Mengiris bawang


[Satu alasan mensyukuri Indonesia]

Banyak yang berucap pada saya, alangkah senangnya tinggal di luar negeri. Bertemu salju, lalu lintas teratur dan tanpa korupsi. Masyarakat juga tertib, meraka terbiasa antri, tidak main serobot ketika menunggu kendaran umum atau beli sayur di pasar. Singkat kata, banyak yang ‘melihat ke atas’ ketika berbicara tentang luar negeri. Tentu saja yang dimaksud luar negeri adalah negara maju, tidak termasuk Timor Leste, misalnya, yang mungkin tidak sebaik bangsa kita situasinya.

Mendapat komentar seperti itu, saya umumnya setuju. Memang banyak hal yang positif dan lebih baik di luar negeri. Namun begitu, kenikmatan itu bukanlah sesuatu yang tidak perlu dibayar. Banyak kompensasi lain yang harus dijadikan penukar kenikmatan.

Malam ini saya mengupas bawang. Besok ada acara makan-makan kecil bersama beberapa kawan yang tinggal di Sydney dan Wollongong. Seperti orang yang mengupas bawang umumnya, saya bercucuran air mata. Setelah itu masih harus menggoreng bawang merah dan putih untuk dijadikan sambal. Besok kami akan membuat lawar, sayur khas Bali. Jujur saja, menggoreng bawang bukan pekerjaan mudah untuk seorang saya. Nyala api harus pas, jumlah minyak tepat dan terutama observasi waktu tidak boleh meleset. Salah sedikit bisa bubar. Sedikit saja saya lengah, bawang pasti gosong dan itu artinya harus membeli bawang lagi. Bawang merah bukan sesuatu yang murah di Australia.

Di tengah cucuran air mata dan ketegangan saat memantau teflon berisi irisan bawang yang menari di genangan minyak yang berisik, saya berpikir tentang Indonesia kita. Alangkah nyamannya hidup di Indonesia, saya pikir. Saya bukanlah orang berpenghasilan tinggi, tetapi setidaknya saya tidak harus mengiris dan menggoreng bawang sendiri kalau mau menikmati lawar sehingga saya bisa bermain dengan anak atau menyelesaikan satu dua artikel untuk publikasi. Saya juga sebenarnya bukan orang yang sangat malas, tetapi harga bawang iris per-kilo memang di bawah 10 ribu sehingga saya memang tidak perlu sok rajin mengiris sendiri. Sepuluh ribu ini sama dengan AUD 1.3, sementara bawang di sini harganya selangit.

Satu batang sere saja bisa berharga 1.5 dolar (12 ribu rupiah). Ingat ini satu batang, bukan satu ikat 😦 Setelah membeli satu batang sere, saya harus memanfaatkannya hingga lapisan terluar agar irit dan masih harus mengiris meracik dan menggoreng sendiri ketika ingin menikmati sambal sere. Ini adalah hal yang barangkali tidak akan terjadi kalau saya di Indonesia. Ini bukan karena saya sok priyayi tetapi karena ada alasan ‘mulia’ sehingga ‘Mbak Nem’ bisa mengerjakan semuanya dengan senang hati. Ketika tidak harus menggoreng sambal, saya tentu saja bisa menyapa tetangga atau membaca lebih banyak buku. Setidaknya teorinya begitu.

Saya tidak menyangkal di luar negeri memang banyak baiknya dan di negeri kita banyak jeleknya. Saya hanya mencoba melihat dari sisi lain. Pengalaman hidup setelah tinggal di negeri orang membuat saya bersyukur menjadi orang Indonesia. Bersyukur dalam konteks ini adalah dalam rangka membangun kepercayaan diri sebagai anak bangsa yang tidak semestinya selalu mengeluh, kecewa dan mengumpat. Indonesia adalah juga tempat yang layak dihuni dengan senyum syukur. Bawang hanyalah satu saja contoh sederhana.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

6 thoughts on “Mengiris bawang”

  1. Setidaknya satu yang harus kita sadari dan perbaiki. Mungkin kita hanya kurang bersyukur hidup di indonesia…

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: