi itu di pesawat.
Tiba di Soetta, saya langsung naik taksi ke Kemendagri di dekat Monas.. Di taksi, saya lanjutkan memasak ide. Untungnya, saya bisa mengetik di mana saja. Waktu terasa singkat, saya pun tiba di Kemendagri. Masih terlalu awal, saya pun memilih untuk mampir di sebuah cafe tidak jauh dari Kemendagri. Tujuan hanya satu: menyelesaikan berkas presentasi. Power Point adalah andalan saya.
Saya tidak akan menguliahi mereka. Saya juga tidak boleh terlalu teoritis. Maka paparan saya langsung menukik ke persoalan. Yang menarik, hampir tidak ada animasi lama yang saya pakai. Hampir semua animasi saya hari itu adalah karya baru. Sebagian besar terselesaikan di Cafe Malacca Toast di Jl. Juanda, tidak jauh dari Kemendagri. Malaka dan Djuanda, sepertinya dua nama ini tidak hadir secara kebetulan ketika saya berkutat tentang kedaulatan pulau di Nusantara.
Waktu saya tidak banyak. Secara tekun saya bekerja dari pukul 11.00 hingga 12.40 sambil menikmati hidangan dan teh tarik khas Melayu. Tumpahlah segala imajinasi dan gagasan yang deras mengalir karena desakan dari dalam yang gegap gempita. Tidak sempurna tentunya tetapi saya bahagia dengan proyek presentasi itu. Isi utamanya adalah animasi di hampir di semua lembar salindia (ini bahasa Indonesia untuk slide). Gabungan antara transisi dan animasi menjadi andalan saya dalam mencipta media.
Pukul 12.40 saya mulai berjalan kaki menuju Gedung Kemendagri. Tiba di ruangan, ada beberapa wajah yang tidak asing. Kawan-kawan dari Badan Informasi Geospasial tampak sudah siap di beberapa meja. Hadir juga Prof Pipin dari Geografi UI. Seorang pakar senior yang pilih tanding. Saya siap-siap belajar.
Kami berdua diundang untuk menyampaikan pandangan akademis soal sengketa empat pulau itu. Sementara, di sekitar kami berkumpul para punggawa negeri dari berbagai institusi dan lembaga. Pada wajah mereka berkecamuk berbilang perkara. Suasana memang sedikit tegang. Di satu sisi ada yang hendak dibela, di sisi lain ada yang perlu dihela. Pada wajah-wajah birokratis yang klimis, kerap mendekam idealisme yang diam karena harus dipendam.
Memahami berbilang kemungkinan, saya mulai bercerita. Berkelebat-kelabatlah animasi yang baru saja tercipta beberapa saat sebelumnya. Warna gelap dan terang silih berganti mengisi ruang. Pasal hukum, perkara teknis, dan urusan politis saling melilit mengurai yang rumit. Di penggal tertentu melengking suara, di penggal berikutnya pecah juga kelakar. Yang senior kerap bergaya pesohor, yang muda tersenyum ketir mengelus dada.
Isu kedaulatan pulau memang tak pernah sekedar titik, garis, dan luasan. Ketika belum masanya, geospasial bermuram durja, duduk kesepian di pojok percakapan dan tak kuasa memberi makna. Saya menyimak sejarah dan kronologi yang disajikan di ruang rapat dengan saksama. Ada usulan dari Aceh, ada gagasan dari Sumatra Utara. Ada juga klarifikasi dari Kemendagri. Semoga bercampur menjadi satu. Meski kerap terasa menegangkan, tujuan kami semua di ruang itu semestinya sama: NKRI yang tunggal dan mengayomi keragaman di dalamnya.
Diskusi berjalan serius. Banyak fakta dan data baru yang saya simak. Di titik tertentu saya cenderung yakin bahwa keempat pulau itu lebih layak untuk Aceh. Dokumen tahun 1992 antara Gubernur Aceh dan Sumatra Utara yang disaksikan oleh Mendagri kala itu, Pak Rudini, saya pikir akan menjadi dokumen kunci. Kita harus bekerja keras untuk memastikan dokumen ini menjadi bagian penting dalam kasus ini. Saya tegaskan.
Meski urat syarat sempat memendek dan suhu ruangan terasa menghangat, tetaplah rapat siang itu adalah cengkerama intelektual. Berakhir dengan kerelaan menerima, termasuk bersepakat untuk belum bersepakat di titik tertentu. Yang pasti, pemerintah berjanji akan menindaklanjuti dengan segala upaya. Saya melaju ke Jogjakarta dengan kereta. Di kepala, berkecamuk sejuta perkara.
Selasa, 17 Juni 2025, saya diminta memberi kuliah bagi wartawan mitra UGM tentang perihal pulau ini. Maka saya sempurnakan animasi yang berasal dari Cafe Malacca Toast di Jalan Djuanda Jakarta itu. Untuk pertama kalinya animasi lengkap itu tampil dan disaksikan oleh publik. Saya lega bisa bercerita. Wartawan juga sepertinya bersemangat menyimak. Sorenya, sekitar pukul 16.00, sebuah berita mengakhiri segala pertanyaan “Presiden Prabowo Putuskan Empat Pulau Menjadi Milik Provinsi Aceh”. Sepaket animasi baru tercipta, satu episode terakhir bermuara. Empat pulau berlabuh kembali dalam pelukan Aceh.
always love reading your thoughts, Sir