Menemukan Bakat Anak Murid


Hari itu saya menerima seorang mahasiswa di ruangan saya. Dia berkonsultasi terkait mata kuliah yang akan diambilnya pada semester mendatang. Ada keraguan saya tangkap dari gerak-geriknya ketika berdiskusi. Pasalnya bisa diduga, nilainya tidak memuaskan. Bukan soal memuaskan saya sebagai dosen wali, nilai itu dirasa tidak memuaskan dirinya. IP-nya tidak sesuai dengan target pribadinya sehingga dia merasa kurang nyaman.

Saya punya banyak waktu hari itu sehingga sempat melayaninya agak lama, bercakap-cakap tentang banyak topik yang tidak selalu terkait dengan akademik. Saya mulai bertanya soal hobinya, soal kebiasaannya dan soal kegiatannya di luar jam kuliah. Dia seorang pelukis dan itu mengejutkan saya. Tidak banyak mahasiswa saya yang memiliki ketertarikan, apalagi keterampilan, melukis. Dia salah satu yang menurut saya istimewa.

“Ada contohnya?” saya tanya suatu ketika. Sejurus kemudian dia menunjukkan beberapa gambar di HP-nya. Saya tertegun dan kagum seketika. Karyanya jelas menunjukkan keterampilan yang professional, tidak hanya sekedar hobi yang iseng sifatnya. “Kamu punya IG?” tanya saya berikutnya dan beberapa detik berikutnya saya sudah menikmati karya-karyanya yang memang dipajang di Instagram. Saya menikmati gambar-gambar hasil karyanya itu. Ada belasan kalau tidak puluhan karya hasil lukisannya. Dia beraliran surealis, yang kira-kira bermakna dramatisasi dari fakta. Lukisan wajah hasil karyanya diinspirasi oleh foto wajah seseorang tetapi itu memang bukan lukisan wajah sesuai aslinya. Sekali lagi, surealis.

Tiba-tiba dia menyampaikan respon ibunya atas hobinya itu. Konon ibunya merasa bahwa hobi melukisnya itu menjadi biang keladi nilainya yang tidak maksimal. Bahkan, saya menangkap bahwa ibunya khawatir, jika dia meneruskan hobi melukisnya maka dia bisa gagal dalam pendidikan formalnya. Hobinya itu, menurut ibunya, telah menyita waktu dan perhatiannya sehingga konsentrasi belajarnya terganggu. Itulah penyebab IP-nya yang kurang memuaskan.

“Kamu dibayar berapa untuk menghasilkan sebuah lukisan seperti ini?” saya tanya ketika melihat sebuah lukisan wajah yang menurut saya sangat bagus. “Empat sampai lima juta Pak” jawabnya tenang. Karya yang diselesaikan dalam seminggu itu membuatnya bisa dibayar lima juta. Saya cukup terkesan. “Kalau model begini?” tanya saya lagi ketika melihat lukisan wajah gaya WPAP. Model wajah WPAP belakangan ini menjadi trend [lagi]. Lukisan wajah yang seakan tidak harmoni dan kaku dengan blok-blok warna kontras itu cukup menarik perhatian saya. Di Instagramnya ada cukup banyak gambar demikian dan rupanya itu salah satu keahliannya. “Kalau itu sekitar 150 sampai 250 ribu Pak. Tergantung kerumitannya” katanya tegas. “Sudah dengan bingkai?” kejar saya lagi. “Ya Pak, sudah termasuk bingkainya.”

andiWPAP
Saya dan Lukisan gaya WPAP karya Wiby

Saya ingat lagi ceritanya bahwa ibunya merasa hobi itu tidak perlu diteruskan karena membuat IPnya tidak sempurna. Nilai formal kuliah yang tidak maksimal menjadi alasan bagi ibunya untuk ‘menghalanginya’ melukis. Ingatan saya melayang pada film-film tema lama. Sebuah kisah klasik. Nampak jelas, dia merasa bersalah karena telah membuat ibunya tidak bahagia dengan pencapaian akademiknya. Ada kesedihan membayang dan kesan dilemma yang kuat.

