Ada Intan di UGM


Sore kemarin saya kedatangan dua orang tamu. Mereka adalah Intan dan Dita, keduanya mahasiswa Fisipol, UGM. Di kesempatan lain saya akan cerita tentang Dita. Kali ini, saya akan mengisahkan Intan. Intan adalah sebuah kisah klasik insan UGM. Dia lahir di keluarga sederhana dari seorang ibu yang telah melahirkan 10 orang anak. Intan anak terkecil dan ayahnya pun telah tiada. Ibunya ‘hanya’ pedagang sembako kecil dan harus berjibaku menghidupi dan menyekolahkan anak-anaknya. Ini sudah tahun 2019, saya tertegun mendengar penggalan cerita yang lebih mirip dengan kisah tahun 1980an.

Intan tak mendapat restu ibunya untuk belajar di sekolah umum, SMA. Ibunya menghendaki Intah belajar di SMK agar bisa lebih cepat bekerja meringankan beban orang tuanya. Intan berbeda pandangan dan bersikukuh menjalani keyakinnnya. Intan belajar di SMA. Sebagai konsekuansinya, ibunya sama sekali tidak membiayai sekolahnya. Maka Intan harus berjuang sendiri, tepat ketika dia mulai menginjakkan kaki di SMA 1 Tuban, di kota kelahirannya.

“Setiap sore, saya menjual keripik punya orang, Pak” katanya mengenang perjuangannya. Matanya berkaca-kaca ketika menuturkan kisahnya itu. Konon Intan menghabiskan sorenya setiap hari untuk berkeliling alun-alun menjajakan keripik yang diproduksi orang lain. Intan kemudian menyudahi dengan mendapat sedikit upah dari jerih payanya. Di kesempatan lain, Intan bergerilya di kebun-kebun untuk mengumpulkan kayu bakar dan daun pisang. Daun pisang itulah yang dijualnya kepada mereka yang berjualan pepes ikan di pasar. Semua itu yang menghidupinya, terutama menyalakan semangatnya untuk tetap belajar menuai ilmu. Intan, di usia yang sangat belia, telah mengambil keputusan dan berjuang dengan berani untuk membela keputusannya itu.

Setiap sore, Intan bertemu dengan teman-temannya yang berasal dari kaum berpunya. Mereka semua mengikuti les pelajaran di sebuah lembaga yang tidak jauh dari alun-alun. Di situlah Intan bertarung dengan dirinya sendiri. Dia bertarung untuk memenangkan kebaikan yang ada pada dirinya karena ketidakbaikan mengintai dengan sangat lekat. Ketika uang tiada, ketika kesempatan begitu sempit dan ketika kemewahan dan kenikmatan yang bisa dirasakan orang lain dipertontonkan di depan matanya, maka tak mudah menjaga kewarasan dan kebijaksanaan. Intan berjuang menjaga dirinya, berjuang merawat kewarasannya.

Intan punya mimpi besar. Sangat besar, menurutnya. Dia ingin bisa ikut les pelajaran, seperti teman-teman yang segera berganti pakaian sepulang sekolah dan langsung les. Teman-temannya tidak perlu menjajakan keripik di alun-alun seperti yang dirasakannya. Alangkah indahnya hidup yang demikian, begitu Intan berimajinasi.

Intan rajin mengikuti lomba. Tujuannya amat pragmatis, dia ingin mendapatkan hadiah. Hadiah itu bisa dia gunakan untuk menjamin keberlangsungan pendidikannya. Dia ingin keluar dari sekolah itu dengan status lulus dan bila perlu berprestasi. Maka lomba demi lomba diikuti, keberhasilan demi keberhasilan diraih dan tentu saja berbagai kegagalan dengan setia menemani perjalanannya. Waktu berlalu begitu cepat. Intan bertumbuh bersama keterbatasnnya tanpa pernah sekalipun kehilangan mimpi besarnya.

Kondisi sosial ekonomi keluarga Intan yang terbatas memang menjadi warna yang tidak begitu cerah bagi kehidupannya tetapi tidak pernah menjadi alasan untuk berhenti dan menyerah. Tiga tahun berlalu, Intan berhasil menyelesaikan pendidikan SMA dengan uang yang diusahakan sendiri. Ini membuatnya yakin akan kemampuannya, akan peluang yang membentang di masa depan.

Maka jiwa petualannya pun terasah dan tumbuh lebih subur. Intan bersikukuh harus kuliah di Jogja, tepatnya di UGM. Sebuah mimpi yang mungkin dipandang terlalu besar oleh sebagian orang, bagi seorang anak pedagang sembako sederhana di Tuban.

Nasib memang berpihak pada para pemberani dan hasil tak pernah mengkhianati persiapan dan perjuangan. Intan dinyatakan diterima di Departemen Pembangunan Sosial dan Kebijakan, Fisipol UGM tahun 2018, sebuah mimpi yang akhirnya menjadi kenyataan. Intan telah masuk ke jajaran 2% masyarakat yang mengenyam status sebagai mahasiswa dan dia adalah kaum elit dari 2% itu karena berhasil memasuki Universitas sekelas UGM. Maka tidak ada kata lain kecuali bersyukur.

Rupanya ibunya terketuk hatinya. Intan telah dengan berani memilih untuk belajar di SMA meski ditentang ibunya dan kini dia buktikan bisa menyandang status sebagai mahasiswa UGM. Maka di suatu sore, ibunya mengantarkan dia ke Jogja untuk pertama kalinya. Ibunya memutuskan untuk mendukung pendidikan Intan dengan cara menyediakan biaya bagi kebutuhan hidupnya. Karena kebijakan yang baik, Intan memang mendapatkan beasiswa uang kuliah dari UGM sehingga dia hanya perlu memikirkan biaya hidup. Gayung bersambut, itu pula yang akan disediakan oleh ibunya.

Ada Rp 600.000 uang yang diberikan oleh ibunya kepada Intan di hari pertama. Intan harus memutar otak dengan keras karena uang itu harus cukup untuk hidup selama sebulan termasuk uang kos. Maka Intan memutuskan untuk kos di tempat yang agak jauh agar bisa lebih murah. Dia berhasil mendapatkan kos dengan harga Rp 350.000 per bulan. Maka dia hanya punya Rp 250.000 untuk hidup sebulan. “Artinya, saya hanya boleh menghabiskan maksimal 10.000 setiap hari Pak” tuturnya setengah menangis. Sementara itu saya bersandar di pilar bale bengong, terbius oleh suasana haru dan kelu lidah tak kuasa bicara.

Intan berhitung dengan cermat dan berdisiplin dengan keras soal keuangan. Di hari-hari pertama orientasi kampus atau PPSMB, Intan sudah menemukan berbagai kendala. Ada banyak tugas yang memerlukan dana, ada banyak barang yang harus dibawa dan itu semua tidak datang dengan gratis. Intan mengenang ketika dia harus membawa pom pom dan ternyata salah warna atau bahan. Akibatnya, Intan harus membuat ulang atau membeli. Harga barang jadinya Rp 15.000 dan Intan merasa itu tidak mungkin karena artinya dia menghabiskan hampir dua hari jatah makannya. Intan menawar pada tukang jualan. Dia hanya membeli bahannya lalu membuatnya sendiri di dekat sang penjual sehingga diizinkan membayar 10.000. Berhasil berhemat Rp 5.000 adalah prestasi bagi Intan dan itu artinya dia punya kesempatan bertahan hidup lebih lama.

Ketika diberi makanan kontak saat PPSMB, Intan tidak memakan pisang yang dijadikan hidangan pencuci mulut. Bukan karena Intan tidak suka pisang tetapi karena dia ingin menyisakan pisang itu untuk dimakan malam hari nanti. Dalam usahanya yang sedemikian, dia justeru melihat ada anak yang tidak makan pisang yang dibagikan dan berniat membuangnya. Maka Intanpun mengambil alih. Dia kemudian malah mengumumkan bahwa jika ada anak yang tidak suka pisang, dipersilakan untuk mengumpulkannya ke Intan. Usaha berjalan lancar dan ternyata semesta mendukung umatnya yang tulus berbuat baik. Sambil menahan tawa sekaligus rasa sedih, Intan mengenang bagaimana teman-temannya mengenal dia sebagai “Intan Pisang”.

Masih saat PPSMB, Intan sudah mengikuti sebuah lomba menulis. Motivasinya masih pragmatis. Hadiahnya cukup besar untuk membantunya bertahan hidup. Ketika teman-temannya masih berjuang beradaptasi dengan kampus baru, Intan sudah memenangi sebuah lomba menulis yang akhirnya bisa membuatnya bertahan hidup higga akhir tahun 2018. Intan juga aktif di Program Mahasiswa Wirausaha UGM dan ilmu itulah yang dia niatkan untuk meningkatkan usaha jualan ibunya yang kini terhimpit persaingan ketat.

