Saya membahas cerita agama di film Agak Laen. Film ini memuat begitu banyak sisi dan wajah. Banyak orang sudah membahas berbagai perihal tetapi sepertinya tidak banyak yang menyoroti perihal agama. Biarlah saya yang membahas.
Di kedua film, Agak Laen: Rumah Hantu dan Agak Lain: Menyala Pantiku, tema agama terselip rapi dan alami. Ini adalah penyajian perkara agama yang dengan sempurna menyentuh jiwa saya. Selera saya banget.
Keberanian Film Agak Laen untuk menyuguhkan perihal agama sebagai suatu kelucuan adalah salah satu kekuatan utama dari film ini. Menurut saya demikian. Sajiannya pun akrab di mata dan telinga. Mereka tak segan menyelipkan perselisihan ‘ringan’ antaragama yang kemudian berlabuh di dermaga cerah kerukunan. Tidak mudah melakukan ini.
Di Agak Laen: Rumah Hantu, dikursus soal agama hadir dalam bentuk ‘perseteruan’ empat sahabat yang tidak berhasil meraih titik temu. Kecurigaan berlebih dan penarikan kesimpulan yang melompat tentang penistaan dan penghinaan terhadap agama disajikan dengan begitu apik. Diam-diam saya setuju, memang demikianlah yang terjadi di masyarakat. Paduan emosi dan rasionalitas Bene, Boris, Jegel, dan Oki adalah cermin jernih bagi kita semua.
Adegan yang menyajikan perselisihan orang Islam dan Kristen/Katolik di Agek Laen: Rumah Hantu adalah bentuk keberanian yang menggelitik. Adegan itu menyuguhkan dengan gamblang, betapa mudahnya orang tersentuh bagian sensitif dalam dirinya jika agama sedang diperdebatkan. Saya menyimak setiap detail dan mengagumi cara Muhadkly Acho dan penulis skenario dalam menghadirkan solusi di penggal akhir adegan.
Meski sempat tegang dan penasaran, sesungguhnya penonton sudah diberi kepastian di awal bahwa perkara agama ini tidak akan menjadi prahara besar. Kuatnya persahabatan keempat orang yang terlibat dalam seteru itu adalah jaminannya. Yang menarik disimak justru adalah pemilihan diksi dalam seteru yang selanjutnya berujung pada resolusi.
Di Agak Laen: Menyala Pantiku, perbedaan nilai-nilai agama dihadirkan dalam adegan yang lebih berani. Lebih ‘pinggir jurang’, sebenarnya. Untunglah, adegan pinggir jurang ini dilatari oleh semangat penghormatan dan toleransi, bukan perselisihan. Ini sebenarnya lebih aman dari Agak Laen: Rumah Hantu namun eksekusinya lebih berani dan terutama lebih ‘nakal’. Memberi peran formal yang bersifat islami kepada orang non muslim tentu harus dikonsep dengan sangat matang. Sedikit saja lengah dan salah, keberanian ini bisa segera menjadi tindakan gegabah yang membawa musibah.
Sebagai orang Hindu, saya melihat sajian perkara agama di Agak Laen ini menyejukkan. Sejuk karena adegan ini menegaskan kelapangan dan keluasan Islam, sebagai agama dengan umat mayoritas, yang dewasa. Kedewasaan Islam dihadirkan, salah satunya, dalam bentuk kerelaan menerima kelakar dan bahkan menjadi bahan kelakar. Sebuah tanda kebijaksanaan.
Sekali lagi, penyelamat bagi adegan-adegan ‘pinggir jurang’ ini adalah kentalnya persahabatan tokoh- tokoh utama dengan keyakinan berbeda. Jauh sebelum fragmen ‘berbahaya’ yang melibatkan agama sebagai pusaran adegan, penonton sudah disuguhi berbagai penegasan bahwa Bene, Boris, Jegel, dan Oki adalah sahabat karib. Kenyataan ini memberi satu makna bahwa jika tak mau agama jadi sumber seteru, maka berkenalan dan bersahabatlah dengan pemeluk agama berbeda.
Agak Laen memang agak lain. Film ini tidak saja merupakan karya seni yang enak ditonton dengan paduan gelak tawa dan haru biru. Agak Laen adalah juga pengingat tentang harmoni yang memang bisa dan semestinya kita bangun dengan mengakui dan menghormati perbedaan. Terima kasih juga buat Ernest Prakasa yang turut mengawal karya ini. You never fail!
I Made Andi Arsana
Dosen UGM, penonton film.