Menyoal Jumlah Peserta Aksi 212 dan Pelantikan Trump


Media sosial dan media arus utama pernah heboh oleh pemberitaan mengenai jumlah peserta aksi damai 2 Desember 2016 (Aksi 212). Ketika sebagian media memberitakan bahwa aksi damai itu diikuti oleh ratusan ribu orang saja, media lain mengklaim angka yang jauh lebih besar dari itu. Di luar media utama, individu dan media sosial punya posisi sendiri terkait jumlah ini. Dari sekian banyak pemberitaan yang akhirnya menjadi viral, yang menarik adalah perbedaan angka yang ditunjukkan. Ketika satu berita menaksir angka pada kisaran ratusan ribu, berita lainnya meyakini bahwa Aksi 212 itu diikuti oleh sekitar tujuh juta orang. Berbedaan yang fantastis.

Media berdebat, para tokohpun silang pendapat. Tidak pernah ada titik temu antara pihak-pihak yang berbeda itu sehingga angka resmi tidak pernah dilansir. Selain itu, memang tidak ada lembaga yang memiliki otoritas khusus untuk mengeluarkan pernyataan terkait jumlah pelaku aksi sebuah demonstrasi massa. Di antara para ahli dan komentator itu, ahli geospasial tidak ketinggalan peran. Beberapa dari mereka menggunakan pendekatan yang diyakini ilmiah untuk menghitung jumlah kerumunan di Aksi 212 itu dengan bantuan citra penginderaan jauh. Citra satelit atau hasil potret udara menjadi alternatif untuk memperoleh angka yang harapannya lebih akurat dari sekedar tebakan emosional.

Layaknya penginderaan jauh, hasil observasi merupakan tebakan intelektual karena yang melakukan pengukuran tidak pernah bersentuhan langsung dengan obyek yang diukur. Inilah esensi dari penginderaan jauh. Data dan informasi diperoleh dengan cara mengindera sebuah obyek dari jarak jauh, tanpa bersentuhan dengan obyeknya. Secara sederhana, hasil jumlah kerumunan orang dihitung dari gambar permukaan bumi yang dintai dari udara. Secara teknis, jumlah orang terkait erat dengan luasan kawasan yang dipenuhi kerumunan dan kepadatan kerumunan itu. Data penginderaan jauh yang berupa gambar permukaan bumi yang direkam dari udara/angkasa tentu bisa digunakan untuk menghitung luas kawasan kerumunan. Dengan mengetahui kepadatan kerumunan orang dalam luasan tertentu maka jumlah total orang dalam kerumunan tersebut bisa dihitung.

Pendekatan ini tentu saja harus menggunakan berbagai asumsi dalam memperoleh hasil, salah satunya adalah kerapatan kerumunan dan kegiatan apa yang sedang dilakukan oleh orang-orang dalam kerumunan. Mengasumsikan orang-orang dalam Aksi 212 sedang sholat tentu menghasilkan hitungan berbeda dibandingkan asumsi bahwa mereka sedang berdiri berdesakan. Luas yang dibutuhkan untuk sholat dan untuk berdiri berdesakan tentu berbeda. Intinya, asumsi menjadi salah satu kunci dalam hal ini. Di sisi lain, kita juga tahu bahwa asumsi adalah cikal bakal dari kekacauan. Assumption is the mother of all f**k ups!

Belum paripurna rasa penasaran kita akan jumlah peserta Aksi 212, media kembali memperdebatkan perihal serupa. Kali ini, perkaranya adalah jumlah peserta pelantikan Presiden Amerika Serikat, Donald J. Trump. Pasalnya menarik. Di hari pertama tugasnya sebagai presiden negara adidaya itu, Trump merasa perlu mempersoalkan ketidakakuratan media dalam memberitakan jumlah orang yang menghadiri pelantikannya. Nampaknya Trump geram dan gusar karena berita di media massa menyebutkan bahwa pelantikannya dihadiri hanya oleh ratusan ribu orang. Sementara dia yakin bahwa jumlah yang semestinya adalah satu hingga satu setengah juta orang. Untuk itu, staf Gedung Putih bahkan perlu menegaskan secara khusus dalam sebuah konferensi Pers. Lepas dari niat Trump untuk mengungkap kebenaran yang diyakininya, banyak pihak yang mencibir bahwa seorang Presiden Amerika seharusnya mengurusi hal-hal yang lebih esensial dibandingkan jumlah hadirin saat pelantikannya.

Suka atau tidak, jumlah itu penting ketika dia menandakan dukungan terhadap sebuah prinsip dasar yang diyakini pihak tertentu. Jumlah itu penting ketika itu adalah bukti paling kasat mata bagi sebuah kebulatan tekad dan pikiran untuk membela sesuatu yang hakiki, setidaknya menurut para pembelanya. Maka jumlah peserta Aksi 212 itu menjadi penting bagi mereka yang meyakini bahwa Aksi 212 itu adalah aksi membela agama. Sedikit atau banyak bisa menimbulkan sensasi yang berbeda karena itu bisa dikaitkan langsung dengan dukungan dan kebulatan tekad satu kaum dalam membela hal yang fundamental.

