
“Kamu di sini punya rumah berapa?”, saya bertanya di suatu kesempatan. “Satu”, katanya. “Aku punya dua di Indonesia. Kamu punya tanah nggak di sini?”, saya lanjutkan. “Tidak” katanya. “Aku punya tidak kurang dari setengah hektar lahan pemukiman”, saya tambahkan lagi. “Kamu masak sendiri, nyuci sendiri, nyetrika sendiri, cuci piring sendiri, nyiram tanaman sendiri, jemur baju sendiri, nyapu rumah sendiri, kan?” entah dari mana datangnya pertanyaan beruntun itu dan dia mengiyakan. Saya bilang “Aku tidak pernah melakukan itu sendiri! Gajiku cukup untuk membayar orang lain dengan imbalan yang terhormat.”
Tidak sepenuhnya baik, apa yang saya sampaikan kepada perempuan Cina ini tetapi rasanya ingin juga memberi wawasan lain tentang Indonesia kita. Saya tidak tahu mana yang lebih baik, setidaknya saya tidak kecewa dengan hidup di Indonesia dan tidak pernah bermimpi hidup di Amerika untuk selamanya. Biarlah hanya sekali dua kali menyaksikan gemerlap kunang kunang di Manhattan dari megahnya Brooklyn Bridge. Itu sudah cukup bagi saya.
Halo Mas Andi .. (Mas aja ya, biar kedengeran lebih akrab .. :). Selamat deh atas ALA dan ASA-nya.
Lama ga mampir kok sekali mampir dapat postingan yg lucu ini. He3x… saya ga bisa bayangin gimana perasaan perempuan Cina itu ya.
Walaupun “wawasan lain tentang Indonesia” yg Mas Andi berikan lebih terkesan comparison antara dia dan Mas Andi, paling ga efektif juga ya buat menjawab secara praktis. Bisa saya tiru nanti kalau suatu saat dibegituin ama bule … :).
Selamat berjuang, semoga sukses.
Salam,
Agus Supriyanto, guzfrie@yahoo.com
Halo Mas Agus 🙂
Senang bertemu kembali. Bagaimana Melbourne?
Pernyataan saya di atas tidak sepenuhnya fakta Mas he eh.. Setidaknya yang saya bilang dua rumah dan tanah setengah hektar itu masih harus diselidiki he he he. Cuma fakta begini bukan sesuatu yang tidak mungkin bagi teman-teman kita di Indonesia yang sering dipandang ‘sebelah mata’ dan diremehkan di luar negeri :))