Enam tahun, 40 tulisan


The 40th

Musim gugur di Sydney tahun 2005 ketika itu, saya adalah mahasiswa master di tahun kedua. Indonesia dihebohkan oleh sebuah kasus yang di telinga saya terdengar asing: Ambalat. Saya yang adalah pemula di bidang batas maritim seperti mendapat mainan baru dan terutama alasan yang lebih baik bahwa bidang yang saya pelajari ini sangat menarik. Apa yang saya lakukan ternyata terkait erat dengan interaksi bangsa-bangsa yang dinamikanya sangat menantang, menarik dan menaikkan adrenalin. Mempelajari batas maritim adalah mempelajari sesuatu yang bisa menjadi alasan bagi bangas-bangsa untuk berdamai atau bahkan berperang. Istimewa sekali.


Terseret oleh arus hangat gejolak bangsa Indonesia yang sedemikian emosi dengan kasus Ambalat, saya mulai mereka-reka peran yang bisa dilakukan sebagai orang yang secara formal belajar ilmu terkait. Di ruangan 413 A di School of Surveying & SIS, saya merancang sebuah tulisan. Tujuan aslinya adalah untuk blog saya, tidak lebih tidak kurang. Dilengkapi dengan ilustrasi yang ditemukan di internet, saya memajang tulisan itu yang ternyata cukup banyak peminatnya. Dalam waktu yang tidak lama, tulisan itu dibaca banyak orang dan bahkan disalin dan dipasang di situs lainnya. Saya mulai berpikir, mengapa saya tidak sebarkan tulisan ini lewat jalur yang lebih formal. Itulah awal mulanya saya menulis untuk The Jakarta Post.

Saya tidak tahu sama sekali persyaratan menulis untuk the Jakarta Post. Yang berhasil saya temukan adalah bahwa tulisan harus dikirim ke opinion@thejakartapost.com. Itu saja. Beberapa hari setelah saya kirim, datang email yang mengejutkan, tulisan saya dianggap layak diterbitkan. Persoalannya hanya satu: isinya kepanjangan. Saya akhirnya baru tahu bahwa tulisan yang dikirimkan ke Jakarta Post maksimal 1000 kata. Sayapun diminta untuk memendekkan tulisan itu. Dengan debaran perasaan yang tidak bisa diceritakan, saya merevisi tulisan itu hingga menjadi hanya seribu kata. Tentu mudah dimengerti, memanjangkan dan memendekkan tulisan yang menurut penulisnya sudah final adalah pekerjaan yang tidak mudah. Meski demikian, toh tetap harus saya lakukan. Sayapun mengirim kembali tulisan itu dan kemudian menunggu dengan harap-harap cemas.

Tanggal 12 April 2005, tulisan pertama saya muncul di The Jakarta Post dengan judul Technical aspects of the Ambalat negotiations. Saya sulit melukiskan perasaan saya dengan kata-kata. Jika orang mengatakan cinta pertama adalah yang paling berkesan (meskipun tidak selalu), barangkali hal itu benar dan berlaku untuk tulisan saya itu. Sudah lama sekali saya mengagumi penulis, apalagi yang bisa menulis di sebuah koran berbahasa Inggris. Saya melayang karena telah menjadi bagian dari apa yang pernah saya kagumi dan mimpikan itu. Tidak perlu saya ceritakan betapa senangnya saya.

Kesan tulisan pertama itu begitu mendalam. Meskipun saya tidak ingin bangsa saya bersengketa dengan Bangsa lain, harus diakui bahwa kisah Ambalat itu adalah jalan bagi debut saya dalam hal menulis di The Jakarat Post. Seperti yang diduga banyak orang, itu pula yang membuat anak saya bernama Ambalita. Saya lebih sering melayani pertanyaan ini dengan kelakar saja.

Tanggal 14 April 2011 adalah hari istimewa bagi keluarga kecil saya karena hari ini tepat sewindu pernikahan saya dan Asti. Karena percaya bahwa tidak ada yang kebetulan di dunia ini maka saya akan katakan bahwa alam dan waktu telah membuatkan sebuah hadiah istimewa bagi pernikahan kami. Satu tulisan saya dimuat di The Jakarta Post tepat saat kami merayakan pernikahan yang ke-8. Hadiah ini tentu saja tidak mahal tetapi sangat istimewa bagi saya. yang menarik, tidak seperti biasanya, kali ini opini saya menjadi teaser di The Jakarta Post sehingga foto saya dengan ikhlas dipajang di halaman depan (1) paling atas. Saya tidak perlu katakan kalau foto ini berwarna kan 🙂

Mungkin ada juga yang bertanya, apakah seseorang yang sering menulis di The Jakarta Post masih perlu menceritakan perasaannya saat fotonya muncul di halaman depan? Kini mereka tahu, seorang saya adalah orang biasa saja yang masih norak. Orang biasa yang berusaha keras untuk menjadi tidak biasa-biasa saja. 

Dua ujung ini penting dan istimewa, ujung ‘awal’ dan ujung ‘terkini’. Saya tidak katakan ujung ‘akhir’ karena tentu saja masih akan banyak tulisan-tulisan lain yang muncul di The Jakarta Post, jika Tuhan mengijinkan kreativitas saya berlanjut. Peristiwa musim gugur di Sydney telah enam tahun berlalu dan saya sempatkan menghitung lagi kontribusi saya di The Jakarta Post. Jumlahnya cukup menggembirakan: 40 tulisan. Saya tahu ada banyak sekali orang yang sangat amat produktif dalam menulis dan menghasilkan 40 tulisan di The Jakarta Post dalam waktu 6 tahun tidak berarti sama sekali. Namun bagi saya, yang masih mengingat dengan jelas pernah tergagap-gagap berjingkrak di depan komputer tahun 2005, 40 tulisan dalam waktu enam tahun sangatlah istimewa. Tanpa harus meminta ijin pada siapapun, saya merasa wajib bersyukur. Sebagai surveyor, saya diajarkan berkomunikasi dengan titik, garis dan luasan, bukan dengan kata-kata. Menghasilkan tulisan itu, terus terang, membuat saya merasa senang dan bergairah.

Layaknya sebuah perjalanan, tidak adil jika saya tidak menceritakan apa yang terjadi di tengah-tengah. Tanpa bagian tengah, dua ujung awal dan akhir tentu saja tidak berarti dan tidak pernah ada. Saya tetap menulis saja apa yang saya pikirkan. Saya gunakan pikiran saya untuk mencari dan mengaitkan apa yang sedang terjadi dengan bidang ilmu yang saya perlajari. Lagi-lagi, saya harus akui bahwa kebiasaan orang-orang di sekitar yang beraneka rupa dalam menyikapi persoalan perbatasan antarbangsa membuat saya hampir selalu punya sesuatu untuk dikatakan. Itulah salah satu alasan mengapa saya selalu punya ruang dan alasan untuk menulis. Selain untuk The Jakarta Post, saya juga menulis untuk Kompas dan media masa lain. Perlu saya ceritakan, jumlah tulisan saya yang ditolak secara keseluruhan mungkin tidak terlalu jauh bedanya dengan jumlah yang dipublikasikan. Intinya, tidak sedikit kalau tidak ingin mengatakan sangat banyak.

Saya yakin masing-masing punya tugas. Para penilai tulisan itu punya tugas untuk menolak tulisan yang menurutnya tidak sesuai. Namun jangan lupa, saya juga punya tugas untuk tidak menyerah dan mengirimkan lagi dan lagi tulisan ke alamat yang sama. Seperti kata kawan saya, cowok memang menang memilih, tetapi di saat yang sama, cewek juga menang menolak. Saya kira demikian pula urusan tulis-menulis dan publikasi. Permainan ini memerlukan kegigihan. Orang Bali punya pepatah, air menetes bisa melubangi batu, jika dia diberi cukup waktu.

Apa yang ingin saya capai dengan menulis? Sejujurnya, pada awalnya ada motivasi meraih kebanggan karena pernah menulis di media masa terkemuka. Selanjutnya saya setuju bahwa ada tujuan diseminasi ilmu yang bermuara pada pendidikan. Saya ingin bidang saya diketahui lebih banyak orang maka saya tulis dengan cara populer. Apakah saya sudah berhasil? Terlalu pagi menilainya karena waktunya baru enam tahun. Seperti yang pernah saya tulis di milis alumni Teknik Geodesi UGM, saya punya satu indikator untuk mengukur apakah yang saya sampaikan diterima oleh para pemirsa. Saat presentasi Remote Sensing (penginderaan jauh) atau Sistem Informasi Geografis (SIG), misalnya, saya merasa berhasil jika setelah presentasi ada anak muda yang menggunakan istilah ‘remote sensing’ ketika mengamati lawan jenisnya dari jauh atau istilah ‘overlay’ saat berkelakar tentang hal-hal yang agak dewasa. Saya akan senang setelah presentasi saya tentang batas maritim, orang-orang menggunakan istilah ‘delimitasi’ ketika membagi kue ulang tahun sambil bercanda. Atau ketika orang meminta saya memotong pizza dan mengingatkan saya untuk menggunakan metode “median line” agar menghasilkan “equitable solution”. Indikator lain mungkin adalah seperti komentar dalam status saya di FB yang diberikan oleh orang yang sama sekali tidak mendalami kelautan:

“Asti diajarin Bli tentang “garis batas teritori” tubuh 😉 …mana yg namanya ZEE…mana batas “pantai”…terus langsung praktek contoh garis batas yg “tumpang tindih”! :)) cocok dpt adik Lita langsung! :))”

Jika ada satu saja hal paling sederhana yang ingin saya capai dengan menulis maka dia adalah untuk menanamkan ‘awareness’ tanpa membuat yang membaca menderita.

Jika ada yang bertanya, keuntungan material apa yang saya dapatkan dari menulis 40 tulisan itu, silakan dihitung sendiri karena satu tulisan di Jakarta Post dihargai Rp 650 ribu atau lebih. Murah? Memang tidak langsung membuat kaya, maka saya tidak sarankan untuk menempatkan motivasi materi di atas segalanya ketika kita mau berbagi dengan tulisan. Bagi saya, berhasil mempublikasikan 40 tulisan dalam waktu 6 tahun sangatlah memuaskan. Kepuasan itu tentu saja jauh lebih besar dari Rp. 650 ribu kali 40 yang jika dibelanjakan setara dengan beberapa biji iPad 2.

Yang terpenting dari semuanya, saya akan memaknai secara merdeka ungkapan barat yang mengatakan “life begins at forty”. Maka saya anggap angka 40 ini adalah titik mula, bukan titik akhir untuk berkarya. Silakan kembali lagi menyimak kontemplasi saya saat jumlah tulisan saya mencapai angka emas. Mudah-mudahan Tuhan mengijinkan.

Author: Andi Arsana

I am a lecturer and a full-time student of the universe

16 thoughts on “Enam tahun, 40 tulisan”

  1. mantap Pak..tulisan panjenengat, ilmiah dan ringan bahasanya untuk bisa dimengerti oleh semua kalangan..n selamat atas 8 tahun pernikahan Bapak..Moga langgeng, berkah, n sukses selalu…amien

  2. Made Andi adalah sosok luar biasa yang istimewa. Ia berhasil mendokumentasikan dirinya dalam setiap momentum hidupnya. Tidak sampai disana, dokumentasi itu dapat dinikmati oleh setiap orang yang ingin mengikuti jejaknya. Sangat salut, dan ingin menjadi penerusnya.

  3. Salam Kenal Pak Andi,

    Seperti kata Pak Almuhandis diatas, tersesat di blog orang hebat.
    Terima kasih buat tulisannya, ringan tetapi menginspirasi…
    Terlebih lagi, sangat cukup untuk membuat saya tertawa lepas pagi ini di ruang kerja yang beraroma ketegagangan..
    Sukses terus buat Pak Andi

  4. quote, “…, cowok memang menang memilih, tetapi di saat yang sama, cewek juga menang menolak”.

    sangat menginspirasi pak Andi,, terimakasih karena terus menulis…

  5. Tulisannya sangat inspiratif. Saya ingin satu saat menjadi seperti Mas. Semoga Mas tetap sehat dan terus berkarya. Mat ultang tahun pernikahan yang ke 8 buat keluarga Mas.

  6. Helo Pak Andi,

    Sekitar 5 tahun lalu (23 April 2013), saya menulis ini di blog ini demikian:

    “Tulisannya sangat inspiratif. Saya ingin satu saat menjadi seperti Mas. Semoga Mas tetap sehat dan terus berkarya. Mat ultang tahun pernikahan yang ke 8 buat keluarga Mas.”

    Setelah membaca postingan Mas Andi ini dan menulis komentar, saya bertekad untuk menjadi seperti Mas Andi yang bisa menulis di Jakarta Post.

    Lima tahun kemudian tulisan saya terbit utk pertama kalinya di Jakarta Post dengan judul “Land Certification: Watch Out for Local Dynamics (24, April 2018). Selisih cuma 2 hari, hehe. Cukup lama juga menunggu sampai 5 tahun. Tetapi, semoga tulisan ini membuka pintu untuk tulisan yang lain seperti pengalaman Mas Andi.

    Tulisan Mas Andi sudah mengubah banyak orang, termasuk saya. Terima kasih banyak untuk inspirasinya. Dan saya sering kembali ke Blog Mas Andi untuk mencari inspirasi. Semgoa Mas Andi selalu sehat dan terus menulis.

    Salam,
    Emil

    1. Wow. Speechless… terima kasih Bro Emil sudah menuliskan kisah luar biasa ini. Saya senang. Tersanjung juga. Terima kasih. Kalau ada waktu, ayo ngopi bareng.

  7. Dear Mas Andi,

    Senang dan tersanjung mendapat tawaran ini. Semoga satu waktu bisa ngopi bareng sama Mas Andi.

    Btw, tulisan terbit 25 April 2018, hari ini. Bukan 24 April 2018.

    Satu lagi, thanks karena sudah mensharekan tips-tips untuk mendapatkan beasiswa AAS. Saya termasuk yang beruntung karena belajar dari tips2 yang ditulis Mas Andi.

    Salam,
    Emil

Leave a reply to Emilio Sese Cancel reply