“Kamu nonton film Three Idiots?” tanya saya memecah suasana yang menjadi sedikit muram. “Ya Pak!” katanya mantap. “Ingat apa terjadi pada bapaknya Farhan?” saya lanjutkan. Dia agak ragu dan berusaha menebak-nebak apa yang saya maksudkan. Saya lanjutkan “Farhan punya hobi fotografi binatang. Kita tahu itu dari awal film. Sayangnya bapaknya tidak setuju dan memaksanya untuk menjadi seorang insinyur. Farhan bisa masuk teknis tetapi dia tidak berprestasi maksimal karena jiwanya tidak di situ. Sementara itu bapaknya tetap bersikukuh. Tapi kamu ingat apa yang terjadi di akhir cerita? Bapaknya membelikannya sebuah kamera. Pada adegan yang mengharukan itu, kita diajarkan bahwa orang tua pada akhirnya ingin mendukung anaknya jika mereka sudah teryakinkan bahwa si anak tahu betul apa yang dia mau.”

Mahasiswa itu tertegun, seperti memahami sesuatu. “Tugasmu bukan untuk membuktikan bahwa ibumu salah. Tugasmu bukan melawan mereka. Tugasmu hanya satu, menunjukkan kepada mereka bahwa apa yang kamu lakukan itu baik dan bisa menjadikanmu orang yang bisa hidup mandiri di masa depan. Tugasmu adalah menyingkirkan kekhawatiran mereka akan masa depan anaknya.” Saya berhenti sesaat dan memperhatikan reaksinya yang seperti bercampur antara senang, khawatir dan penuh harap.

“Kamu bisa buatkan saya satu gambar wajah model WPAP?” tanya saya tiba-tiba. “Bisa Pak!” katanya agak ragu karena tidak yakin bahwa saya memang memintanya melukis. “Saya akan bayar karena kamu professional” kata saya sambil tersenyum dan itu dibalas dengan wajah tak menentu. “Tunjukkan pada ibumu saat kamu membuat gambar saya, mungkin beliau akan berubah pikiran” pesan saya mengakhiri.

Konon tugas guru bukanlah memintarkan anak muridnya tetapi menyadarkan mereka akan potensinya sehingga kemudian si murid bisa mencapai keberhasilan dengan potensi itu. Menyetujui Andrea Hirata, tugas guru adalah “menemukan bakat” anak muridnya. Tujuan utama pendidikan, kata Malcolm Forbes, bukanlah mengisi kepala yang kosong dengan ilmu, tetapi menggantinya dengan kepala yang terbuka. Nasihat Forbes ini mungkin tidak berpengaruh banyak pada mahasiswa saya tetapi rupanya berdampak pada ibunya. Setidaknya itu yang saya tangkap ketika beberapa hari berikutnya dia menyerahkan sebuah potret wajah saya dalam gaya WPAP. Ada keterbukaan pandangan pada beliau.

Mahasiswa saya ini bernama Wiby. Karya-karyanya dipajang di akun IG-nya @WibySP. Kisanya adalah kisah klasik tapi, seperti kata Sheila On Seven, itu “Sebuah Kisah Klasik untuk Masa Depan”.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

5 thoughts on “Menemukan Bakat Anak Murid”

  1. Wah, salam untuk Wibi, semoga bakat melukisnya terus berkembang dan bisa membuat bangga orang tua, di kemudian hari.

  2. Wah, salam untuk Wibi, semoga bakat melukisnya terus berkembang dan bisa membuat bangga orang tua, di kemudian hari.

  3. Bapak dan Wiby sama sama saling menemukan. Bapak menemukan bakat anak murid, Wiby menemukan ‘guru’ yg sebenarnya; yg tidak menilai murid hanya dari angka angka ^_^

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: