
Made Kondang tak banyak paham soal psikologi hubungan mertua dan menantu. Yang pasti diketahuinya, Men Dagdag, tetangganya, dan menantunya sering ribut, bertengkar sampai menghebohkan seisi desa. Agak jauh dari rumahnya, Men Koplar tak beda perangainya dengan mantunya. Urusan uyah lengis tak urung jadi bahan pertengkaran. Sampai-sampai Kondang hampir percaya, mertua dan menantu mungkin memang seharusnya begitu.
Mendengar istrinya bercakap-cakap dekat tungku pagi ini dengan ibunya, Kondang merasa nyaman. Entah apa pasalnya, Kondang merasa ada kedamaian yang mengalir dari mulut kedua perempuan itu yang bercakap-cakap saling menghormati. Yang tua bijaksana dengan pengalamannya, yang muda pun tidak angkuh dengan dunia barunya. Kondang yang meneguk kopi tak jauh dari mereka terharu perasaannya. Mungkin tak bisa Kondang manjakan ibunya dengan harta, tapi tiba-tiba saja Kondang merasa telah menjadi anak yang baik. Jika betul surga itu ada dan Kondang memang ingin ke sana, maka jalan sepertinya telah digelar oleh dua perempuan yang bercakap-cakap dekat tungku itu.
Seorang pasangan mungkin bukan hanya bertemu dalam rasa yang sama, namun mampu saling mengisi dengan memberi segenap kasih yang tak henti-henti tercurahkan, sehingga setiap tempat yang tersentuh menjadi penuh kehidupan 🙂