Nasib [punya] anak [yang] kos


Di suatu malam, Lita, anak kami, menelpon. Sesuatu yang tidak umum terjadi. Asti, ibunya, antusias menerima, ternyata terdengar suara setengah merintih. Lita sakit. Mendengar berita buruk dari anak yang memilih tinggal di kos tentu bukanlah hal yang menyenangkan. Saya sebenarnya panik. Ibunya tidak begitu panik. Kok bisa ya?

Tidak menunggu lama, kami meluncur menuju kosnya Lita. Kebetulan tidak begitu jauh. Betul, Lita memang memilih kos di dekat rumah. Mengapa harus kos kalau kuliahnya di UGM dan rumahnya di Jogja? Mengapa harus kos kalau dekat rumah? Meskipun jaraknya pendek, ceritanya yang panjang. Kapan-kapan saja diceritakan.

Tiba di kamar Lita, ibunya segera beraksi. Pijit-pijit, usap-usap, elus-elus, plus ngomal-ngomel khas emak-emak. Belakangan ini Lita memang sibuk sekali. Banyak tugas, sering pulang malam, dan jadi jarang pulang. Maklum anak aktivis.

Minggu ini masa ujian akhir semester, eh anaknya malah masih fitting baju di Solo dan nge-dance juga. Omal-omel ibunya berakar pada fakta-fakta ini. Saya menyimak saja sambil sesekali ngengar dan nyengir. Omal-omel dan nyengar-nyengir adalah bahasa universal emak dan bapak di seluruh Galaksi Bisa Sakti. Sepertinya begitu.

Saat Lita dirawat sama ‘dokter pribadinya’ dengan resep omal-omel, saya mengobservasi kamar dan kamar mandi. “Don’t comment on my kamar mandi. I have yet to clean it up” kata Lita meski dengan posisi tengkurep. Dia paham naluri bapaknya yang kadang bekerja tidak pada tempatnya.

“Ayah bersihin kamar mandi ya, Ta?” kata saya. “Nggak usaaaah. Nanti ta bersihin sendiri” katanya setengah teriak, meski masih kesakitan. “Jangan Yah, nanti da tersinggung” kata Asti setengah berkelakar. “Nggak kok, ayah kan minta izin. Boleh ya Ta?” kata saya memelas dan memohon-mohon. Memang di masa sekarang ini, susah dapat kerjaan. Harus mengemis segala.

“Ya, biarin aja Ta. Ayah melakukan dengan senang hati kok” kata Asti memberi dukungan. Setelah bernegosiasi dan berusaha meyakinan, akhirnya saya mendengar seruan “yooooooo” dari Lita. Saya pun beraksi. Menyikat lantai kamar mandi adalah masa kontemplasi yang meditatif. Percayalah. Saya bersihkan lantai, sikat temboknya dan buat keran jadi kinclong lagi dengan menggosok penuh semangat pengabdian. Sepert para menteri yang mengabdi pada negeri.

“Look at this, Lita. It looks like new!” kata saya bangga setelah menyulap kamar mandinya jadi bersinar lagi. “Wow, so impressive!” katanya sambil tetap tengkurep menikmati elusan dan pijitan ibunya. Tentu saja dengan suara nada rendah dan pelan karena dia bahkan tidak melihat sama sekali hasil kerja ayahnya.

Sakitnya tidak parah sehingga sentuhan-sentuhan kecil dan tempelan salon pas sudah bisa meredakan. Mungkin dia stress karena besoknya harus ujian. Katanya belum belajar. Begitulah anak muda zaman sekarang yang suka menunda-nunda. Anehnya, kebiasaan anak muda itu juga terjadi pada orang tua macam saya. Pastilah ini pengaruh negatif anak muda. Jelas tidak mungkin ini merupakan sifat asli orang tua.

Sudah ya, sampai sini dulu ya ceritanya. Tidak ada kisah-kisah inspirasi di sini. Cerita keluarga biasa saja.

Bandara YIA, 22 Juni 2024

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?