Akhirnya ke Medan lagi. Saya melawat ke Universitas Muhammadiyah Sumatra Utara (UMSU) selama dua hari dua malam untuk berbagi cerita. Kali ini, saya diminta berbicara tentang konsep dan pengelolaan kelas internasional. UMSU mendapatkan hibah untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam mengelola Pendidikan internasional dan saya terhormat menjadi salah satu yang didaulat berbagi.
Selalu senang berkunjung ke UMSU. Selalu terkesan dengan keramahtamahan penghuninya. Hal itu sudah terasa sejak di bandara. Bang Muja, dosen UMSU, menjemput dengan cekatan dan membawa saya ke restoran padang untuk santap malam. Rendang jengkolnya tak mudah dilupakan. Ayam pop-nya nempel di lidah dalam waktu yang lama. Ada autentisitas rasa yang tak mudah ditemui di tanah Jawa.
Selepas makan malam, kami meluncur ke hotel. Saya perlu istirahat sebelum berjibaku dengan dua sesi di esok hari. Tentu tak cuma istirahat, saya perlu pastikan lembar-lembar tayang telah siap sebelum waktunya tiba esok hari. Semua bahan sudah ada. Saya hanya perlu menyusun potongan fakta itu menjadi rangkaian cerita baru. Cerita yang khas, cerita yang UMSU banget. Maka jam dua pagi saya terjaga memoles-moles materi hingga siap tersaji.
Jam empat pagi, muncul ide baru untuk mengisahkan keyakinan saya akan UMSU yang bisa dan harus berkiprah global. Saya mulai dengan merancang animasi. Animasi tentang ruang, tentang waktu, tentang batas, dan tentang imajinasi lintas benua. Sesungguhnya, tak harus saya kerjakan semua itu tetapi hati kecil saya mendorong untuk memberi yang lebih baik dari sekedar bernasnya story telling.
Tanggal 14 November 2025 pagi, saya tiba di UMSU, disambut Mas Sanni, seorang dosen muda. Acara akan dimulai sekitar pukul 10.00. Saya siap berkisah tentang Konsep dan Pengelolaan Kelas Internasional. Ruang itu dipenuhi oleh dosen-dosen yang bertugas mengajar di kelas internasional di UMSU. Peserta ada pada kisaran 40-50 orang. Sebuah kelas kecil yang ideal.
Acara dibuka oleh Wakil Rektor III, Bapak Rudianto yang adalah juga sahabat saya sejak 2023 silam. Kami sama-sama merupakan anggota delegasi Indonesia untuk menghadiri acara US-ASEAN University Connectivity Initiative (UCI) di Washington DC bulan Februari 2023. Saya ada di UMSU, jelas tidak lepas dari campur tangan Pak Rudi. Pada dasarnya, network adalah persahabatan. Di balik kerja sama antarinstitusi yang mentereng, ada pertemanan tulus dua orang manusia.
Sambutan hangat Pak Rudi dalam pidatonya menjadi awal yang baik bagi dua sesi sangat produktif di hari itu. Untuk pertama kalinya dalam hidup, saya mengajar dengan cara duduk tenang di meja pembicara tanpa berpindah tempat sedikit pun. Saya betul-betul mengandalkan intonasi dan volume suara untuk menjaga antusiasme kelas. Mereka luar biasa. Tidak hanya menyimak dengan saksama, mereka juga melontarkan pertanyaan-pertanyaan kritis di akhir sesi. Semua itu adalah energi bagi saya.
Siang hari, peserta laki-laki melaksanakan ibadah Solat Jumat di kampus dan saya beristirahat ditemani Mbak Fiqa, Kepala Kantor Internasional UMSU. Tak lama berselang, waktu makan siang tiba. Mandailing adalah pilihan yang tidak ada duanya. Serupa masakan padang yang saya kenal tetapi lebih otentik dengan kekhasan yang sulit diceritakan. Singkat kata, itu adalah makan siang yang sisa rasanya menempel di lidah dalam waktu lama.
Sesi dua dimulai sekitar pukul 14.00, saya mendemonstrasikan pengajaran untuk kelas internasional. Saya buka dengan kalimat “tadi saya makan Mandailing” dan disambut tawa hadirin. Tanpa basa-basi, tanpa salam, tanpa kata pembuka konvensional lainnya. Sesi siang memang rawan, jadi harus dibuka dengan kejutan nan jitu. Selepas memuji enaknya masakan Mandailing, saya lanjutkan “tapi makan siang tadi tidak membebaskan panitia dari kewajiban untuk mengajak saya makan duren, sore nanti” yang disambut tawa yang lebih keras. Selepas kelakar itu, semua menjadi lebih mudah. Kalimat tanpa basa-basi ini juga bisa diucapkan jika pembicara sudah dikenal baik oleh peserta. Sesi tadi pagi sudah cukup membuat mereka mengenal saya. Semoga.
Diawali dengan demo pengajaran, saya lanjutkan dengan berbagai teori. Urutan seperti ini lebih efektif menurut saya. Mereka perlu melihat cara saya mengajar dan merasakan sendiri efektivitas pengajaran saya terlebih dulu. Jika mereka bisa menyimak dan memahami kuliah yang saya sampaikan, maka mudah bagi saya untuk mengajarkan berbagai teori tentang pengajaran efektif. Sebaliknya, jika mereka tidak merasa pengajaran saya menyenangkan, bagaimana mereka mau belajar teori pengajaran dari saya.
Pesertanya mengagumkan. Mereka melek sampai akhir. Tidak hanya tekun menyimak, mereka merespons dengan baik. Ada yang mengernyitkan dahi, tersenyum, mengangguk, dan tertawa. Dengan begitu, saya tahu mereka memperhatikan. Semua itu disempurnakan dengan lontaran komentar, cerita pengalaman, dan pertanyaan yang bermutu. Sore itu, saya menyelesaikan sesi dengan perasaan lega dan berhasil. Semoga demikian pula perasan peserta.
Di ujung acara, ketika sesi resmi sudah dibubarkan, sejumlah orang peserta mencegat saya dan mengajak diskusi tentang berbagai perihal. Salah satunya adalah tentang ijazah Jokowi. Sudah saya duga, di mana pun saya berada, isu ini tidak akan pernah lepas dari perhatian. Saya berbicara kepada mereka sebagai pribadi sekaligus sebagai Juru Bicara UGM. Saya selalu yakin, jika berkesempatan bertatap muda dan melakukan pembicaraan dengan terbuka, akan selalu ada pencerahan. Secara singkat saya sampaikan “tidak ada keraguan bahwa Jokowi masuk, berproses, dan lulus dari UGM sesuai kaidah. Jokowi juga sudah diberi ijazah asli pada tahun 1985. Yang terjadi setelah itu adalah tanggung jawab Jokowi sendiri”. Cerita ijazah Jokowi mengakhiri hari dengan baik.
Sesi terbaik pun tiba: makan durian. Tidak kaleng-kaleng, kami menikmati durian di Si Bolang, salah satu yang terbaik. Pak WR Rudi pun turut mendampingi. Sungguh sebuah sajian hospitality dengan sentuhan totalitas. Tampaknya saya makan durian agak kalap. Tidak lama, saya merasakan ada yang menjalar di tubuh. Entah apa itu.
Selepas durian, kami menuju tempat makan Srikandi. Ramai nian, dari berbagai kalangan tumpah ruah di lokasi. Semua orang adalah ketua rupanya di sana. Sering terdengar ucapan “siap ketua”. Entah apa maknanya. Sementara saya merasakan dampak durian mulai terasa. Yang tadi menjalar di tubuh kini terasa makin dahsyat. Meriang mulai menyerang dan dengan bengis menghilangkan selera makan yang semestinya begitu nikmat.
Perlu istirahat yang cukup, saya diantar ke hotel. Mas Agus dan Bang Muja, dua dosen andalan UMSU, menemani saya dengan penuh perhatian. Di tengah jalan, mereka berhenti dan membelikan saya obat. Sungguh sentuhan hospitality yang manis. Saya bersegera tidur agar badan lebih segar di esok hari. Masih ada tugas menanti. Ada ide tambahan untuk mengisi satu sesi motivasi di kelas internasional dan saya sanggupi tanpa syarat.
Tanggal 15 November 2025 pagi saya bangun dengan tubuh yang jauh lebih segar meskipun belum pulih sempurna. Pagi itu, saya bertemu puluhan mahasiswa dari kelas internasional dalam acara talkshow. Tidak perlu menyiapkan paparan, langsung berinteraksi dengan moderator dan mahasiswa. Acaranya begitu menyenangkan dengan moderator yang bagus dan peserta yang antusias. Saya juga ditemani oleh Bang Zuhdi, Kepala Biro Kemahasiswaan & Alumni UMSU. Tentu saja ada Mbak Fiqa sebagai penggagas acara. Beliau berdua memang termasuk yang selalu menemani saya selama di UMSU. Selama satu jam lebih, semua mata berbinar dan tangan-tangan terangkat ke atas penuh penasaran. All in English. They were really good!
Selepas talkshow, ternyata panitia punya satu lagi ide baru. Saya diminta menjadi narasumber podcast dengan Bang Arif sebagai host. Semua itu hadir cukup mendadak tetapi sangat menyenangkan. Saya cukup suka hal-hal spontan seperti ini. Crewnya profesional, hostnya keren dan peralatannya pun mantap. Tidak terasa, obrolan podcast berjalan mungkin tidak kurang dari 30 menit, ditonton langsung oleh Pak WR Rudianto. Saking asyiknya, semua berjalan begitu cepat.
Tidak menunggu lama, kami melesat menuju kedai untuk makan siang. Bang Muja yang menemani saya untuk menghabiskan waktu di Medan di hari itu. Makanannya seperti sebelumnya, tidak tertandingi. Lezat dan nempel di lidah. Rendang jengkol tak pernah gagal mencerahkan siang yang cukup terik. Obrolan di sela makan bersama Bang Muja tentang berbagai hal juga menjadi pelengkap santap siang yang bermakna.
Tujuan berikutnya, selepas makan siang, adalah Observatorium Ilmu Falak (OIF) UMSU. Ini satu lagi hidden gem yang mereka punya dan saya baru tahu. UMSU punya tempat pengamatan benda langit dengan alat-alat yang canggih. Studionya pun keren. Saya diajak ke sana untuk melihat semua itu dengan mata kepala saya sendiri. Berada di rooftop sebuah gedung tinggi yang digunakan untuk kuliah pascasarjana, OIF itu telah beroperasi selama satu dekade lebih. Karya-karyanya disajikan dengan baik. Petugas juga menjelaskan dengan gamblang semua hal yang ditampilkan. Astronomi memang lekat dengan Islam dan OIF menegaskan itu dengan sangat baik. Sebagai orang Geodesi, saya sudah membayangkan kolaborasi yang mungkin terjadi di masa depan.
Dari OIF kami meluncur ke Bandara Kuala Namu. Usai sudah kunjungan. Dalam perjalanan yang terasa singkat ke bandara, saya bercerita banyak dengan Bang Muja. Beliau menghadiahi saya tiga buku karya beliau. Sungguh seorang akademisi yang produktif. Salah satu bukunya, Catatan Magrib, langsung saya baca di tempat. Mengesankan. Seorang akademisi yang kontemplatif dalam melihat, memaknai, dan menyajikan fenomena. Salut! Tak dinyana, kami berdua adalah penikmat pemikiran bernas Gede Prama dan pembelajar dari kecemerlangan pemikiran Gita Wirjawan. Dua intelektual yang berbeda dan mungkin tak kerap diramu menjadi satu. Tak heran jika obrolan dan kelakar kami berkelindan dengan mudah.
Kendaraan melaju, obrolan mengalir deras. Peristiwa silih berganti, dan makna mengendap. Terima kasih UMSU. Sampai kita berjumpa lagi.
Jogja, 18 November 2025
I Made Andi Arsana