Perjalanan saya dengan kereta api Gajayana dari Malang ke Jogja beberapa waktu lalu terasa menyenangkan. Meskipun akhirnya tiba di Stasiun Tugu Yogyakarta jam 11 malam, perjalanan itu terasa cepat. Pasalnya di sepanjang perjalanan saya membaca buku yang sangat menarik. Malang, telusuri dengan hati, begitu judul buku tersebut. Buku bertebal 200 halaman ini sebenarnya adalah buku tentang sejarah Malang. Berbeda dengan buku sejarah pada umumnya yang dipenuhi huruf berjejal membosankan, buku ini memikat dengan foto dan gambar warna-warni yang memenuhi hampir setiap halaman. Meski demikian, kekuatan deskripsinya nampak jelas dengan keseriusan penelusuran sumber sejarah yang bisa dirasakan.
Tampil beda. Itulah yang saya rasakan ketika pertama melihat buku ini yang dibeli dari sebuah restoran bernuansa tradisional di Malang. Penulisnya, Dwi Cahyono, yang bukan seorang sejarahwan sesungguhnya bisa menjadi titik lemah karena buku ini bukan merupakan karya seorang ahli di bidangnya. Meski demikian, ”ketidakahlian” ini justru bisa menjelma menjadi sesuatu yang segar, bebas dan kreatif. Dwi Cahyono mampu menghadirkan sejarah, tidak saja dalam deskripsi kata-kata, tetapi juga melalui gambar dan foto yang bahkan banyak diantaranya diabadikannya sendiri. Gambar yang menarik dan deskripsi kata-kata yang padat merupakan kombinasi unik yang akhirnya mampu menghadirkan fakta sejarah dengan lebih komprehensif. Foto-foto yang terpampang bahkan sering sekali menunjukkan masa yang berbeda. Sebuah gedung bersejarah, misalnya, dihadirkan buku ini dengan satu foto kuno dan satu foto modern. Kombinasi keduanya mengisahkan sejarah tanpa kata-kata tetapi sarat makna karena dari dua foto beda masa inilah sejarah sesungguhnya terlihat.
Yang juga menarik, buku ini dilengkapi dengan peta, baik yang baru maupun yang kuno, sebagai ilustrasi maupun untuk menunjukkan suatu lokasi. Keberhasilan Dwi Cahyono menghadirkan peta-peta kuno Kota Malang adalah salah satu bukti lain ketekunan penelusurannya akan bukti sejarah. Tentu tidak mudah mendapatkan peta kuno Kota Malang buatan Belanda, misalnya. Selain peta kuno, buku ini juga mendeskripsikan suatu lokasi dengan koordinat (lintang dan bujur) bersistem global sehingga bisa dilacak dengan Global Positioning System, sebuah sistem navigasi berbasis satelit. Para petualang atau pehobi yang memiliki receiver GPS yang mulai populer saat ini bisa menemukan tempat-tempat yang dideskripsikan buku ini dengan mudah. Dengan memasukkan koordinat ke dalam receiver GPS, maka alat ini akan membantu mencari suatu tempat bersejarah dalam buku ini. Inilah yang saya sebut sejarah dengan sentuhan geospasial. Geospasial merupakan istilah untuk menunjukkan posisi keruangan (spasial) di permukaan bumi (geo). Tidak saja pembaca merasakan nuansa historis dari sebuah tempat di Malang karena deskripsi kata-kata, tetapi juga memilki sense keruangan karena mengetahui posisi tersebut di permukaan bumi. Seperti yang juga diklaim oleh penulis, tempat-tempat yang dideskripsikan di buku ini juga bisa ditampilkan di situs pemetaan interaktif serperti Google Earth dan Google Maps. Tentu bukan hanya Google tetapi juga Yahoo, Microsoft, Multimap dan lain-lain. Semua itu dimungkinkan, sekali lagi, karena lokasi yang dijelaskan dilengkapi dengan koordinat lintang dan bujur.
Membaca buku ini seperti bertualang melintasi waktu bahkan hingga jaman kerajaan atau sebelumnya. Dalam buku ini, Malang disajikan dalam 10 kawasan yaitu Arjosari, Blimbing, Celaket, Kayutangan, Alun-alun, Tugu, Ijen, Dinoyo, Rampal, dan Sukun dengan deskripsi yang lengkap bagi tempat-tempat penting di masing-masing kawasan. Deskripsi tentang Patung Ken Dedes yang ada di pintu masuk kota Malang misalnya akan membuat pembaca bertualang ke ratusan tahun lalu sambil mengingat kembali bagaimana raja-raja di Jawa diturunkan. Melihat foto patung yang ditampilkan sangat indah, membaca deskripsinya dan mengetahui posisinya di permukaan bumi dengan koordinat merupakan sebuah kombinasi unik yang menyempurnakan pemahaman dan perjalanan sejarah.
Selain sebagai bacaan sejarah, buku ini juga bisa dijadikan panduan wisata yang mendeskripsikan tempat-tempat wisata di Malang dengan lengkap. Sembari menjelaskan sejarah masa lalu tentang tempat tersebut, buku ini juga mengungkapkan situasi terkini sehingga memberikan gambaran yang jelas kepada calon pengunjung. Penggunaan simbol yang baik membuat pembaca bisa dengan mudah mengetahui klasifikasi/fungsi suatu tempat. Dengan simbol yang tepat pembaca segera mengetahui apakah tempat yang sedang dibacanya termasuk musium, tempat belanja, tempat sejarah, pendidikan, makan, hotel atau lainnya. Dengan simbol seperti ini, lagi-lagi pembaca akan diingatkan betapa sentuhan geospasial terutama kartografi (ilmu dan seni pembuatan peta) sangat kental dalam buku sejarah ini.
Meski mampu menampilkan sejarah Kota Malang dengan sangat baik, buku ini juga mengandung beberapa kelemahan minor. Hal yang paling terasa adalah adanya kesalahan pengetikan di beberapa tempat. Yang cukup mudah diamati adalah penggunaan ”di” atau ”ke” sebagai awalan atau untuk penunjuk tempat/keadaan. Alih-alih menulis ”ditempatkan” buku ini menulis ”di tempatkan” (hlm. 18), ”ke rumahnya” ditulis ”kerumahnya” (hlm. 19) ”di masa” ditulis ”dimasa” dan beberapa kesalahan kecil lainnya. Selain itu, ada penggunaan istilah asing yang sepertinya tidak perlu sehingga menjadi agak janggal. Di halamah 21 misalnya tertulis ”… secara lebih personal touch” yang sebenarnya tidak perlu dan tidak tepat.
Lepas dari hal-hal minor yang masih bisa disempurnakan, buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui sejarah Kota Malang ataupun mereka yang sekedar ingin menjelajahi Malang dengan persiapan lebih baik. Keberanian Dwi Cahyono dalam mengkombinasikan hal-hal yang kreatif dalam sebuah buku sejarah telah menjadikan buku ini unik dan layak dikoleksi. Selamat membaca.
Data Buku
Judul: Malang, telusuri dengan hati
Pengarang: Dwi Cahyono
Penerbit: Inggil Documentary, 2007
Tebal: 200 hal.
ISBN: 978-979-17166-0-4
wah, saya penasaran nih pak…
*sapa tahu dipinjemi..*
Farid, boleh pinjem.. tapi syaratnya harus bisa bikin buku serupa untuk Jogja he he he.
mmm boleh juga.. ^ ^
sebagai PKL di malang tempo dulu 07, aku kecewa dengan cara kerja panitia pimpinan Pak Dwi ini. Bayangkan lain dengan thn 07, tahun 08 tanpa ada woro2 di surat kabar tiba2 pendaftaran ditutup katanya tgl 1-7 ada pendaftaran. Bagi saya, di malang tempo dulu bau bisnis lebih besar dibanding dengan slogan aku cinta malang!
Dwi Cahyono penulis buku tsb adalah teman saya sewaktu SD di Malang tahun 1973 -1978/79. Memang beliau sedari kecil senang dengan kesenian terutama menggambar dan tari. Sejak reuni SD tahun 1980an saya kehilangan kontak dengan beliau. Kalau tidak salah beliau sempat kuliah di Australia dan kembali ke Malang membuka / bisnis restoran. Orang tuanya dulu juga jualan soto. Bila ada rekan yang mengetahui alamat e-mail atau websitenya mohon untuk disampaikan. Apa buku tulisan beliau dijual di toko Buku di Jakarta. Dimana saya bisa dapatkan. Terima kasih.
Salam
Yan