Kepercayaan saya tumbuh kepada dunia perfilman Indonesia ketika Petualangan Sherina muncul di tahun 2000. Setelah sekian lama mengalami masa kegelapan yang begitu suram, film besutan Riri Riza itu hadir sebagai penyelamat. Dan tumbuhnya kepercayaan itu kemudian dikukuhkan dengan lahirnya Ada Apa dengan Cinta (AADC). Selera saya akan film Indonesia muncul atau lebih tepatnya lahir kembali bersama AADC. Jangan salahkan jika kemudian AADC menjadi standard kualitas film dalan pikiran dan terutama imajinasi saya. Jangan salahkan juga jika Dian Sastro menjadi standard kecantikan dan keindahan perempuan di mata saya.
Ada jutaan orang yang lahir di sebuah semesta bernama AADC. Sebagian dari mereka bahkan tidak atau belum berhasil menemukan semesta lain. Banyak juga yang bahkan tidak mau meninggalkan semesta AADC, bahkan utuk sekedar menjenguk ada atau tidaknya semesta lain di luar AADC. Seperti pendukung capres, sebagian penghuni Semesta AADC mungkin adalah pendukung irasional.
Dari sekian juta orang itu, jangan-jangan saya termasuk kategori terakhir. Saya mungkin tidak rasional atau setidaknya tidak objectif. Menonton AADC belasan kali dan sempat hafal hampir keseluruhan dialognya tentu menjadi pertanda yang agak mengkhawatirkan. Tapi apakah dengan begitu, saya harus lari ke hutan lalu belok ke pantai? Kalau sudah begitu, salah siapa coba? Saya gue? Salah teman-teman gue? Jangan-jangan benar kata Cinta, saya telah sakit jiwa, seperti halnya Rangga.
Relakah penduduk Semesta AADC ini ketika semestanya terpecah-pecah? Atau relakah mereka ketika semesta AADC ini hendak dibuat turunanya atau anaknya? Sebagian orang mungkin akan mengernyitkan dahi. Sudahlah, AADC 2 sudah cukup dan manis sebagai akhir kisah di Semesta AADC. Jangan kalian suguhi lagi kami dengan ide-ide liar, apalagi jika ide itu hendak memperbesar atau mencerai-beraikan Semesta AADC. Jangan!
Itulah pikiran pertama yang muncul ketika saya mendengar AADC akan dibuatkan spin off-nya dalam sebuah film tersendiri yang ternyata tidak berkisah tentang Cinta atau Rangga tetapi tentang yang lain. Film itu akan berkisah tentang Milly dan Mamet. What?! Okay, memang Milly dan Mamet hadir sebagai kejutan paling tak terduga di AADC 2 tetapi apa sanggup dua tokoh ini hadir secara mandiri dan memiliki warna sendiri yang kuat dalam satu film mandiri? Pertanyaan itu terus muncul di kepala saya.
Sutradaranya adalah Ernest Prakasa dan Meira, istrinya. Fakta ini, terus terang, membuat keraguan dan pertanyaan itu agak mereda. Ernest adalah jaminan mutu untuk film dengan penonton di atas satu juta orang. Setidaknya ini meredakan kekhawatiran saya. Ernest sudah buktikan di Ngenest, Cek Toko Sebelah dan Susah Sinyal. Setidaknya ini telah membuktikan rekam jejak dan portofolio seorang Ernest. Tapi, kita kan bicara tentang Semesta AADC? Apakah Ernest siap untuk itu?
Saya memasuki ruang bioskop tanpa ekspektasi. Sejujurnya, sulit di zaman sekarang ini untuk tidak melihat review film sama sekali. Informasi yang bertebaran di berbagai media bisa mendatangi kita dengan mudah dan tanpa diharapkan atau diminta. Maka satu dua komentar tentang film Milly dan Mamet akhirnya terbaca juga. Dari semua itu, tak ada satupun komentar negatif. Semua pihak mendukung antusias dan semua komentar yang saya baca bernada memuji. Benarkah?
Maka saya memasuki gedung bioskop dengan persoalan baru. Saya tidak sedang berhadapan dengan harapan saya sendiri tetapi dengan komentar orang lain yang saya tidak bisa pertanggungjawabkan keabsahannya. Tapi apapun itu, saya tetap tenang. Apapun yang terjadi nanti, saya sudah bertekad untuk tidak akan menggoyangkan loncengnya hingga terdera atau biar mengaduh sampai gaduh. Tidak akan!
Saya senang, Ernest memulai dengan ‘prequel’ bagaimana Milly dan Mamet akhirnya bersama. Melihat cara penyajiannya, terus terang saya tidak bisa lepas dari film The Break Up yang diperankan oleh Jenifer Aniston dan Vince Vaughn. Meskipun jelas-jelas berbeda, entah kenapa, saya melihat ada kesamaan teknik dalam menunjukkan potongan kisah yang penting secara cepat dan kedua film itu menyajikan potongan kisah yang sama yaitu titik pertemuan hingga titik sepakat untuk hidup bersama. Entahlan apakah Ernest memang terinspirasi dari the Break Up, saya tidak tahu.
Kealamian kisah dalam film Milly dan Mamet adalah kekuatannya. Orang lain akan bilang komedinya kuat sekali tetapi menurut saya, komedi itu adalah konsekuensi dari penyajian kisah yang sangat alami. Kelucuan, seperti juga kesedihan, adalah hasil dari proses alami. Kita tidak selalu bisa merancang hidup kita lucu atau sedih, gembira atau berduka. Kelucuan adalah hasil dari proses alami. Kesedihan juga demikian. Menurut saya, Ernest tidak memaksakan kelucuan dalam filmnya. Dia menyajikan potongan kisah secara alami dan kelucuan lahir sebagai konsekuensi universal. Saya percaya, setiap orang mengalami kisah lucu, sedih atau menjengkelkan dalam hidupnya. Jika itu disajikan apa adanya dengan cara yang cerdas, maka lahirlah Milly dan Mamet.
Saya selalu percaya, karya yang baik adalah karya yang bisa membuat penikmatnya merasa dekat dengan karya tersebut. Baik buruk adalah perihal yang sangat subjectif. Maka kekuatan Milly dan Mamet adalah karena film ini sangat relatable, terutama bagi pasangan muda di Indonesia.
Nampak jelas film ini disiapkan dengan riset yang sangat baik. Dialog, kejadian, pertengkaran, kekonyolan dan masih banyak lagi, disajikan dengan cara yang sangat alami. Saya yang sudah berkeluarga cukup lama bisa melihat betapa film ini sangat rinci dalam menggambarkan pasangan muda di Indonesia. Banyak yang mungkin tidak menyangka bahwa kondisi toilet dan kamar mandi bisa jadi alasan pertengkaran hebat antar suami istri. Sesuatu yang tadinya mungkin dianggap, dalam bahasanya Rangga, “kurang prinsipil”.
Saya sangat senang karena sumber konflik utama di film ini bukanlah topik konvensional seperti hadirnya orang ketiga atau perselingkuhan. Ini topik yang terlalu mainstream dan sepertinya Ernest tidak ingin terjebak dalam arus utama itu. Meski demikian, tak bisa dipungkiri bahwa topik itu memang sangat umum mewarnai kehidupan rumah tangga. Maka Ernest juga menghadirkannya dengan sangat halus namun tidak sampai menjelma menjadi sumber konflik utama. Dengan begini, penonton diajak untuk sadar bahwa sumber masalah besar bisa jadi adalah hal-hal yang tadinya dianggap kecil. Karena dianggap kecil, masalah itu lupa diantisipasi dan akhirnya bisa menjadi sumber kekacauan utama.
Meski hadir alami, komedi adalah unsur kuat dalam film Milly dan Mamet. Tentu saja, karena ini adalah tentang dua tokoh paling lucu dan konyol dari Semesta AADC. Tidak mungkin untuk tidak menghadirkan kelucuan pada film ini. Yang menarik untuk diamati justru bukan saja kelucuannya tetapi haru biru yang selalu menjadi ciri khas Ernest. Bagaimana hal itu akan dihadirkan di Milly dan Mamet? Saya bertanya-tanya akan hal itu dari awal dan khawatir jika itu tidak berhasil dihadirkan.
Untunglah jam terbang Ernest sangat cukup untuk menghadirkan ciri khasnya yang kuat. Explorasinya terhadap hal-hal yang ‘kecil’ namun ‘relatable’ adalah modal Ernest untuk menghadirkan sentuhan haru biru yang dibutuhkan. Kecemburuan kecil yang tidak terbukti, perbedaan pandangan soal hal-hal remeh-temeh, konflik dengan mertua yang memang umum terjadi pada pasangan suami istri, hingga perbedaan pandangan terkait hal yang lebih serius seperti kejahatan ekonomi, korupsi dan pencucian uang, menjadi bahan adonan yang ciamik untuk menghadirkan konflik berembel-embel haru biru.
Yang juga sangat memukau dari Milly dan Mamet adalah kemampuan Ernest dan Meira untuk menghadirkan interaksi konflik yang begitu alami. Jika kita terbuka dengan berbagai gagasan yang ada di film itu, setiap penonton akan bisa jadi Mamet, bisa juga jadi Milly. Ketika mereka berkonflik, penonton diberi kekuasaan untuk memahami keduanya dan tidak ada salah satu yang pasti salah atau pasti benar. Hal inilah yang justru membuat konfliknya terasa kuat, tidak dangkal. Pada kenyataannya, setiap orang memang merasa benar dan memiliki pembelaan yang kuat terhadap kebenaran yang diyakininya. Dalam hal ini, tidak ada penjahat murni, tidak ada juga pahlawan murni. Seperti halnya hidup manusia kebanyakan.
Konflik yang terjadi pada pihak-pihak yang ‘tidak jelas’ posisi kebenaran atau kesalahannya inilah yang menjadikan konflik di Milly dan Mamet terasa begitu alami dan kuat. Setiap penonton akan dengan mudah mengaitkan dirinya dengan setiap situasi yang ada di sana. Hal ini berbeda dengan sinetron, misalnya, yang begitu jelas melakukan pemisahan antara jahat dan benar atau putih dan hitam. Konflik dalam Milly dan Mamet tidak setegas itu tetapi itu justru yang membuatnya jadi rumit dan seru.
Mamet sendiri tampil layaknya lelaki biasa yang memiliki ego tetapi juga secara alami berhati baik. Keculunannya yang merupakan ciri khas di AADC 1 kadang masih dihadirkan lewat sikap dan kepolosan dialognya. Yang paling juara adalah ketika terjadi dialog mendalam antara Milly dan Mamet terkait hubungan suami dan istri. Ketika Milly mengatakan “kalau orang lain mencari suami yang ganteng, aku mah yang baik”, Mamet dengan tanpa berdosa bertanya “tapi aku nggak jelek-jelek amat kan?”. Dialog ini menjadi kombinasi juara antara haru biru dan komendi khas Ernest Prakasa. Di sisi lain, Mamet juga dihadirkan dengan kecerdasan yang memukau, terutama ketika berurusan dengan masakan. Kalimat Mamet “aku cuma cinta kamu, Sakti dan masak” menegaskan asal-muasal kesaktian Mamet itu.
Harus diakui, iklan produk memang hadir di Milly dan Mamet tetapi menurut saya Ernest berhasil menyamarkannya dengan apik. Iklan terasa begitu alami menyatu dengan keseluruhan cerita sehingga tidak mengganggu. Namun, bahwa kenyataannya saya masih bisa mengetahuinya, ini adalah pertanda iklannya masih bisa disimak, meskipun tidak vulgar.
Milly dan Mamet adalah film untuk orang-orang yang mengikuti perkembangan media sosial. Instagram adalah pelengkap menu utama film ini, termasuk dengan riuh rendah fenomena endorse dan perilaku netijen yang alay. Seperti cerita-cerita fan fiction yang kadang saya baca dari Lita, anak saya, posting gambar atau video di Instagram menjadi bagian penting yang membuat cerita bisa menjadi utuh atau setidaknya sekedar membuat Milly dan Mamet menjadi sebuah cerita tentang kenyataan sehari-hari yang dekat dengan penonton. Meski begitu, saya selalu membayangkan, jika Ibu dan Bapak saya menonton film itu, pastilah mereka akan tersesesat di sebuah dunia yang asing dan tak bisa mereka pahami.
Kehadiran Genk Cinta di film ini menempati proporsi yang pas dan tepat. Tentu saja Milly dan Mamet tidak bisa lepas dari Genk Cinta dan pergujingan tentang Rangga. Semua itu hadir secara halus, tidak mengganggu tetapi tegas ada dan membuat penonton bisa melambungkan kembali ingatannya ke masa lalu. Bagaimana pun juga, basis utama penonton Milly dan Mamet tentu saja pemuja AADC. Mereka harus juga dimanjakan dengan ingatan tentang Cinta dan Rangga. Ernest dan Meira berhasil melakukan ini dengan baik tanpa membuat peonton ketergantungan.
Review ini bisa sangat panjang tetapi mungkin tidak semuanya penting. Kesimpulan saya, Milly dan Mamet memang bukan Cinta dan Rangga. Apakah ini buruk dan berarti kualitasnya jauh dari AADC? Sama sekali tidak. Justru Milly dan Mamet berhasil menjadi sebuah film mandiri, membuat sub semestanya sendiri tanpa banyak bergantung pada Semesta AADC. Ibarat baju, Milly dan Mamet menggunakan bahan-bahan yang sama dan yang sudah kita ketahui dari AADC. Ernest melakukan kombinasi dan padu padan yang sesuai. Dia menjahit bahan-bahan itu dengan baik. Seperti yang dikatakan di akhir film itu, yang Ernest dan Meira lakukan dengan baik di film itu adalah JAHIT.
Wah ternyata Pak Andi nonton film ini juga 🙂
Saya dan suami juga setelah nonton ini sepakat ini film bagus dan perlu ditonton oleh suami istri, terutama keluarga muda. Win win solution yang dihasilkan seharusnya menenangkan, tidak mengorbankan satu dan lainnya. 🙂
bagus ga pak filmnya?
senangnya bisa nonton sekeluarga. keluarga yang harmonis
inspiratif pak
Makasih ya …