Tambal Ban


Mbak Jumirah meringkuk di pal depan warung yang sudah tutup paripurna. Nafasnya naik turun agak tergesa, pertanda tak pulas tidurnya. Sekali waktu kelopak matanya berkerjap-kerjap seiring riuh rendah suara mobil dan motor yang melintas beberapa meter darinya. Tak jauh dari situ, asap mengepul dari tumpukan kacang rebus dan jagung yang berdesakan berebut ruang di sebuah gerobak hijau yang nampak tua. Di sela-sela jagung dan kacang rebus itu, menyelusup talas rebus yang pucat pasi tak bergairah. Kepulan asap tipis itu begitu malas, semalas gerak kelopak mata Mbak Jumirah yang masih meringkuk tak terganggu. Remang cahaya lampu TL yang menggantung di bawah atap seng yang sudah tua mengenaskan, bersusah payah menerangi emperan warung yang kini berubah menjadi bengkel tambal ban.

Dua meter dari Mbak Jumirah, Mas Karyo tekun membongkar ban dalam pelanggan yang naas nasibnya malam itu. Bannya gembos di saat yang tidak tepat, perjalanan terhenti dan waktu seakan tidak peduli. Di pojok yang remang aku duduk di kursi plastik tua. Lantai bengkel yang tidak rata membuat kursi condong tak tegap dan terhuyung ketika tubuhku terhempas di atasnya.

Temaram malam di dekat rel roli itu masih menyisakan debu beterbangan yang khas aromanya. Sekumpulan anak muda yang berlalu berkelakar satu sama lain bergegas menuju warung pinggir jalan yang nampak ramai. Dari kejauhan aku lihat seorang lelaki memasak dengan semangat. Paparan cahaya api menerangi wajahnya yang berkeringat. Lengan kekarnya trengginas mengayunkan sendok pengaduk nasi goreng, memadukan kecap, saos, bumbu yang sebentar lagi lebur mencipta kenikmatan. Satu dua orang anak muda menungu dengan malas, memainkan piranti cerdas di tangannya. Generasi-generasi penunduk yang tubuhnya ada di sini tetapi tidak jiwanya.

Mbak Jumirah masih meringkuk namun awas. Setiap ada pembeli jagung rebus, dia berkelebat bangun dan melayani tanpa ragu. Sejurus kemudian, meringkuk lagi. Tidak ada hal istimewa antara tidur dan terjaga, seakan keduanya tanpa sekat. Mbak Jumirah juga tak risau ketika seorang pelanggan berceloteh kesal karena talasnya membuat gatal mulut pembeli. Tak ada maaf, tak ada penggantian talas, tak ada praktik layanan prima ala customer service. Mbak Jumirah meringkuk kembali. Seakan dia tahu betul ucapan masyur itu, bahwa “kata-kata tak melukaiku, kecuali aku mengizinkannya.”

Aku masih melihat Mas Karyo yang takzim bekerja. Keringatnya bercucuran tanda semangat. Sementara itu, pelanggannya sabar menanti, turut membantu menerangi dengan piranti cerdasnya. Di pojok lainnya, Mbak Jumirah masih meringkuk. Samar terdengar dengkur halus dari tidurnya yang nampak lebih lelap dari sebelumnya. Mbak Jumirah tak risau akan hidup. Dia tidak tahu, ada seorang lelaki yang duduk tak jauh darinya dan sibuk berpikir tentang Masyarakat Ekonomi ASEAN, globalisasi, internasionalisasi dan kerjasama lintas negara. Mas Karyo dan Mbak Jumirah tentu tak tahu itu, maka hidupnya tenteram sentosa.

Malam di dekat Stasiun Lempuyangan Jogja, 27 April 2016
Menemani Pak Agus (KUI UGM) yang lagi nambal ban 🙂

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

2 thoughts on “Tambal Ban”

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Twitter picture

You are commenting using your Twitter account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: