Darling Hall


[sebuah cerita pendek]

Aku bergegas pindah kamar saat menyadari waktu sudah larut. Jarum jam dengan malas merangkak dan kini hampir jam satu pagi. Aku masih terjaga, persis seperti hari-hari kemarin, aku susah tidur. Sudah lebih dari 40 hari aku mengalami banyak kejadian aneh yang mungkin kamu bahkan tidak bisa percaya. Lama aku memendam sendiri karena tidak yakin kamu bisa mengerti. Setelah 40 hari dan setelah semuanya menjadi serba terlalu, aku harus menuliskannya padamu. Bahasaku pasti sedikit kacau karena aku tidak melakukan editing. Tidak seperti biasa, aku tidak menuliskan surat ini di microsoft word tetapi langsung di gmail agar bisa dikirim secepatnya.

Aku bahkan merasa perlu pindah ruangan dari kamar kerja ke ruang tidur di mana Swasti dan Ambali, putri kecilku pulas menyerahkan diri sepenuhnya pada kekuasaan sang malam. Aku benar-benar tidak mungkin menyimpan keanean ini sendiri, aku ingin membaginya denganmu, lewat email ini. Aku akan menulis sepanjang mungkin dan selengkap mungkin untuk membuatmu percaya apa yang kualami.

Oh ya, sesaat sebelum pindah ruangan aku sempat ke kamar mandi. Ragu-ragu aku nyalakan lampu dengan saklar yang aku rogoh dari luar. Seperi biasa, aku selalu merasakah ada tangan dingin menangkap tanganku sesaat sebelum telunjukku menyentuh dan mengaktifkan saklar. Genggaman tangan dingin itupun hilang begitu pijar lampu kamar mandi menerangi ruang. Ini, kutegaskan lagi, telah berlangsung lama. Namun aku tetap tidak bisa mengabarkan karena aku tahu kamu akan mencibir dan tertawa. Rasionalitasmu membuat kamu tidak punya cukup waktu dan energi untuk peduli akan hal-hal semacam ini.

Ah, nyaman rasanya aku telah terduduk di sofa tempat menyusui yang disiapkan Swasti sejak 3 minggu lalu. Aku kini bisa memandang tubuh-tubuh anak dan istriku terkulai di atas kasur seraya memperdengarkan desahan nafas teratur pertanda mereka telah pulas sempurna. Meski diam, aku merasa ada yang menemani. Ini mengusir rasa takut yang belakangan sulit diajak kompromi.

Jaka, kamarin aku lihat lagi wajah itu. Wajah putih tak berdarah yang membayang di balkoni. Samar dari dapur aku saksikan dia melirik ke arahku. Aku pejamkan mata, dia bertahan memandang dingin tak bergerak. Dia menatapku dalam, seakan sedang mengadiliku yang barangkali memang tidak terlalu ideal. Gemetar tanganku menggenggam takaran beras. Aku baru saja akan menanak nasi dengan rice cooker, seraya tak pernah melepaskan pandang dari wajah pucat di depanku. Pukul 4.17 pagi, dia bertengger di balkoni dengan tubuh yang compang camping mengenaskan. Ini adalah kali keenambelas aku menyaksikannya lagi dan lagi. Tetap saja kusimpan sendiri, tak seorang pun tahu. Untuk keenambelas kalinya pula aku tersentak kaget dan menghambur keluar melawan takut mencari wajah itu di balkoni, tak pernah ada. Hanya dingin kabut musim semi yang justru membuat ketakutanku menjadi. Aku bergegas masuk rumah meninggalkan onggokan cemara di samping gedung yang menjulang berlatar langit remang. Gerakannya yang diterpa angin musim semi seakan tarian barong landung yang memang bagiku menyeramkan.

Dua hari yang lalu, Ambali yang baru berusia 30 hari menangis sejadinya. Aku stress, Swasti pun gelisah. Kami hanya berdua di negeri orang dan karunia Tuhan berupa seorang putri telah membuat hidup kami berubah. Malam jam 2.13 tangis tak terhenti dan lagi-lagi aku melihat wajah yang sama. Kali ini berdiri di dapur, dengan jelas terlihat dari kamar kami di mana Ambali menangis seperti kesurupan. Wajah itu seperti tersenyum dingin penuh kemenangan. Wajahnya yang putih pucat diperparah oleh kulit yang nampak keriput dengan baju terusan seperti daster putih. Ujung bawahnya menyapu lantai dapur yang kebetulan bersih. Tak kulihat kaki perempuan mistirius ini.

Tetesan air dari keran yang memang tidak bisa diutup sepenuhnya membuat keangkeran itu menjadi sempurna. Dentingan bulat berirama pelan karena setiap tetesnya menimpa air dalam gelas yang tadinya digunakan untuk minum susu oleh Swasti. Aku hanya bisa memandang dari dalam kamar, menatap tak berkedip tanpa bisa berbuat apa-apa. Sementara Swasti kubiarkan tergeletak di tempat tidur berselimut lelah. Aku tunduk pada keangkeran wajahnya yang dingin. Seperti hari lainnya, dia menghilang lenyap di tengah ketakutanku sesaat setelah aku memalingkan wajah. Inipun telah terjadi berulang kali.

Semantara itu, Swasti tidak tahu apa-apa. Sengaja dia tidak aku beritahu agar kodisi psikologisnya, yang sedang tidak seimbang akibat baru saja melahirkan, tidak bertambah parah. Dia perlu ketenangan dan dukungan untuk memulihkan rasa percaya diri yang sempat lantak karena baby blues. Aku harus menjaga rahasia ini sampai nanti aku pergi dari apartemen neraka ini. Setidaknya aku masih punya kamu tempat aku bercerita.

Suatu malam sekitar jam 1.15, aku terjaga dengan berisik yang sepertinya akrab di telingaku. DVD itu menyala sendiri. Ya, itu alunan gamelan salah satu Tari Bali kesenangan Swasti. Kebetulan dia memang jarang mengeluarkannya dari DVD player. Kini DVD itu menyala sendiri dan menimbulkan brisik yang tentu saja mencekam. Swasti dan Ambali masih pulas seakan tidak mendengar berisik dari ruang tengah. Tiba-tiba tubuhku kaku dan malas bergerak. Tetapi aku tahu aku harus keluar dan memeriksa apa yang sesungguhnya terjadi. Kesadaran akan kewajiban inilah yang menghadirkan cekaman ketakutan yang semakin menjadi.

Ruang tidur hanya diterangi temaram lampu meja yang biasnya merah karena ditutup kain selimut Ambali yang kebetulan merah. Mataku yang belum terjaga sempurna menambah keresahan kian niscaya. Aku takut tak tertahankan. Lama kubiarkan berisik gamelan itu, berharap dia berhenti sendiri seperti halnya tadi hidup sendiri sehingga aku tidak perlu keluar. Harapanku tinggal harapan. Gamelan itu mengalun dengan pasti dan tidak ada tanda-tanda berhenti.

Akhirnya aku memberanikan diri. Kusingkapkan selimut dengan perlahan agar Ambali dan Swasti tidak terjaga. Aku tetap bertekad merahasiakan berbagai keanean ini kepada istriku. Terlalu banyak beban yang ditanggungnya jika ketakutan semacam inipun harus kubagi. Dengan penuh waspada kubuka pintu kamar tidur yang memang tidak pernah dikunci. Gerit daun pintu menjadi sangat jelas di sunyinya malam yang telah larut. Aku berjinjit melangkahkan kaki menuju ruang tengah dengan keraguan dan ketakutan yang tak terhitung besarnya. Mataku mencari-cari dan menyapu segenap sudut ruangan, tidak ada tanda-tanda mencurigakan kecuali alunan gamelan yang kini semakin jelas.

Kuberanikan diri mendekati DVD player yang bertengger di rak hitam pemberian seorang kawan. TV itu dengan sempurna mempertontonkan lenggak-lenggok penari Bali yang tiba-tiba gerakannya, bagiku, tidak lagi indah melainkan angker dengan lirikan mata yang tidak lagi gesit menantang tetapi sayu, dingin dan menderita. Tanpa basa-basi kusambar remote control dan dalam sekali hentak semuanya gelap. DVD dan TV telah mati menyisakan gulita yang justru kini lebih menyeramkan. Saking takutnya aku lupa menyalakan lampu ruang tengah sebelum mematikan DVD player.

Kini aku mempunyai masalah lain. Ketakutan lain setelah berisik gamelan yang menyala sendiri adalah kegelapan. Aku mencari-cari pintu masuk, untunglah tidak lama kerena samar-samar bias cahaya merah menyembul dari kamar tidur di mana lampu meja menebar cahayanya. Aku mengikuti cahaya itu dengan keresahan yang sudah tidak mungkin tergambarkan. Aku selamat, walau dengan nafas memburu layaknya habis berlari 10 km. Aku tidak bisa memejamkan mata tembus hingga esok harinya.

Aku sebenarnya sudah dinasihati penghuni sebelumnya. “Mbak yang ada di sini kadang-kadang jahil lo”, kata Yola sesaat sebelum pergi meninggalkan unit untuk kembali ke Indonesia. Aku hanya tersenyum sedikit mencibir. Di negara barat yang begini maju, kok masih percaya hantu, begitu aku berpikir dalam hati. Singkat kata, aku tidak pernah mempercayai Yola sampai akhirnya keanehan itu mulai terjadi sejak 40-an hari yang lalu.

Aku ingat belum menyelesaikan thesisku. Ini satu lagi beban lain yang membuat keresahanku menjadi. Ada beben moral yang luar biasa beratnya karena aku harus menyelesaikan pendidikan. Aku harus melawan ini semampuku. Biarlah email ini akan kusimpan dalam draft dan kukirim jika benar-benar telah kuselesaikan ceritaku.

Jaka, tadi siang sembari berjalan pulang dari kampus aku memperhatikan gedung apartemenku. Dilihat dari bentuknya, Darling Hall memang wajar disebut angker. Tingginya yang menjulang dengan warna merah darah, baru aku sadari, ternyata menyimpan aura mistis yang kuat. Kecurigaanku dan pengalaman anehku kini semakin kuat kebenarannya. Aku memang sedang menghadapi makhluk gaib yang bersarang di apartemenku. “Mbak” yang dibilang Yola memang jahil itu nampaknya benar-benar ada dan kini mengganggu kami.

Aku baru saja bertanya kepada seorang nenek di lantai 3 perihal ini. Dia hanya tersenyum sambil berkata lirih setengah berbisik “You are not the first one, dear! Be careful as she might be really bad sometimes.” Pandangan nenek itu nanar seperti berkaca-kaca. “I suggest you move from here, she is too dangerous for your little baby”, dia kembali menambahkan sambil berlalu membawa satu tas plastic penuh sampah yang akan dibuangnya di tong sampah yang berbaris di halaman belakang apartemen. Aku hanya mematung tidak sepenuhnya mengerti apa yang dimaksud perempuan sepuh ini. Keanehan yang terlalu banyak menimpaku belakangan ini membuat sifat kritisku terkikis habis. Tidak ada niat untuk bertanya lebih jauh. Aku hanya bengong sambil menyaksikan langkah tertatih sang nenek yang terlihat berat dengan sampah bawaannya. Hal begini memang biasa terjadi di Sydney di mana orang tua tinggal tanpa keluarga dan harus mengerjakan pekerjaan rumah sendiri. Berbeda dengan di Indonesia yang semuanya diambil alih oleh anak/menantu, di sini orang tua tidak memiliki kenikmatan itu. Ketakutan dan kebingunganpun telah membuat aku kehilangan kepekaan. Aku sampai lupa menawarkan bantuan kepada sang nenek.

Ini malam ke-43 sejak aku dikejutkan wajah putih pucat tak berdarah menyembul di balkoni. Bayangannya masih jelas teringat. Seperti biasa ketakutan mulai merasuk. Malam ini semua terasa lebih dasyat, aku bahkan tidak punya keberanian ke kamar mandi untuk buang air kecil. Selalu terbayang tangan dingin yang menangkap tanganku saat menyalakan lampu. Aku meras

Tulisan Suarsana berhenti sampai di sini. Tidak jelas apa yang ingin dia katakan selanjutnya. Aku hanya terpaku setelah membaca tulisan ini dari draft gmail-nya.

Swasti, istrinya, masih menangis sejadinya sementara Ambali nampak tenang di baby cot, tidak sadar ayahnya kini entah di mana. Aku sendiri tidak tahu harus berbuat apa. Masih terbawa kepanikan ketika Swasti menelponku jam 3 pagi “Bli Made, Bli Suarsana hilang”, begitu teriakan Swasti membuatku terkesyap luar biasa dan berlari ke apartemen mereka di bilangan Kensington. Tanpa pikir panjang aku meraih gagang telepon sesampainya di sana dan bersiap menekan 000, nomor darurat Australia. Aku mendengar suara berisik modem, pertanda telepon dipakai untuk internet. Akupun menuju ruang di mana laptop masih manyala dan mendapatkan gmail sedang terbuka. Aku menemukan draft emailnya yang akan dikirim ke jaka.dwiralaga@gmail.com. Aku tidak tahu siapa itu. Yang kutahu bahwa Suarsana baru saja raib dalam ketakutan maha dasyat yang dipendamnya sekian lama.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

One thought on “Darling Hall”

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: