Tahun 1991, untuk pertama kalinya saya melihat Over Head Projector (OHP). Beberapa guru ‘terbaik’ di sekolah kami, SMP 2 Marga di Tabanan, Bali, sedang meneliti dengan cermat barang baru itu. Kami, para siswa, heboh ketika alat itu digunakan pertama kali. Itu adalah lompatan luar biasa. Anak-anak gembira melihat warna-warni tulisan di selembar plastik transparan yang bisa berganti-ganti dengan cepat. Pengalaman berharga itupun hanya bisa disaksikan di laboratorium karena alat mahal dan canggih itu tidak tersedia di semua kelas.
Suatu hari, seorang guru biologi, nampak bersemangat menggunakan alat itu untuk mengajar. Ada gambar kodok di plastik transparansinya lengkap dengan warna warni. Ada garis-garis panah yang menunjukkan organ tertentu, lengkap dengan keterangannya. Yang menarik, gambar yang kami saksikan di layar di depan kami terbalik. Rupanya sang ibu guru salah memasang plastik transparan. Tidak ada yang tertawa, semua menyimak saja, terpesona oleh kesaktian alat itu yang menghadirkan tontonan baru.
Sementara itu, satu, dua, tiga, empat, lima, guru berkeluh kesah. Mereka yang terbisa menggunakan kapur tulis untuk papan tulis hitam legendaris di ruang laboratorium merasa terintimidasi. Tiba-tiba saja mereka merasa tergagap-gagap. Membuat bahan ajar di atas plastik transparan bukanlah keterampilan yang mereka siapkan selama ini. Mereka sudah merasa begitu hebat menuliskan dan menggambar semuanya di papan tulis. Maka kehadiran alat canggih bernama OHP adalah sebentuk intimidasi.
Alat ‘kurang ajar’ itu telah mempertontonkan kegagapan dan ketidakterampilan mereka. OHP adalah cermin jernih yang menunjukkan kegagapan mereka akan teknologi. Ini membuat mereka malu karena selama ini sudah terlanjut berkoar-koar “kita harus menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi agar menjadi bangsa yang berjaya”. OHP telah mengingatkan mereka dengan cara yang mengenaskan bahwa “tidak semudah itu Ferguso”.
Ketika masuk SMA 3 Denpasar, di semua kelas ada papan putih. Saya baru sadar di sana bahwa mempercayai isitlah “black board” merupakan Bahasa Inggris untuk “papan tulis” adalah kesalahan serius. Tidak semua papan tulis itu hitam. Tidak semua papan tulis itu menggunakan chalk alias kapur. Di SMA 3 Denpasar saya menemukan fenomena baru itu.
Bersih tanpa debu, konon penggunaan papan putih dan spidol adalah kemajuan. Namun tidak demikian bagi beberapa guru yang saya kenal. Pak Guru Biologi mengeluh tiap kali menulis. “Saya tidak terbiasa menggunakan spidol kalau menulis. Rasanya aneh” kata beliau. Guru Matematika punya cerita sendiri. Beliau terbiasa menggunakan kapur dengan papan permukaan kasar. Beliau biasanya membuat garis putus-putus untuk menggambarkan sisi belakang kubus dengan menarik kapur sedemikian rupa dengan sudut dan cara memegang yang khas sehingga timbullah jejak kapur berupa garus putus-putus. Di mata kami, itu laksana sulap. Dengan papan putih dan spidol, kesaktian itu tak lagi berguna. Tak lagi bisa dipamerkan.
Ketika masuk Teknik Geodesi UGM di pertangahan tahun 1990an, saya mengenal Power Point. Itu adalah keajaiban dunia yang baru saya temukan. Luar biasa. Magis! Plastik transparan yang tadinya bersinergi dengan OHP dan menghadirkan tontonan menawan tiba-tiba menjadi kehilangan wibawa. Power Point menggantikan mereka dengan cepat dan agresif. Full of power, and with a lot of points. Demikianlah citra yang dibangun oleh Power Point ketika itu. Teks berterbangan ke sana ke mari menjadi animasi yang menginspirasi. Warna-warni tulisan juga hadir dinamis seakan menghina plastik transparan yang kini nampak Lelah dan tak berdaya. Selamat datang di masa depan.
Sementara itu, di sudut-sudut kampus lainnya, para dosen senior yang telah akrab dengan plastik transpran selama 20 tahun teakhir. Mereka yang tadinya jadi bintang di kelas tiba-tiba menjadi kaum terpinggirkan. Map mereka yang tebal dan kumal dengan berlembar-lembar plastik transparan yang dulu berwibawa, dengan segera menjadi kalah pamor oleh komputer yang nangkring congkak di meja di depan kelas. Dengan sombong komputer-komputer itu menghadirkan kilatan-kilatan animasi yang memukau. Anak didik lambat laun melupakan pastik transparan dan dosen yang masih menggunakannya akhirnya terkubur dan tak pernah muncul dalam imajinasi peserta didik.
Kini, di tahun 2020, ketika dunia mengalami goncangan dasyat, cara pembelajaran harus berubah. Kuliah online menjadi alternatif. Tiba-tiba saja, Webex, Skype, Zoom, Moodle, Google Hangout, dan teman-temannya meramaikan percakapan warung kopi. Ada yang senang meloncat kegirangan, ada yang termenung gamang, tak yakin harus berbuat apa. Dua puluh tahun dari sekarang, para post-milennial akan bercerita tetang hari-hari ini. Apakah gerangan kisah mereka tentang saya, Anda dan kita ketika masa depan itu sudah menjadi masa kini?
I Made Andi Arsana – Dosen Teknik Geodesi UGM