Suatu hari, berita buruk datang. Ibunya jatuh sakit dan divonis tidak boleh berjualan lagi. Maka pulanglah Intah ke Tuban sambil merasakan keterpurukan yang dialami ibunya. Keputusasaan selalu datang mengintai dan dia sempat hendak memutuskan untuk berhenti kuliah meskipun belum tuntas S1. Intan ingin merawat ibunya sekaligus karena tidak ada harapan untuk biaya hidupnya selama kuliah. Meskipun sudah mendapat beasiswa uang kuliah, tetap saja biaya hidup dan kebutuhan lain tidak sedikit. Untunglah kakaknya yang juga sedang kuliah menyadarkannya dengan cara setengah memaksa. Intan ‘diusir’ dari Tuban untuk kembali ke Jogja.

Jogja memang memberi harapan tetapi juga menyisakan tantangan yang tak mudah ditundukkan. Misteri tentang biaya hidup dan kuliah masih setia menyelimuti langkah Intan yang kian berat. Di saat genting seperti itu, Intan mendapat bantuan dari seorang kakak tingkat yang merupakan seorang aktivis advokasi. Dengan dukungan itu, Intan ingin melamar beasiswa atau peluang lainnya. Sampailah suatu ketika Intan di Direktorat Kemahasiswaan UGM yang punya tugas ‘ngopeni’ mahasiswa seUGM. Melalui kantor itu, Intan ingin mendaftar beasiswa Bidikmisi, sebuah beasiswa untuk anak-anak yang tidak mampu secara ekonomi.

Entah dari mana datangnya kejutan. Intan mendapat informasi bahwa dirinya ternyata sudah mendapat Bidikmisi sejak awal masuk UGM. Sontak Intan terkejut. Selama ini rupanya uang beasiswanya masuk ke sebuah rekening di Bank Mandiri yang Intan tidak pernah ketahui. Di satu sini, ini bisa menjadi evaluasi serius bagi pemerintah dan UGM tentang pengelolaan beasiswa tetapi di sisi lain, ini adalah kejutan tak ternilai harganya bagi Intan. Karena akumulasi uang beasiswa itu, Intan ternyata memiliki tak kurang dari Rp 8.000.000,- di rekeningnya dan belum pernah tersentuh selama ini.

Dengan bantuan semua pihak di UGM, akhirnya Intan berhasil mendapatkan akses pada uang yang memang sudah menjadi rezekinya sejak awal. Maka hidup berubah, pandangan lebih cerah dan wajah jadi lebih sumringah. Tuhan memang tidak tidur. Kalaupun kita tidak menyadari peran sertanya, mungkin itu terjadi karena cara kerjaNya yang sangat misterius.

Hal pertama yang dilakukan Intan adalah menyisihkan sebagian uang itu untuk pengobatan ibunya. Intan menceritakan itu dengan emosi yang meninggi. Isak tangis kadang terdegar di sela-sela ucapannya yang bersemangat meski kadang lirih. Sementara itu saya menatapnya takzim sambil bersyukur betapa beruntungnya saya hidup di dunia.

Intan seperti dikirim Tuhan ke hadapan saya agar saya teryakinkan sekali lagi tentang makna perjuangan. Agar saya mempercayai lebih utuh bahwa kita bisa lahir di mana saja tetapi mimpi dan cita-cita kita bisa kita gantungkan setinggi langit. Kata Bung Karno, bermipilah setinggi langit karena kalaupun kau jatuh, engkau akan jatuh di atara bintang-bitang.

Intan adalah penggal pendek dari rangkaian cerita yang panjang dan penuh liku. Intan, seperti pepatah, bisa jadi sedang tenggelam di dalam lumpur tanpa ada yang peduli. Maka tugas saya dan mungkin juga Anda adalah untuk mengangkat dia dari lumpur, membiarkannya bersinar terang, hingga nanti dia hidup dengan keindahannya sendiri. Yang pasti, Intan mengajak kita untuk selalu awas dan peduli. Di sekitar kita, di tempat-tempat yang tidak terlalu jauh, mungkin saat ini sedang berjuang seorang Intan yang lain dan memerlukan uluran tangan kita.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: