
Di penghujung Januari 2012, saya terbang dari Australia ke Kuala Lumpur untuk selanjutnya menuju Manila. Perjalanan terasa sangat panjang, terutama karena saya sedang kurang sehat. Sudah beberapa hari sebelumnya saya pilek agak berat. Perjalanan jauh dari Indonesia ke Australia sebelumnya membuat saya lelah. Akibatnya, pilek menyerang tanpa ampun. Perjalanan ke Kuala Lumpur ini terasa semakin lama.
Untuk melewatkan waktu, tanpa semangat saya memilih film untuk ditonton dari layar pribadi di depan tempat duduk saya. Saya memilih Midnight in Paris, yang beberapa hari sebelumnya saya dengar ramai dibicarakan. Perpaduan antara deru mesin pesawat yang lumayan kencang, pendengaran bahasa Inggris saya yang tidak sempurna dan pilek yang cukup berat membuat pemahaman saya terhadap film itu tidak memuaskan. Meski begitu ada satu hal yang saya rekam dengan baik, bahwa orang memiliki kecenderungan untuk bernostalgia. Tokoh utama dalam film itu membayangkan bahwa Paris di tahun 1920 adalah masa yang luar biasa hebat. Maka dari itu dia ingin menulis novel berlatar belakang Paris di tahun 1920, biarpun dia berasal dari masa kini.
Dalam pengembaraan magisnya, si tokoh utama melakukan perjalanan waktu ke masa lampau dan bertemu tokoh-tokoh penulis yang dikaguminya. Menariknya tokoh-tokoh masa lalu itu ternyata juga memiliki bayangan serupa bahwa masa keemasan, golden age, adalah di masa yang lebih lalu lagi. Di waktu dan zaman berbeda, ternyata orang-orang memiliki kebiasaan yang sama yaitu bernostalgia: mengenang dan bahkan memuji masa lalu.
Di kesempatan lain saat acara makan malam santai, saya bercakap-cakap dengan beberapa kawan dari Ghana, Thailand, Fiji, Niue, Brazil, Kenya, Switzerland, dan Filipina. Kawan dari Ghana menyampaikan suatu cerita yang menarik. Dia mengeluhkan, anak-anak zaman sekarang di Ghana sudah tidak bisa lagi melakukan permainan tradisional yang pada zaman dia kecil sangat populer. “Anak-anak sekarang begitu manja” katanya. Cerita ini terasa tidak asing di telinga saya karena orag-orang Indonesia kerap mengatakan hal yang sama. Cerita begini biasanya ditambahi dengan ucapan “zaman saya kecil, kita terbiasa dengan bla bla bla.. beda dengan anak sekarang yang serba instan”. Kawan Ghana ini tidak jauh beda usianya dengan saya.
Yang lebih menarik perhatian saya justru apa yang terjadi di tahun 80an awal ketika saya bercakap-cakap dengan Bapak dan Ibu saya. “Waktu Bapak kecil”, demikian Bapak saya memulai cerita. Intinya beliau menceritakan betapa masa kecilnya sangat luar biasa karena berjuang dan miskin. Selalu saja ada tambahan “tidak seperti anak-anak sekarang yang apa-apa sudah tersedia”. Ternyata ucapan antargenerasi itu sama saja. Inti dari percapakan tahun 80an, tahun 90an dan 2000an tidak banyak berubah. Selalu saja ada generasi yang ‘membanggakan’ zamannya seraya ‘mengecilkan’ generasi berikutnya. Sadar ataupun tidak.
Orang kadang melihat masa lalu dan kemudian memberi pujian. Orang di berbagai masa melakukan hal yang sama dengan mengatakan “anak muda tidak tahu adat” dan “orang tua terlalu kaku dan tidak mengikuti perkembangan zaman”. Tidak peduli dari zaman mana dia berasal, pandangan ini, entah mengapa, seakan seragam. Ketika orang dari masa kini merasa bahwa Paris yang diguyur hujan di tahun 1920an adalah sesuatu yang paling Indah, maka mereka yang dari tahun 1920 merasa bahwa masa keemasan terjadi jauh sebelum itu. Saat seorang berusia 30an di tahun 2012 mengatakan “anak-anak zaman sekarang tidak tahu sopan santun”, ternyata orang yang sama pernah dituduh “tidak tahu adat” oleh para ‘orang dewasa’ di tahun 1996. Waktu boleh berjalan dan peradaban boleh menklaim modernisasi tetapi ada banyak hal yang sesungguhnya tak beranjak ke mana-mana.
apakah perbuatan generasi tua itu merupakan refleksi dari apa yg dulu dikatakan orang tua mereka? kejadian selalu berulang, seperti balas dendam..
Sesuatu yang tidak disadari sebagian besar orang mas Andi.
sepertinya banyak yang terjebak di nyamannya romantisme masa lalu pak
Menarik bli..
Jadi sebenarnya ada nilai mutlak salah atau benarnya ga? dalam artian sebaiknya kita tidak perlu mempersoalkan zaman.. tidak usah saling merasa lebih baik di jaman hidupnya masing2.. 😀
Soalnya saya juga sering bilang gitu.. 😀
Saya suka jaman 1990-an awal.. hehehe
Saya kira sih tidak mutlak… mungkin ini yg namanya berusaha memahami antar generasi Mas 🙂 Kita boleh saja mual2 melihat K-Pop, tapi anak2 muda sekarang memujanya… mereka mungkin pusing disuguni Guns ‘n Roses, we never know 😉
benar Maz Andi , tak ada yang berubah , jikapun ada itu tidak esensi = Waktu boleh berjalan dan peradaban boleh menklaim modernisasi tetapi ada banyak hal yang sesungguhnya tak beranjak ke mana-mana.
Setuju Pak. Semua berulang, dan seringkali secara budaya kita selalu mencari kesalahan, tanpa ada sebuah usaha untuk mencari ada apa/mengapa ini terjadi. Menurut saya tepatnya (mensitir dari William N. Dunn) kita terlalu rajin mencari solusi tanpa adanya upaya keras mencari apa yang terjadi.
Inilah gambaran yang memang terjadi di Indonesia, bahkan diberbagai belahan dunia. Semua berangkat pada paradigm dan diskursus yang dibangun dan dibawa oleh pribadi.
hehe mantap Pak..