Jumlah itu penting, terutama ketika ada sebagian orang lain yang mengeluarkan data dengan angka yang lebih kecil atau jauh lebih kecil karena itu bisa serta-merta dimaknai sebagai penggembosan. Angka yang lebih kecil dari keyakinan sebagian orang itu bisa saja dimaknai sebagai perlawanan, merendahkan atau meremehkan. Lebih serius lagi, dia bisa dianggap sebagai upaya untuk menyembunyikan kebenaran. Lebih fundamental dari itu, angka yang jauh lebih kecil itu bisa tiba-tiba dianggap representasi ideologi atau keyakinan yang berbeda atau bahkan berseberangan.

Mengapa Trump sampai gusar dan mempersoalkan pemberitaan terkait jumlah peserta pelantikannya? Pertama, Trump meyakini bahwa dukungan terhadap kepresidenan itu ditunjukkan salah satunya dengan antusiasme masyarakat saat pelantikannya. Antusiasme tinggi itu, menurutnya, ditunjukkan salah satunya dengan kehadiran masyarakat saat pelantikannya. Jika menurut Trump ada media yang dengan sengaja menyampaikan data yang lebih kecil dari seharusnya maka itu adalah usaha serius untuk ‘menipu’ dan memberi gambaran yang salah tentang dukungan masyarakat terhadap kepresidenannya.

Kedua, Trump tidak akan lupa bahwa pelantikan Obama dikenal sebagai pelantikan dengan kerumunan massa terbesar. Sekitar 1,8 juta warga tumpah ruah di sekitar Capitol Hill ketika Obama dilantik pada tanggal 20 Januari 2009. Ada semacam kekhawatiran pada Trump jika pelantikannya dibanding-bandingkan dengan pelantikan Obama dan jika ternyata Obama memenangkan antusiasme warga Amerika. Bukan rahasia lagi bahwa ada persaingan antara Trump dan Obama dan mereka memiliki perbedaan pandangan yang sangat menyolok dari awal. Oleh karena itu, pemberitaan yang menunjukkan bahwa jumlah warga yang menghadiri pelantikan Trump jauh lebih kecil dibandingkan yang menghadiri pelantikan Obama bisa jadi tanda kekalahan telak bagi Trump. Masuk akal jika dia mempersoalkan pemberitaan soal jumlah kerumunan.

Sejauh mana para pakar geospasial dan crowd counting bisa membantu mempertemukan perbedaan soal jumlah kerumunan? Penggunaan citra penginderaan jarak jauh dan mekanisme ilmiah menghitung kerumunan bukan hal baru. Meski demikian, harus diakui bahwa pendekatan itu termasuk inexact science alias bidang ilmu yang tidak eksakta murni. Ada berbagai faktor yang harus dipertimbangkan dan seringkali faktor itu harus diasumsikan karena tidak diketahui dengan pasti. Pemilihan faktor dan nilai dari faktor itu sering kali merupakan ruang ketidakpastian bagi seorang ilmuwan/pakar. Yang runyam adalah ketika ruang ketidakpastian ini diisi atau ditunggangi dengan kepentingan dan tujuan sepihak.

Bahwa ilmu harus objektif, tentu saja memang demikian tetapi bahwa setiap individu pasti bias, itu juga keniscayaan. Alangkah berbahayanya jika ruang ketidakpastian itu diisi oleh kepentingan untuk memenangkan suatu prinsip atau keyakinan, atau oleh nafsu untuk mengangkat sebuah posisi politik dan menjatuhkan posis politik lainnya. Maka di situlah ilmu pengetahuan hanya akan menjadi alat legitimasi. Adakah itu juga terjadi di Aksi 212 dan Pelantikan Trump? Saya harap tidak.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

4 thoughts on “Menyoal Jumlah Peserta Aksi 212 dan Pelantikan Trump”

  1. Saya rasa kurang tepat saja Pak Made jika harus membandingkan ambisi Trump dengan aksi 212. Bukan untuk memenangkan, tapi bagaimana bertahan pada prinsip. Saya yakin pesertanya tidak mempermasalahkan jumlah, yang sering menyoalkan setau saya orang diluar aksi tsb. Berbeda dengan Trump yang khawatir terhadap dukungan politisnya.
    Saya rasa kurang pas saja membahas paragraf terakhir Anda. Semoga kita semua tetap bisa saling bertenggang rasa ya Pak Made Andi.

    1. Terima kasih Mas Angga 🙂

      Saya tidak akan menjelaskan tulisan dan maksud saya. Dia sudah harus bisa menjelaskan dirinya sendiri. Tulisan memang tidak berdiri sendiri untuk meghadirkan pemahaman. Tingkat intelektualitas, latar belakang dan asumsi pembaca adalah kunci yang turut menentukan. Komentar Anda juga turut mencerminkan semua itu, selain tentunya mencerminkan kualitas obyektif tulisan saya. Kalau soal tenggang rasa, mungkin Anda perlu (jika berkenan) membaca seribu lebih tulisan di Blog ini. Dengan begitu mungkin Anda punya sedikit pemahaman soal posisi dan sikap saya terkait tenggang rasa. Saya hormati pendapat dan komentar Anda.

      1. Setuju Pak. Tulisan yang baik adalah tulisan yang selesai. Tak perlu tulisan lain untuk menjelaskannya.
        Kitab suci saja bisa multi tafsir, apalagi tulisan saya ini.
        Salam.

Bagaimana menurut Anda? What do you think?