Neraka bertobat


Dahulu, malam yang dingin dan angin yang lirih adalah alasan yang bijak untuk melantunkan puisi. Kesendirian dan pergulatan pikir yang tiada bertepi adalah paduan nan digdaya untuk meceritakan keindahan cinta. Tapi itu dulu. Di masa lampau ketika masih tersisa sebaris misteri di lorong-lorong hati yang penasaran. Dahulu kala, ketika jiwa masih muda dan liar bergairah. Ketika itulah, tatapan menjelma menjadi sabda, dan kata-kata tak kurang dari hukum yang padanya segenap nyawa dan belantara bersimpuh memohon ampun.

Kini, saat kepala menari lebih dari nurani, saat tangan tak lagi liar, dan saat hati terkendali oleh norma-norma dunia, naluriku rapuh binasa. Tak kan sebutir debu yang tergelatak di sudut daun yang menjuntai bisa bicara. Halilintar yang bersabungpun tak bercerita tentang nikmat birahi. Kini aku perlu lebih dari sekedar embun yang menetes atau dupa yang mengepul memuja dewata untuk menceritakan keindahan.

Masa tak bisa ditipu, karena dia telah mengutuk puisi menjadi prosa dalam pergulatanku. Waktu tak berbohong karena dia yang telah menjadikan senja yang merah atau camar yang menyambar tak lagi memukau. Mungkin harus kulihat dirimu lagi. Aku ingin menyihir embun menjadi intan, saat kusentuh sambil merafalkan mantra-mantra cintamu. Ingin kuubah kegaduhan menjadi simponi karena, seperti dulu, memikirkanmu membuatku menjadi pujangga. Seperti itulah jika aku mengingatmu, neraka pun bertobat dan menjadi surga untukku.

Advertisement

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

Bagaimana menurut Anda? What do you think?

Fill in your details below or click an icon to log in:

WordPress.com Logo

You are commenting using your WordPress.com account. Log Out /  Change )

Facebook photo

You are commenting using your Facebook account. Log Out /  Change )

Connecting to %s

%d bloggers like this: