Aku terjaga dari kelelapan tidur di sebuah kamar hotel di Jakarta Selatan. Aktivitas yang penuh ketegangan beberapa hari ini membuat aku selalu terkapar di tempat tidur, lelap sebelum waktunya dan bahkan tanpa mimpi. Terjaga di pagi buta oleh gelegar suara yang cukup asing tentulah bukan pengalaman yang menggembirakan. Adzan subuh tengah berkumandang, aku mengusap-usap mataku yang belum terjaga sempurna. Aku terduduk di tempat tidur dan memandang kosong dalam kamar yang gelap. Perlahan-lahan aku menyadari keadaan. Adzan subuh sedang berkumandang. Aku kini meyakini apa yang terjadi.
Aku tidak pernah sholat subuh dan memang tidak harus sholat subuh. Meski begitu, Adzan berlaku sama bagi siapa saja yang mendengarnya. Gelegarnya yang sekian desibel memang mampu membangunkan siapa saja, termasuk aku yang tidak harus sholat subuh. Dalam keterjagaan yang tidak sempurna aku berpikir. Apa yang harus aku lakukan sepagi ini? Tidak ada. Pertanyaanku aku reduksi menjadi “apa yang harus aku katakan pagi ini?” Ternyata juga tidak ada. Apa yang harus aku pikirkan mendengar Adzan ini?
Entah dari mana bisikan itu, aku harus memikirkan toleransi. Toleransi yang sempurna, karena ini adalah toleransi yang tidak dilihat orang, tidak ditonton siapapun dan tidak ditujukan kepada orang-orang yang aku kenal, apalagi kepada atasan. Aku memilih untuk tersenyum sambil mendokan mereka yang sholat subuh agar diberi senyum yang paling indah pagi ini. Dalam mantram Gayatri-ku pagi ini, aku beri ruang untuk kumandang Adzan yang tidak lagi memekakkan telinga, tetapi merdu mendayu-dayu. Begitulah indahnya toleransi.
Luar biasa Pak Made. Panjenengan lebih islami daripada saya bahkan muslim yang lain di Indonesia. Terimakasih atas tulisan2 inspirasinya, Pak…
Thanks Adi
Indahnya…pak made…