Rahasia di Balik Kedatangan Hassan Wirajuda


Alumni Teknik Geodesi UGM akhirnya bersikap atas silang sengkarut Laut Tiongkok Selatan. Kehebohan media tentang kedatangan kapal nelayan Tiongkok yang ‘mencuri’ ikan di perairan dekat Natuna, terjadinya insiden yang melibatkan petugas Indonesia, ‘provokasi’ petugas Tiongkok yang seakan tidak mengindahkan peringatan Indonesia menjadi warna yang membuat media masa hingar bingar. Suasana memang memanas, terutama pada bulan Maret hingga Juni 2016 dan media memberitakan dengan gegap gempita. Persoalannya, tidak banyak yang benar-benar paham duduk perkaranya.

Adalah Keluarga Alumni Teknik Geodesi (Katdesi) yang kemudian ingin memfasilitasi proses belajar perihal kasus atau sengketa ini. Maka disusunlah rencana dan strategi mulai digelar. Tak tanggung-tanggung, pembicara ternama hendak didatangkan. Pakar Hukum Internasional yang merupakan legenda hidup isu LTS, Prof. Hasjim Djalal, langsung didaulat untuk memberi pencerahan. Tak cukup dengan Sang Legenda, Ibu Menteri Retno LP Marsudi pun didapuk menjadi pembicara kunci.

Melalui perjuangan yang tidak mudah, kedua tokoh nan penting itu menyanggupi hadir. Sebuah komitmen yang luar biasa dan itu menghadirkan euphoria membumbung tinggi di kalangan anggota Katdesi dan Departemen Teknik Geodesi UGM. Betapa tidak, dua tokoh kunci Indonesia dalam sengketa LTS dan Diplomasi Luar Negeri menyatakan komitmennya untuk hadir. Sementara itu, mewakili kalangan kampus, saya diminta untuk menjadi pendampingi dua tokoh terkemuka itu. Tentu saja ini sebuah kehormatan, saya akan manfaatkan kesempatan itu untuk belajar sebanyak mungkin.

Panitia bergerak cepat, donasi digalang dengan hebat, acara ditata dengan sigap. Semua bahu-membahu dengan sukarela. Yang senior memberi nasihat bijaksana, yang muda menggelar kreativisme hingga nanti paripurna. Alumni dan kampus bergandengan tangan menyumbangkan potongan-potongan kontribusi hingga nanti jadi karya yang mengukuhkan niat dan ambisi. Percakapan lewat Grup WA mengalir deras, semua menunjukkan geliat kontribusi yang bernas.

Hingga sehari sebelum Hari H, sebuah tragedi terjadi. Ibu Menteri dengan menyesal membatalkan kehadiran beliau. Alasannya tidak bisa dibantah: mendampingi Presiden Joko Widodo untuk berkunjung dan melakukan rapat terbatas di Natuna. Presiden memandang pentingnya isu LTS dan kedudukan Natuna sehingga beliau memutuskan untuk datang dan hadir di inti jantung persoalan. Tentu tidak ada yang bisa dan boleh membantah. Diskusi yang digelar oleh Katdesi tentang LTS jelas tidak lebih penting dari kehadiran Presiden Republik Indonesia untuk menyentuh langsung persoalan LTS itu dari tanah Natuna.

Siapa yang akan menggantikan Ibu Menteri? Berbagai nama diusulkan. Grup WA riuh rendah dengan berbagai gagasan. Satu per satu nama disodorkan dan satu per satu pula tumbang mengenaskan karena berbagai halangan. Di situlah muncul untuk pertama kalinya nama seorang yang punya ‘otoritas’ terkait LTS. Beliau tidak lain dan tidak bukan adalah Dr. Nur Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia 2001-2009. Pak Hassan adalah seorang diplomat senior yang memiliki segudang pengalaman. Beliau juga seorang akademisi dengan gelar akademik berkelas dari institusi mentereng serupa Harvard dan Oxford. Kapasitas akademiknya melebihi harapan, kemampuan diplomasinya tak perlu diragukan. Mendatangkan Pak Hassan untuk menggantikan Bu Menlu adalah pilihan yang tak akan dipertanyakan.

Bagaimana caranya?
Saya meraih HP yang tergeletak di dekat monitor komputer di kantor yang sudah sepi. Pukul 19.33 tertera di layar dan saya sampaikan gagasan ini kepada panitia Katdesi yang mungkin mulai menurun harapannya. Tentu saja semua setuju tetapi tidak ada yang tahu bagaiamana cara mendatangkan Pak Hassan esok hari dengan sisa waktu beberapa jam saja. Sementara itu rilis pers dan hal-hal lain menunggu untuk diselesaikan.

Saya pandangi layar HP yang menampilkan sebuah kontak “Hassan Wirajuda” dengan nomor HP dan email. Jari saya ragu-ragu untuk menyentuh tanda ‘call’ pada kontak itu. Saya punya nomor Pak Hassan dan cukup sering berkomunikasi dengan beliau. Hanya saja, dengan situasi yang sudah larut dan fakta bahwa beliau diundang untuk mengantikan Ibu Menlu membuat keraguan itu hadir. Rasanya tidak etis saya tiba-tiba menghubungi beliau malam hari dan meminta untuk hadir mengantikan seorang pejabat. Jika tidak disampaikan dengan baik, ini bisa menjadi sebuah insiden diplomatik yang merusak hubungan baik. Saya urungkan niat itu dengan segudang rasa penasaran yang masih bercokol di kepala.

TIba-tiba saya mengingat seseorang: Duta Besar Artauli Tobing. Beliau adalah seorang diplomat senior yang dekat dengan Pak Hassan dan pernah membantu saya saat mendatangkan Pak Hassan ke UGM beberapa bulan silam. Saya juga bertemu Bu Artauli di Padang ketika sama-sama menjadi moderator sebuah konferensi internasional terkait kelautan. Beliau adalah harapan saya satu-satunya. Pukul 19.44 saya menulis sebuah email untuk menceritakan duduk perkaranya dan niat saya untuk mengundang Pak Hassan. Saya ceritakan apa adanya dan sekaligus kegelisahan saya serta keraguan yang ada. Dengan cerita yang jujur itu, saya harap Bu Artauli memahami dan berkenan membantu. Saya tutup email itu dengan kalimat “Mohon berkenan memberi pertimbangan dan membantu jika memang dimungkinkan.” Selanjutnya saya lupakan dan tenggelam dalam penyelesaian rilis pers termasuk menyempurnakan presentasi saya sendiri untuk esok hari. Datang ataupun tidak Pak Hassan, saya tetap harus manggung dan Pak Hasjim Djalal sudah menegaskan komitmennya.

Pada pukul 20.13 saya menerima email singkat dari Ibu Artauli dengan pesan “Yth. Pak Andi, sebentar ya saya akan tanya Pak Hassan.” Meskipun masih jauh dari ujung cerita, email singkat itu berhasil memberikan setitik harapan. Saya masih menyimpan berita itu sendiri, takut memberi harapan terlalu besar kepada teman-teman lain dan akhirnya mengecewakan. Kerja masih banyak dan banyak hal yang harus diselesaikan. Sementara itu kantor makin sepi, saya sendiri. Benar-benar sendiri.

Pukul 21.29 ada WA call masuk dan saya perhatikan nama yang tidak asing: Artauli. Dengan perasaan berdebar saya terima pesan itu dan terdengarlah berita menyentak itu “Pak Hassan bisa hadir besok Pak.” Perkataan Ibu Artauli seperti memecah kesunyian ruang kantor yang dingin dan sepi. Saya bersorak dalam hati tetapi berusaha menguasai diri agar suasana tenang. Sejurus kemudian terjadilah percakapan teknis yang rinci soal kedatangan Pak Hassan di acara kami esok hari.

Pukul 21.37 saya mengirimkan pesan singkat ke Grup WA panitia “STOP PRESS! Mantan Menlu Hassan Wirajuda berkenan hadir :)” dan disambut sukacita kawan-kawan lainnya. Berbagai ucapan syukur dan selamat mengalir. Tentu saja ini keberhasilan semua panitia. Energi teman-teman alumni yang besar dan positif membuat saya selaku pihak kampus tidak ingin mengecewakan. Maka usaha terbaik dilakukan, energi maksimal dikerahkan. Hasilnya memang tidak sia-sia.

Sore hari, 23 Juni 2016, Menara Global, Jakarta
Dan di depan duduk dengan tenang Dr. Nur Hassan Wirajuda, Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Periode 2001-2009. Dari mulut beliau mengalir cerita kaya makna tentang Laut Tiongkok Selatan. Ada sejarah yang mencerahkan, ada ketentuan hukum yang rumit, ada pengalaman diplomasi yang membumi. Sementara itu di depannya puluhan pasang mata mengamati dengan seksama. Alumni Teknik Geodesi UGM sedang menyimak penuturan seorang diplomat senior soal silang sengkarut Laut Tiongkok Selatan. Tidak jauh dari situ, saya duduk dengan tersenyum. Sebuah senyum kelegaan.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

4 thoughts on “Rahasia di Balik Kedatangan Hassan Wirajuda”

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: